Di sinilah Fania sekarang, duduk berdua dengan orang yang sangat ia hindari. Mana ada sih orang seperti Fania, yang sukarela menjadi patung ber jam-jam hanya untuk mengikuti kemauan orang di hadapanya.
Sedangkan orang yang berada di depanya, tengah melahap makana nya tanpa mengajak Fania. Padahal sebenarnya yang mengajak ketempat ini, adalah orang itu. Betapa ingin nya Fania menonjok orang itu.
"Lo niat banget yah buat cacing di perut gue demo. Gak ada niatan apa lo, buat nawarin gue makan" terlihat orang itu memberhentikan suapan nya. Orang itu menghela nafas kemudian menatap Fania.
"Punya mulut kan? Tinggal pesan doang, apa susah nya. Ya kali harus gue yang mesenin, satu kata buat itu OGAH" orang itu langsung melahap makanan-nya kembali. Fania berdecak mendengarnya, tau gini dia langsung pulang saja. Sudah uangnya habis untuk membeli novel, ya kali ia memakai uang untuk ongkos pulangnya. Mau pulang naik apa dia entar.
Cowok itu menatap Fania kembali, "tenang gue teraktir" sedetik kemudia Fania langsung memanggil pelayan. Memang Fania berharap kalimat itu keluar dari mulut cowok itu, akhirnya yang di tunggu-tunggu tiba. Bodo amat jika dia di bilang matre, yang penting perut kenyang.
Cowok itu menggeleng melihat itu, padahal mereka baru kenal beberapa jam lalu. Tapi entah mengapa mereka begitu akrab, layaknya seorang teman lama. Begitu juga dengan Fania, dia sama sekali tidak takut akan cowok di depanya. Padahal awal ketemu, dia lari kejer saat melihat cowok itu.
"By The Way, waktu itu kenapa lo lari?" Tanya nya.
Kalimat itu membuat Fania mengingat kejadian dua hari lalu, cowok yang berada di rombongan biang onar. Yah, yang waktu itu mengejar Fania. Tapi saat di lihat lebih teliti, dirasa orang ini yang menjadi masalahnya. Orang di hadapanya ini, yang menyuru anak buah nya untuk mengejarnya. Dan kini tanpa dosanya ia membahas itu, bahkan tak ada raut bersalah sedikit pun. Mungkin opsen pertama Fania untuk menonjok orang itu memang benar, harus di laksanakan.
"Ya waktu tuh kan lo ngejer gue, gue takut lah... apalagi penampilan lo udah mencerminkan sikap lo, berandalan. Dan gue takut kalok lo ama temen lo, gue di....itu lah pokonya" cowok itu sedikit mengerutkan keningnya, kemudia tertawa tanpa tersinggung dengan ucaoan Fania. ia kembali menaruh sedoknya ke piring. Teryata ada sedikit kesalah pahaman disini.
"Yah waktu itu gue sama temen-temen gue emang lari, dan waktu itu gue sempet liat lo. Tapi yang buat kami lari, bukan karna lo. Waktu itu bertepatan ada serena mobil polisi, makanya kami lari. Salah satu yang kami tuju yah sekolah, karna kami yakin polisi gak akan kesana." Malu, itu yang di dapat Fania. Seharusnya kamarin ia mendengar bunyi itu, kalu sudah begini sudah. Mau bagaimana lagi, terkadung Fania mendapat malu.
"Kenapa muka lo merah gitu" tanpa dosanya cowok itu mengatakan kaliamat itu.
"Gak..gak papa" jawab Fania gugup, untung saja pelayan segera datang membawa pesenan nya. Jadilah ia bisa menyibukan diri, memakan makanananya dengan cepat.
Cowok itu mendengus geli, melihat cara makan Fania. Lalu teringat akan sesuatu, segera ia membuka tas miliknya dan mengeluarkan sesuatu.
Di letakanya sebuah buku di meja, "punya lo."
Fania langsung mengangguk dan mengabilnya, di lihatnya setiapa sisi buku itu. Masih bagus, dan ada sebuah nama yang menjadi tanda pengenal.
Fania langsung menatap cowok itu, giman bisa buku miliknya berada di tangan cowok itu. Padahal mereka baru ketemu dua kali, apa mungkin dia stalker. Oke kelihatanya sekarang Fania ke-pdan.
Melihat tatapan menuntut dari Fania membuat cowok itu menjelaskannya, "gue nemu di jalan waktu itu. Kemungkinan besar itu punya lo, soalnya yang lari bareng kami kan lo. Jadi pasti punya lo, lagian ada tertera nama cewek di situ."
KAMU SEDANG MEMBACA
Metamorfosis
Teen Fiction"Cinta itu layaknya metamorfosis yang selalu bertahap, jadi gak usah heran kalok cinta lo selalu diuji" ______________________________ "Noh yang itu" tunjuk seorang cewek beramput panjang sebahu. "Kalok lo gak bisa buat si ketos jadi pacar lo, lo ha...