"Kita sama-sama mulai dari awal, meninggalkan akhir di belakang, dan memulai lagi dari depan."
--
Author POV
"Terimakasih ya?" Ucap Ari selepas dirinya baru mengantar Andin pulang. Andin melepas helm yang ia kenakan, lalu memeluknya. "Sama-sama," Andin memberi sebuah senyuman kecil pada Ari.
"Aku balik langsung, ya?" Andin mengangguk, Ari memakai kembali helmnya. "Besok aku jemput seperti biasa?" Tanya Ari yang dibalas anggukan lagi oleh Andin. "Boleh, kalau kamunya gak keberatan," ujar Andin.
"Ya, gaklah. Apapun yang menyangkut kamu, aku gak pernah merasa keberatan," Andin membalas senyuman Ari.
"Yaudah kamu masuk gih, udah malam. Salam sama Papa kamu ya? Titip salam sama Bang Rifki sama Iza juga,"
"Siap," Andin mangacungkan jempolnya. "Yaudah, aku balik dulu. Assalamualaikum," pamit Ari. "Waalaikumussalam," Andin menolehkan kepalanya mengikuti arah motor Ari yang melaju. Punggung Ari semakin jauh dan perlahan mulai menghilang.
Andin masuk ke dalam rumahnya, senyum malam ini ia harap menjadi awal dari senyuman yang akan ia dapat selanjutnya.
Saat masuk ke dalam rumah, ternyata Adi dan Rifki sedang berbincang di ruang keluarga sembari menonton TV.
"Assalamualaikum, Pa, Bang," salam Andin seraya menghampiri Adi dan Rifki. Setelah mencium tangan kedua lelaki itu, Andin duduk di sebelah Adi. "Waalaikumussalam," jawab Adi dan Rifki.
"Udah makan, Ndin?" Tanya Adi. "Udah, Pa. Sebelum pulang diajak sama Ari," balas Andin.
"Ciee... tau yang habis kencan sama Ari," ejek Rifki. "Kencan apanya nih? Papa sepertinya gak tau apa-apa," Adi melirik Rifki dan Andin.
"Ish, gak usah percaya Bang Rifki, Pa. Gak kok," elak Andin. "Abang bilang sama Ari ya?" Ancam Rifki.
"Abang ih," kesal Andin. "Udah-udah. Sekarang kamu ganti baju terus istirahat, besok kuliah kan?" Tanya Adi. Andin mengangguk, "yaudah, Andin ke kamar dulu," pamit Andin.
Andin melangkah menuju kamarnya, "Ari itu siapa, Ki?" Tanya Adi yang penasaran. Andin yang masih kesal pun menoleh, memberi tatapan tajam pada Abangnya. Kedua lelaki yang tengah menonton pun tertawa bersama melihat tatapan yang cukup menyeramkan dari Andin.
--
Selepas pulang kuliah, Andin dan Ari mampir ke toko buku. Menemani Andin untuk mencari refrensi dalam pembuatan laporan juga Ari yang ingin mencari buku untuk jadi bahan bacaan dirinya ketika suntuk.
"Perlu ditemani?" Tawar Ari setibanya mereka di dalam toko buku. "Gak usah, kan kamu juga mau nyari buku. Nanti aku hubungi kalau sudah selesai," ujar Andin. Ari menggeleng, "okedeh, aku ke sana dulu, ya?" Ari menunjuk ke arah buku tentang politik. Andin mengangguk, setelah ia pergi untuk mencari buku yang ia cari.
Andin mengambil ponselnya, untuk melihat buku apa saja yang harus ia cari. Namun, satu notifikasi yang muncul di hpnya mampu membuat moodnya turun drastis.
Andin mengambil 2 buku yang sudah ia temukan. Lalu, setelahnya ia mencari Ari.
"Sudah?" Tanya Ari, saat merasa Andin yang menepuk lengannya. Andin mengangguk, "sudah. Belum ketemu bukunya?" Tanya Andin.
Ari melihat perubahan wajah dari Andin, "kenapa? Bukunya gak ada?" Tanya Ari. Andin menggeleng, "besok nyari lagi," balas Andin.
Ari mengambil salah satu buku yang ia inginkan. "Sudah, yuk ke kasir," ujar Ari.
Mereka berdua pergi ke kasir untuk bayar buku yang sudah ia ambil.
"Kita makan dulu ya? Tadi katanya kamu belum makan," Andin mengangguk.
Setelahnya mereka pergi ke tempat makan yang tak jauh dari toko buku yang baru saja mereka datangi.
