Aku masih terdiam. Jantungku berdebar sangat keras sampai aku takut Rangga akan mendengarnya. Setelah memantapkan hati, aku mulai bersuara.
"Hei, terima kasih sudah jujur. Aku tahu kamu bukan orang yang mudah melakukan hal seperti ini.
Aku senang sekali kalau akhirnya kamu sadar akan perasaanku waktu itu.
Iya, aku sangat terpukul waktu kamu bilang aku adalah sahabat terbaikmu.
Iya, aku memang memutuskan untuk mundur dan memberimu ruang untuk bersama dengan orang lain karena aku tahu aku mungkin bukan sumber bahagiamu.
Jujur, aku pun sekarang masih sangat menyukai kamu, Rangga. Tapi aku juga sudah membuat keputusan sendiri.
Mungkin waktu itu kita bahagia. Sangat.
Tapi untuk mengulangnya lagi, aku tidak yakin. Karena retak kala itu sudah meninggalkan bekas yang tidak bisa dihapus. Ini bukan sebuah kisah cinta yang sederhana, di mana dua insan bisa saling memiliki jika sudah saling mencintai.
Aku tahu kita tidak seperti itu.
Kamu yang terlalu rumit, dan aku yang terlalu sensitif.
Jika ada satu kalimat yang bisa mewakili jawabanku saat ini, aku akan berkata.
Iya, Rangga, kamu sudah terlambat.
Maaf, aku tidak bisa menerimamu lagi.
Kita masih bisa berteman, tenang saja.
Tapi maaf sekali lagi. Aku mungkin tidak akan selalu ada seperti dulu. Aku pun harus menata hidup mulai sekarang karena hidupku belakangan ini sama berantakannya dengan hidupmu.
Kejarlah mimpimu. Kelak kalau ada kesempatan, mari bertemu lagi.
Mungkin jika saat itu tiba, kita sudah bisa saling melupakan perasaan masing-masing.
Tapi jika belum, mungkin saat itu Tuhan telah menurunkan takdir yang paling indah untuk kita".
Aku menatap Rangga lalu tersenyum meminta maaf.
Kulepaskan genggaman tangan Rangga dan bangkit dari tempat duduk.
Tiba-tiba Rangga memegang tanganku dan memelukku erat.
Detik itu pula aku sadar. Ini adalah pelukan pertama dan terakhir dari Rangga.
Air mataku jatuh, namun cepat-cepat kuhapus.
"Besok aku akan mengantar ke stasiun. Kapan keretamu akan berangkat?"
Rangga melepas pelukannya.
"Jam lima sore. Tapi tidak usah repot-repot. Aku benar-benar sudah terlalu sering membuat kamu repot".
"Tidak apa-apa. Aku akan datang".
Aku melangkah keluar dari restoran.
Setibanya di hotel, aku segera menuju balkon. Mencoba menenangkan diri sembari menatap bulan yang masih mempertahankan bentuknya yang sempurna.
Rangga, aku harap aku sudah membuat keputusan yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilatory
Teen FictionKetika memiliki satu sama lain tidak selalu menjadi solusi dari sebuah persatuan rasa. Kadang melepas adalah satu-satunya cara untuk mendewasakan satu sama lain. Di Kota Yogyakarta, dua insan kembali dipertemukan dan diizinkan untuk mengatakan apa y...