"Bukankah yang pergi belum tentu tak kembali untuk selamanya, karena pada akhirnya yang pergi pun akan kembali. Entah kembali dalam keadaan bersama atau bahkan hanya saling mendo'akan."
--
Andini POV
Semua memang terasa begitu menyesakkan, bagiku mungkin. Semua begitu mudah baginya, tentu dari awal aku sudah mengatakan bahwa aku tak bisa menyalahkannya. Semua pasti memiliki titik lelah sendiri, dan aku yakin ia telah mencapai tahap itu.
"Hai, malah melamun," begitulah ucap sahabatku, Nur. Ketika aku hanya memainkan bolpoin tanpa memperhatikan dosen yang sedang menjelaskan di depan. Seolah hilang fokus, semenjak mengetahui kenyataan itu, seakan semua menjadi kosong. Semuanya. Aku kehilangan diriku sendiri, keceriaan yang selama ini aku tunjukkan, senyum dan tawa yang aku perlihatkan, semuanya tak nampak lagi.
"Hah? Enggak, Nur. Eh, yang tadi udah kamu catat belum?" tanyaku pada Nur. Ia tersenyum seolah mengerti. Karena yang aku lakukan hanyalah membentuk pola di buku tulisku tanpa menulis materi yang sedang dijelaskan. "Tenangi dirimu, Ndin. Jangan sampai karena masalah hati, bisa merusak semua tujuanmu kuliah di sini." Nasihatnya. Aku paham, dan aku mengerti. Semua memang bisa hancur, karena perasaan.
Aku hanya menunduk, yang dikatakan Nur semuanya benar. Walau hanya baru beberapa bulan berteman dengannya, tapi seolah ia mengerti diriku. "Aku juga gak mau kayak gini, Nur. Aku terlalu kecewa, sehingga rasanya semua sudah hancur. Bersamaan dengan dia yang sudah ngehancurin kepercayaan yang sudah aku kasi ke dia," ucapku yang hanya bisa berkata pelan. Bukan karena takut terdengar dengan temanku yang lain. Tetapi setiap kata yang terucap, begitu menyesakkan rasanya.
Ia memeluk bahuku, mengusapnya pelan, seolah memberiku kekuatan. "Kamu bisa, Ndin. Aku yakin. Kamu harus bisa, dia akan balik dengan sendirinya setelah dia sadar. Jangan dipikirin lagi," aku hanya mengangguk seraya mengusap tetesan airmata yang turun mulai membasahi pipiku.
Setelah tenang, ku tegakkan pandanganku. Semua tidak boleh hancur karena perasaan yang aku rasakan. Katakan saja aku ambisius, tapi inilah aku. Aku rela mengorbankan perasaanku hanya untuk satu, senyuman ibuku yang bisa melihatku dari atas sana.
--
Semua, sedikit demi sedikit kembali berjalan normal. Semua telah kembali, senyuman dan tawa yang sempat tak nampak kini kembali terbit. Bukankah di sana pula ia sedang tertawa di atas semua rasa kecewaku? Lalu mengapa aku tak bisa? Wanita tak selemah itu.
"Kak Iraaaaaaa!"
"Beli cilok, yuk?" teriakku. Padahal yang sedang dipanggil tak begitu jauh dariku. Tapi ya emang dasar suaraku yang terlalu merdu. Yang dipanggil pun akhirnya keluar. Cilok for lyfe, begitulah katanya.
Sore ini aku sedang mengadakan Technical Meeting dalam rangka kegiatan lomba badminton yang diadakan jurusanku. Begitu banyak peserta yang datang, yang didominasi oleh kaum adam. Sempat tertarik, namun tidak dengan hati. Katakan saja begitu.
"Ndin, udah bisa jadi hakim garis belum?" tanya Kak Eta, Kakak tingkat satu organisasi di jurusanku. "Sudah, Kak. Tinggal bilang in sama out aja, kan?" tayaku dengan diiringi cengiran yang membuatnya kesal. "Tuh tanya sama Aji, sana." Aku hanya bisa menurut, demi kelancaran kegiatan lomba, apa sih yang enggak.
--
Lomba pada hari pertama berjalan dengan lancar, lomba yang akan dilaksanakan hanya 4 hari semua akan terasa akan sangat singkat. Terlebih dengan kebersamaan para panitia, kehebohan, kejailan, dan masih banyak lagi. Akan kurindu saat-saat seperti ini.
Pernah satu pertandingan tunggal putra, yang bertanding saat itu adalah anak SMA yang masih kelas XI atau bisa dibilang masih brondonglah bagiku. Sempat bisa menarik perhatianku. Dekat dengan ibunya, itulah yang membuatku tertarik. Setiap pertandingan, tak pernah sekalipun ibunya absen untuk mendukung sang buah hati. Ah, aku rindu mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] IF I CAN [Completed]
Fiksi UmumHighest Ranking : #94 in generalfiction [26/04/2020] "Karena rasa tidak semudah itu hilang." Mulai : 05 Mei 2018 Tamat : 12 Februari 2020 Copyright© 2018 by dyariss