IF I CAN - 11

355 17 0
                                    

"Sebenarnya aku tak mudah untuk itu, namun jika sudah berkaitan denganmu maka semua menjadi kebalikannya."

--

Author POV

Hari ini Andin berencana untuk ke rumah Arkan, ia tahu kalau perkataannya sudah melampaui batas. Sudah melukai siapapun jika mendengarnya, dan saat itu yang mendengarnya adalah Arkan, lelaki yang baru berbaikan dengannya.

Dengan berbekal sedikit kemampuan memasaknya, Andin menyiapkan makanan kesukaan dari Arkan, yakni pudding oreo.
Andin harap sesuatu yang manis dapat mengembalikan senyum di wajah Arkan.

Andin tersenyum ketika melihat box yang dipersiapkannya sudah siap, tinggal dirinya saja yang harus bersiap-siap.

--

"Kamu tunggu di sini dulu, ya. Mama panggilin Arkannya dulu, dia di kamar aja dari kemarin,"

Andin yang mendengar itu nampak semakin merasa bersalah mendengar penuturan dari Mama Arkan, "iya, Ma," balas Andin seadanya.

Andin mendongak ketika mendengar suara derap langkah yang begitu dekat di pendengarannya.
Arkan duduk tepat di hadapannya, Andin melihatnya. Wajah itu nampak kehilangan senyum yang bisa ia lihat beberapa hari yang lalu. Wajah itu nampak pucat. Ya, Arkan sedang sakit saat ini.

"Ada apa, Ndin?" Tanya Arkan to the point. Andin menghela napas, "maaf," singkat Andin.

Arkan menggeleng, "kamu gak salah, semua yang kamu katakan adalah kebenaran. Aku gak berhak buat ngelarang kamu dekat sama siapapun, aku sadar diri. Dan aku gak marah sama kamu,"

"Kamu gak marah, tapi kamu ninggalin aku kemarin. Kamu pergi sebelum aku bilang 'hati-hati' sama kamu," Andin menunduk, bila diingat, itu adalah kalimat yang selalu Andin ucapkan bila akan berpisah dengan Arkan.

"Kemarin aku benar-benar kacau, Ndin. Aku benar-benar gak bisa kontrol diri aku sendiri, dan aku gak mau ngelukai kamu lagi," Andin sadar ia telah egois, ia berkata tanpa berpikir akibat yang akan terjadi.

"Maaf," lagi, Andin mengucapkannya. Tapi bukan itulah kata yang ingin Arkan dengar. Namun biarlah, Arkan akan sabar untuk mendengar kata itu, suatu saat nanti.

"Gapapa, kamu gak salah," balas Arkan dengan tangan yang mengusap kepala Andin, kebiasaan yang kembali dilakukan Arkan kepada Andin. Kebiasaan manis yang sangat dirindukan Andin.

Andin tersenyum, "ayo makan dulu, aku bawain pudding oreo kesukaan kamu," Arkan menganggukkan kepalanya, sembari mendekat untuk duduk disamping Andin.

--

"Langsung pulang?" Tanya Arkan ketika Andin sedang memakai helm yang diberikan Arkan.

"Makan dulu, yuk. Laper nih," keluh Andin, Arkan terkekeh melihat wajah cemberut Andin. "Yaudah, buruan naik, Tuan Putri," Andin memukul bahu Arkan, "apaan, si," dibalik bahu Arkan, Andin menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

Mereka berdua menyusuri jalanan yang nampak ramai sore hari ini. Andin nampak menikmati pemandangan yang ada di depan matanya, bukan keindahan, hanya saja melihat kendaraan yang berlalu lalang serta pedagang yang berjualan sepanjang jalan yang mereka lalui.

"Pelan-pelan," ucap Arkan seraya memegang tangan Andin ketika Andin hendak turun dari motor Arkan.

Andin hanya bergumam ketika mendapat perhatian dari Arkan. Mereka berdua menuju salah satu pedagang kaki lima, yang menjadi tempat mereka biasa makan.

"Kayak biasa dua, Mang," ucap Arkan yang tertuju pada pemilik warung, "siap, Den,"

"Boleh aku tanya sesuatu?" Tanya Arkan.

"Tanya aja," Andin yang memilin tissue, ia nampak gelisah, sedang menerawang apa yang akan ditanyakan Arkan padanya.

"Selama aku pergi, keadaan kamu bagaimana?" Dengan perlahan Arkan menanyakan pertanyaan yang menjadi benalu di otaknya. Pertanyaan yang sangat sensitif, bahkan tanpa sadar Andin merasa relungnya kembali terasa sakit. Ketika ia harus kembali mengingat bagaimana terpuruknya ia dulu.

