10 ✔

3.9K 186 17
                                    

Arsel menuju kekelasnya-dilantai tiga, dan itu... Membuat Arsel kehabisan nafas. Sampai ia benar-benar merasa kehilangan nafas saat dirinya mengambil langkah dianak tangga terakhir, dan menampakkan seseorang yang... Benar-benar tidak diharapkan.

Ketika memijakkan kakinya dilantai tiga, Arsel hanya bisa menunduk dan tak berani menatap wajah orang yang berada didepannya.

"Pet!" Panggilnya membuat Arsel tersentak dan menatap orang didepannya dengan gugup.

Orang itu-Demian, satu-satunya yang memanggil dirinya pet itu menatap peliharaannya penuh dengan tatapan penekanan. Sorot matanya bisa membuat siapa saja terasa sesak, apalagi ditambah dengan topeng yang sudah di ketahui oleh Arsel. Apa Arsel sanggup melalui hari ini tanpa masalah?

"Lo..." Demian mendekati Arsel, sedangkan Arsel hanya bisa memundurkan langkah kakinya demi langkah dengan gugup. Cowok itu tidak akan menyakiti ataupun membunuh dirinya bukan? Ayolah, Arsel sadar ia tidak punya salah apapun untuk membuat alasan dirinya dibunuh. Apa ia membuat sesuatu yang Demian tidak sukai?

Langkah Arsel terhenti ketika punggungnya tertahan dengan dinding yang membuat dirinya semakin gugup. Apa karna dia masuk terlalu pagi, hingga lorong dilantai tiga begitu sepi?

Demian berada tak jauh dari Arsel, pandangannya tampak memotong jarak diantara mereka berdua. Tangan kanan Demian mulai bergerak, pelan... Tapi cukup untuk membuat deru nafas Arsel semakin kencang.

Keringat dipelipisnya tampak keluar dari pori-porinya yang begitu kecil dengan paksa. Tubuhnya terasa panas dingin, perasaan takut dan khawatir bercampur aduk.

Jemari-jemari Demian, menyentuh pipi Arsel dan gadis itu hanya bisa menahan nafas gugup. Dengan lembut, ia membelai walau hanya sekedar saja tapi Arsel merasakan hawa yang tidak biasa, seperti aora seram dari Demian menusuk-nusuk pikiran Arsel.

"Afraid, huh?"

Bulu kunduk Arsel langsung berdiri dan dadanya bergetar mendengar satu kata untuk ukuran sebuah pertanyaan. Bibir Arsel pucat dan menggigil, tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Mudah! Jawab saja dengan jujur. katakan bahwa dia memang takut. IYA!! tapi satu kata itu terasa sulit untuk keluar dari bibirnya.

"Tell me... Girl!" Suara itu menuntut Arsel memberikan jawaban hingga tangan Demian yang awalnya membelai pipi Arsel dengan pelan kini mencengkram kedua pipinya dengan kasar, dan menampakkan sorot mata tanpa emosi.

Geraham Arsel saling mendorong, mencoba untuk mengatur nafasnya. Namun, alih-alih menjadi semakin tenang, cengkraman itu membuat Arsel takut setengah mati. Matanya tertutup rapat dan suara gumaman tidak jelas keluar dari mulutnya.

"don't do this..." Lirih Demian pelan. Cengkraman itu dalam sekejap terlepas, tatapannya tidak lagi lurus menatap horor Arsel. Ia memandang kearah bawah, seolah ia bukanlah orang yang perlu ditakuti, dan berpikir dia itu...tidak berdaya.

Arsel terdiam. Memejamkan matanya. Kenapa suara lirihan Demian, benar-benar membuat dadanya sesak? Bukankah Arsel disini ada sebagai korban, kenapa Demian harus berucap dengan mata yang awalnya tajam kini luntur menjadi tatapan sayu. Apakah ini topeng baru Demian? Jika iya, untuk apa?? Untuk mempermainkannya??

"I don't want to cross the line," Ungkap Demian lagi dengan suara berat dan lirihan beserta tatapan yang begitu menjadi remang dan suram.

Jangan seperti itu Demian...

Disini, yang menjadi sebuah bahaya... Adalah Demian!

Tapi kenapa kini Demian membuat dirinya dengan tatapannya yang begitu menyesakkan. Tatapan itu, bahkan wajahnya terasa bisa membius siapapun kaum hawa, bahkan Arsel yang kini lupa posisi dirinya.

Are You PSYCHOPATH || He Is My Childhood FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang