"Jika yang ku dengar adalah semua menurutmu, lalu kapan kamu akan mendengar aku?"
--
Author POV
"Makasi, ya, untuk hari ini, aku bahagia banget," ungkap Andin ketika mereka berdua tengah duduk di teras depan rumah Andin. Baru pulang dari perjalanan panjang mereka hari ini.
"Anything for you, Ay," balas Arkan, membuat Andin tersenyum. "Ayo, diminum dulu, nih jajannya juga baru aku buat kemarin," Arkan mencicipi jajan buatan Andin, jajan tradisional, jajan celilong, yang terbuat dari singkong, kelapa parut, tepung terigu, garam dan diisi dengan gula aren. Lalu, di kukus dengan daun pisang.
"Gimana?" Tanya Andin ketika melihat Arkan yang masih menikmati jajan itu tanpa berbicara satu patah katapun, "always enak," lagi dan lagi Andin tersenyum. Lelaki itu suka jajan buatannya.
"Kamu gak mau periksa kaki kamu, Ndin?" Tawar Arkan, karena ia tak tega melihat Andin yang terus meringis kesakitan kala mereka masih menaiki bukit tadi. "Gak, aku masih trauma, Ar. Kemarin waktu praktik belajar di RS aja, aku gak nyaman karena aku memang merasa masih trauma waktu itu," ucap Andin yang membuat Arkan paham. Karena Arkan mengerti, bagaimana Andin menunggu ketika Mama Andin waktu sakit dulu, bahkan dari ceritanya, Andin hingga tidak tidur karena harus terus berdiri di sisi sang Mama, karena Mama Andin yang tidak ingin ditinggal oleh Andin.
"Sama aku, Ndin. Mau, ya? Aku gak mau sesuatu terjadi sama kamu nantinya," pinta Arkan.
Andin masih menggeleng, "setiap aku masuk ke RS, aku selalu inget Mama, Ar. Selalu inget Mama yang teriak kesakitan, inget Mama yang pergi ninggalin aku, inget Mama yang pergi karena kesalahan aku," lirih Andin dengan wajah tertunduk. Arkan berdiri dan menghampiri Andin yang duduk di sebelahnya, berdiri tepat di depan Andin dan memeluknya. Ia paham, sampai saat ini, Andin masih saja terus menyalahkan dirinya atas kepergian sang Mama.
Mungkin salah bila Andin berpikir seperti itu, karena setiap yang bernyawa tentunya akan pergi kembali kepada sang pemilik nyawa yang sebenarnya.
Namun, Arkan tidak bisa menyalahkan Andin. Karena, ia tahu, Andin begitu menyayangi sang Mama, selalu ada di sisi sang Mama, bahkan untuk makan dan tidur pun Andin tidak ingat saat itu.
Andin terus saja menggenggam tangan sang Mama, tanpa beralih sedikitpun selain untuk sholat. Andin selalu mengkompres dahi sang Mama yang suhu tubuhnya naik di hari terakhir sebelum sang Mama pergi.
Namun, Andin tidak merasakan kelelahan sedikitpun, karena yang terpenting Mamanya sembuh, itu saja. Dan, semua terbayarkan. Sang Mama tidak lagi merasakan sakit, dan pergi meninggalkan semuanya. Keluarganya. Orang-orang yang menyayanginya.
"Oke, tapi kalau sakit lagi, kabari aku, ya? Kita ke dokter," putus Arkan. Andin yang masih berada di dalam pelukan Arkan hanya mengangguk. Karena, ia tidak bisa menolak lagi.
--
"Nih, ada surat lagi dari Kak Idan. Katanya nanti setelah perkuliahan, dia tunggu kamu di depan kampus," ucap Putri seraya menyerahkan sebuah amplop biru, yang Andin yakin isinya ada sebuah surat.
"Makasi, Put," Putri hanya tersenyum kemudian berlalu, "kamu beruntung, Ndin. Dikejar oleh dua lelaki yang begitu menyayangimu," gumam Putri.
Andin tidak membaca surat itu, melainkan memilih memasukkan surat itu ke dalam tas, dan kembali menulis materi yang belum sempat terselesaikan tadi.
Ting!
Ponsel Andin berbunyi, ada sebuah pesan yang masuk.
Nanti pulang jam berapa? Aku jemput, ya? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.
Andin tersenyum pesan yang dikirimkan Arkan itu.
Mau ke mana emangnya?
Balas Andin, senyum itu belum luntur. Masih memegang ponselnya dan menunggu balasan selanjutnya dari Arkan.
Lihat nanti saja, Ay.
Andin tersenyum kembali kala mendapat balasan pesan dari Arkan. "Lelaki itu, huh." Gemas Andin.