Andin menghela napas sebelum memulai suatu kisah yang mungkin saja menguras emosinya nanti, "semua berawal sejak kamu pergi tanpa kabar, sedikitpun. Awalnya aku kira kamu hanya sedang sibuk saat itu, terlebih itu adalah awal kita masuk kuliah, aku memakluminya. Satu hingga dua minggu kamu masih juga tanpa kabar, aku bahkan merasa canggung saat ingin menghubungimu," Arkan nampak serius memerhatikan setiap kata yang diucapkan Andin.

"Hingga waktu yang gak aku duga, datang tanpa permisi, memberi luka tanpa dapat ku cegah. Aku melihat status yang memposting foto pacarmu saat itu. Di situ aku lemas, seolah aku tak memiliki tenaga untuk sekedar bertumpu pada kedua kakiku ini. Semua aku coba untuk tidak mempercayainya, tapi fakta yang terungkap membuat aku kecewa, bahkan sangat kecewa saat itu." Mata teduh Andin nampak berkaca, tak bisa ia pungkiri jika perih itu masih terasa jika ia mengingat masa itu, masa terpuruknya.

"Fakta bahwa aku harus menerima kenyataan kalau kamu bersama wanita lain, itu sungguh menyakitkan. Hingga rasanya aku ingin menghampirimu, untuk mengatakan kalau kamu adalah lelaki bodoh yang sangat bodoh, kamu pergi tanpa pesan dan aku harus mempercayai fakta ini."

"Tapi, aku gak bisa. Aku percaya jika kamu telah memilih wanita itu, maka itulah yang terbaik. Lebih baik diriku, misalnya?" Andin tertawa lirih, mengusap pipinya yang nampak sedikit sembab karena air matanya yang jatuh tanpa permisi.

Sungguh, Arkan tak tega melihat, ingin rasanya ia mengusap pipi yang basah karena air mata itu.

"Aku terus memantau, memastikan kalau kamu bahagia dengan wanita itu. Walau pada akhirnya hatikulah yang harus menjadi taruhannya. Tapi, aku gak peduli. Aku tak lagi memikirkan hatiku, asal kamu bahagia, itu sudah cukup untukku. Walau bahagia itu harus dengan air mata dan ruang hatiku yang harus hancur, aku rela."

Andin masih terus bercerita, "dan sampai akhirnya Kak Idan datang, memberi asa baru. Namun, aku sungguh bodoh. Yang masih terus mengharapkanmu, di saat ada seseorang yang mengulurkan tangannya untuk menggenggam tanganku," tawa Andin membuat senyum kecut terbit di wajah Arkan, Arkan nampak begitu menyesali sikap egoisnya saat itu.

"Hingga cemooh teman-temanku pun aku tidak peduli, dengan rendah mereka memandangku, menganggapku wanita bodoh. Tapi, aku tetap teguh mempertahankan perasaan yang seharusnya sudah hancur, yang seharusnya sudah aku musnahkan semenjak kamu pergi saat itu,"

"Aku benci keadaanku saat itu, sangat mengenaskan, asal kamu tahu. Dengan bodoh terus memperhatikanmu dari jauh, yang membuatku nampak semakin menyedihkan,"

Menyakiti wanita yang begitu setia menantinya, adalah hal bodoh yang sekarang Arkan sesali. Ia bahkan baru menyadari begitu banyak luka yang ia torehkan pada Andin, bahkan ia tak begitu yakin, apakah ia bisa menyembuhkan luka itu? Bukan karena ia tak bisa, namun karena begitu banyak luka yang ia sebabkan, yang membuat ia takut justru malah semakin menyakiti Andin bila ia terus melangkah maju menuju Andin.

"Tapi, sekarang aku sedang mencoba kembali mempercayaimu. Karena, aku tidak bisa memungkiri rasaku sendiri, bahwa kamu masih menjadi pemilik rasa ini. Dan kamu masih berkuasa atas itu," lirih Andin, "ijinkan aku memperbaiki semuanya, maaf," balas Arkan.

Andin mengangguk, mencoba tersenyum kala air mata itu kembali luruh membasahi pipinya, "jangan kecewain aku lagi, Ar," pinta Andin, "aku menyayangimu," balas Arkan, berusaha menyakinkan Andin, bahwa ia akan berusaha mengobati semua luka yang ia sebabkan.

'Jika luka yang kembali aku berikan nanti, maka akulah yang harus mengobatinya, bukan dia, ataupun orang lain. You're mine, always.'

--

To be continue . . .

Sweet,
Dyariss

[3] IF I CAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang