Tepat pukul tujuh malam di restoran di kawasan Malioboro.
Aku berjalan lambat sembari mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tak sampai lima detik aku sudah menangkap punggung sesosok yang familier.
Rangga, desisku.
Aku menghampiri meja di sudur ruangan yang mengahadap ke sebuah jendela besar. Rangga langsung tersenyum melihat aku datang.
"Hai".
Aku tersenyum sekilas lalu cepat-cepat duduk.
Hening.
Rangga menatapku, namun aku sibuk melihat keluar jendela. Seperti biasa aku tidak mampu bertatapan lama-lama dengan Rangga.
"Aku besok akan pulang".
Rangga memulai pembicaraan. Aku menatapnya sekilas.
"Iya, kamu sudah bilang".
Terdengar helaan napas. Aku mengangkat wajah dan mendapati ekspresi Rangga yang kelihatan gugup.
"Ada apa?"
Tanpa sadar aku bertanya.
Rangga menatapku ragu lalu berkata pelan.
"Aku rindu kamu. Sangat".
Jantungku berdegup kencang. Apa pula maksudnya? Aku tidak mau salah sangka lagi.
Tidak untuk kali ini. Sudah cukup aku salah menafsirkan maksud segala perbuatan Rangga.
Aku hanya diam dan memandangnya dengan pandangan heran.
Rangga melanjutkan perkataannya lambat-lambat.
"Sudah lima bulan ya sejak kita menjadi jauh begini".
Terdengar helaan napas lagi.
"Aku awalnya tidak tahu kenapa kamu tiba-tiba seperti menghindariku.
Aku terlalu bodoh untuk menyadari situasi di sekitarku.
Aku bahkan terlalu bodoh untuk menyadari bahwa perkataanku kala itu mungkin sudah menamparmu terlalu keras".
Aku menundukkan kepala, berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh begitu saja dari tempatnya.
"Aku terus menerus bersikap seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.
Aku terlambat menyadari kalau kamu sudah mulai melangkah untuk mengambil jarak dariku".
Rangga membaca raut wajahku sejenak, lalu melanjutkan.
"Hingga akhirnya aku mulai kesal ketika keadaan tak lagi sama sejak kamu tidak ada.
Semuanya mendadak hilang. Kebahagiaan yang seolah sudah wajar aku rasakan setiap hari, mendadak sirna.
Aku berusaha mencari sumber kebahagiaan itu, tanpa menyadari bahwa kamulah yang selalu membuat aku tertawa bahagia setiap hari.
Pada detik di mana aku menyadari hal itu, aku sadar aku telah membuat satu kesalahan besar".
Rangga berhenti sejenak.
Aku mengangkat wajah dan melihat sosok Rangga di hadapanku yang tampak sedang berusaha keras menekan ego demi menyampaikan perasaannya.
Aku pun membuka suara.
"Hei, semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang perlu disesali. Aku juga sudah tidak apa-apa sekarang".
Rangga menatapku tepat di manik mata.
"Apa itu artinya aku sudah terlambat?"
Aku mengangkat alis, mencoba memahami maksud dari ucapannya.
"Terlambat untuk?"
Rangga tidak segera menjawab. Ia menatapku lalu meraih tanganku.
"Besok aku pulang. Nggak, pulang bukan kata yang tepat sebenarnya.
Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan studi ke Jerman.
Niat awalku memang untuk menata kembali hidupku yang sempat berantakan beberapa bulan terakhir. Tujuanku datang ke sini adalah ingin menenangkan diri sejenak sebelum aku benar-benar meninggalkan Indonesia".
Rangga lalu tersenyum.
"Siapa sangka aku malah bertemu kamu di sini".
Aku menatapnya lalu tersenyum kecil. Setelah berpikir sejenak, aku memberanikan diri bertanya.
"Lalu setelah bertemu begini, kamu ingin bagaimana?"
Rangga menatapku, berusaha membaca ekspresiku. Lalu beberapa saat kemudian ia membuka suara.
"Aku ingin mengaku. Mungkin ini agak terlambat. Tapi aku harap kamu mau memahaminya sebagai salah satu kebodohanku dalam memahami perasaanku sendiri.
Aku suka kamu.
Sejak dari awal kita bertemu, aku sadar hanya kamu yang bisa membuat aku tertawa lepas.
Kamu yang selalu ada di saat aku bingung harus menentukan langkah.
Kamu yang selalu menjadi pendengar yang baik setiap aku ingin mencurahkan isi otakku yang mungkin sangat membosankan buatmu.
Kamu yang selalu memahami aku dan bahkan mengalah ketika akhirnya aku tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang menyakitkan waktu itu. Bahkan kamu memberiku ruang ketika aku terlalu sibuk dengan yang lain.
Kamu yang selalu bersikap dewasa sekalipun hatimu mungkin sangat sakit.
Aku tidak tahu apakah aku sudah cukup bisa memahamimu.
Tapi untuk kehilangan kamu sekali lagi, maaf aku tidak bisa.
Maka dari itu meskipun aku sudah melakukan kesalahan fatal, aku harap kamu bisa menerimaku sekali lagi".
Aku terpana mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Rangga dengan lancar. Tidak kusangka, ternyata lima bulan mampu mengubah Rangga sedrastis ini.
Rangga yang aku kenal selalu mempunyai ego yang sangat tinggi. Tidak mungkin ia akan mengatakan hal seperti saat ini.
Rangga yang selalu membuat aku menafsirkan sendiri apa arti dari segala ucapan dan sikapnya, kini sedang berkata dengan sangat frontal soal perasaannya.
Rangga, apa kesabaranku kini telah membuahkan hasil?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilatory
Teen FictionKetika memiliki satu sama lain tidak selalu menjadi solusi dari sebuah persatuan rasa. Kadang melepas adalah satu-satunya cara untuk mendewasakan satu sama lain. Di Kota Yogyakarta, dua insan kembali dipertemukan dan diizinkan untuk mengatakan apa y...