Setibanya, mereka langsung memesan makanan.
"Ndin," panggil Ari, namun tidak ada sahutan dari Andin. Ari menyentuh tangan Andin yang tengah memegang sendok. "Andin," sekali lagi Ari memanggil Andin.
Andin menatap Ari, "Makan dulu, jangan melamun," tegur Ari saat melihat Andin yang melamun dengan makanan yang hanya diaduk-aduk.
Andin memakan makanan yang ada di depannya. Keheningan menemani mereka berdua, "kenapa, Ndin? Mau cerita? Ada aku," ujar Ari. Menatap Andin yang menatap dirinya juga.
Gelengan kepala yang menjawab pertanyaan Ari, "aku gapapa," balas Andin.
"Kamu yakin? Ada yang kamu mau cari lagi? Nanti aku temenin," tawar Ari. Namun, Andin menggeleng, "gak ada, Ri," balas Andin.
Ari menghembuskan napasnya, tidak tahu harus bertanya apa lagi pada Andin.
"Kalau kamu gapapa, tunjukin dong senyum manis kamu ke aku," balas Ari. Andin tersenyum menatap Ari. Ari tidak ingin memperpanjang, ia sadar bahwa senyuman yang diberikan Andin adalah senyuman terpaksa. Tidak seperti biasanya.
--
Ari baru saja pulang dari rumahnya. Andin masih saja memikirkan kejadian saat di toko buku tadi.
Andin mengambil ponselnya. Membuka notifikasi yang masuk sejak tadi sore di hpnya.
Di mana? Kita ketemuan, ya? Aku kangen.
Sepenggal kalimat yang mampu memberi rasa nyeri dalam hati Andin.
Mengapa ia masih bisa terpengaruh dengan satu kalimat dari Arkan? Mengapa masih begitu menyesakkan rasanya?
Sejak dulu, mengapa Andin begitu mudah terpengaruh dengan Arkan? Seolah rasanya begitu lemah jika sudah terkait dengan Arkan.
Kini, semua terulang lagi. Andin bahkan sudah terlalu kecewa untuk yang kedua kalinya, dengan orang yang sama.
Tolong, jangan hubungi aku lagi. Tolong hargai keputusan aku.
Balas Andin.
Andin memejamkan matanya. Sebuah deringan notifikais di ponselnya mengusik dirinya.
Ari is calling...
Andin mendengar salam yang terucap mengawali pembicaraanya dengan Ari, "waalaikumussalam, udah sampai rumah?"
"Sudah," balas Ari.
"Ada apa?" Tanya Andin.
"Aku gak boleh telfon kamu?"
"Bukan gitu," Andin salah mengucapkan kalimat yang ada di otaknya.
"Apapun yang kamu alami sekarang, jangan lupa kalau ada aku tempat kamu cerita. Aku gak maksa kamu untuk cerita, tapi kamu tahu kalau aku gak bakal tenang melihat kamu seperti ini."
"Maaf," balas Andin.
"It's okay. Anything for u, Ndin. Yaudah sekarang kamu istirahat, aku cuma mau nyampein itu aja si tadi, hehe,"
"Kamu juga istirahat ya? Maaf sudah buat kamu khawatir, and thankyou sayang,"
"Yaudah aku tutup ya? Assalamualaikum,"
"Waalaikumussalam,"
Setelahnya, Andin masih menatap ponselnya. Wallpaper yang langsung terpampang. Foto dirinya dengan Ari saat di danau satu bulan yang lalu.
"Maafin aku," gumam Andin.
Di lain tempat, Ari juga menatap ponselnya. Foto Andin yang tengah tersenyum langsung terlihat, karena Ari memasangnya menjadi wallpaper hpnya.
Baru satu bulan hubungan dirinya dan Andin berjalan. Baru awal, namun entah mengapa Ari merasa begitu nyaman dengan Andin. Berawak dari sebuah pura-pura namun menjadi akhir yang cukup nyaman bagi Ari, mungkin juga Andin.
"Apa aku bisa untuk terus bersama kamu, Ndin?" Gumam Ari.
--
To be continue. . .
Sweet,
DyarissTerimakasih sudah membaca
Follow : @dyarisstory // @ginaedyaa
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] IF I CAN [Completed]
General FictionHighest Ranking : #94 in generalfiction [26/04/2020] "Karena rasa tidak semudah itu hilang." Mulai : 05 Mei 2018 Tamat : 12 Februari 2020 Copyright© 2018 by dyariss