Siap bosqu♥️
Balas singkat Andin, sejenak Andin melupakan bahwa nanti ada seseorang yang telah menunggunya, bukan untuk yang pertama kalinya. Melainkan, untuk yang ke-sekian kalinya.
Tingkah sederhanamu saja mampu membuatku jatuh, untuk ke-sekian kalinya.
--
Andin tengah merapikan buku-buku yang tadi ia keluarkan saat jam perkuliahan sedang berlangsung. Hanya tersisa beberapa orang saja yang ada di kelas. "Jangan lupa, ditunggu Kak Idan, Ndin," ucap Putri seraya menenteng tasnya untuk ke luar kelas, "iyaa, put," balas Andin.
"Duluan, Ndin," Putri berlalu meninggalkan kelas. Andin sempat heran mengapa Putri begitu memikirkan Kak Idan. Padahal sebelumnya Putri nampak biasa saja menanggapi saat mengetahui hubunganku yang hanya sebatas teman dengan Kak Idan.
Ah! Mungkin hanya perasaan Andin saja. Ia terlalu khawatir akan sesuatu hal yang tak semestinya ia khawatirkan.
Setelahnya, Andin menenteng tasnya dan melangkah meninggalkan kelas. Baru saja ia keluar dari jurusan, ia melihat Kak Idan yang tengah menunggunya, "Kak," sapa Andin, dan membuat Idan menoleh saat mendengar suara Andin, "hai," balas Kak Idan, seraya memasukkan ponselnya yang tadi tengah ia mainkan.
Andin tersenyum, "makan dulu, yuk?" Tawar Idan. Andin tak berpikir, sebab sebelumnya ia telah memiliki janji bahwa ia akan dijemput oleh Arkan.
"Di sini aja bisa gak, Kak?" Tanya Andin tak enak. Idan mengangguk, karena ia tak ingin memaksa yang berakibat buruk nantinya. Termasuk, Andin tak ingin berbicara dengannya, mungkin?
Akhirnya Idan dan Andin memilih berdiam di bawah pohon tepat di depan jurusan Andin.
"Kakak mau ngomong apa?" Tanya Andin to the point, karena ia tak memiliki waktu banyak. Karena ia yakin kalau Arkan akan sampai sebentar lagi.
"Kamu belum baca suratnya?" Tanya Idan. Andin menggeleng yang menandakan bahwa ia sama sekali belum pernah membuka surat dari Idan.
"Saya kira sudah dibuka," tanpa Andin sadari, ada nada pasrah yang tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Idan.
"Aku buka sekarang?" Tawar Andin, dan Idan spontan menggeleng saat mendengar itu, "bukanya nanti pas kamu sudah sampai rumah aja," balas Idan.
"Kakak minta doanya, ya, mungkin setelah ini kita bakal jarang ketemu," ucap Idan, Andin mengerutkan dahinya, "emang Kakak mau ke mana?" Tanya Andin.
"Gak ke mana-mana," balas Idan yang dibarengi dengan sebuah senyuman yang tak pernah Andin lihat sebelumnya.
"Kakak anter?" Tawar Idan, "lagi bentar Arkan nyampe, Kak," balas Andin, Idan tersenyum. "Kakak duluan, ya? Kamu hati-hati, salam sama Arkan. Assalamu'alaikum," pamit Idan dengan sebelumnya ia menatap Andin dalam, memastikan setiap senyuman Andin akan mampu ia ingat nantinya. Senyuman yang mungkin selanjutnya tak pernah ia lihat lagi.
"Wa'alaikumussalam," balas Andin seraya memerhatikan langkah Idan yang perlahan menjauh darinya. Lelaki itu nampak berbeda dari sebelumnya, tak biasanya.
Namun pikirannya terputus, "udah nunggu daritadi?" Tanya Arkan, ketika ia sudah ada di depan Andin dengan helm yang masih terpasang di kepalanya.
"Baru aja kok," balas Andin, "yaudah, naik yuk," Arkan menyerahkan satu helm lagi untuk Andin. Dan membantu Andin untuk naik ke motornya.
Dua insan itu pergi meninggalkan kampus Andin. Dalam pikiran Andin masih berpikir tentang Idan, mengapa ia merasa ada yang aneh dari Idan. Ada apa ini? Atau hanya perasaannya saja?
Nanti ia akan coba untuk menghubungi Idan, dan berharap lelaki itu akan baik-baik saja.
--
"Ketika duniaku hanya terpusat padamu, lalu mampukah aku meninggalkan dunia itu? Dunia yang hanya terisi oleh bayangmu,"
--
To be continue. . .
Sweet,
Dyariss
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] IF I CAN [Completed]
Ficción GeneralHighest Ranking : #94 in generalfiction [26/04/2020] "Karena rasa tidak semudah itu hilang." Mulai : 05 Mei 2018 Tamat : 12 Februari 2020 Copyright© 2018 by dyariss