Bulan Desember akhirnya tiba. Begitu turun dari pesawat, Jinyoung langsung merasakan hangatnya udara Indonesia. Tak seperti di Korea yang tetap dingin meski salju tak turun tahun ini.
Jinyoung membawa koper kecilnya menyusuri lorong pintu keluar bandara. Dia melihat segerombolan anak remaja yang sedang bercanda di kursi tunggu yang membuat Jinyoung teringat masa SMA-nya di Indonesia, kala itu ia juga suka nongkrong di warung dekat sekolah sambil bercanda dengan teman-temannya.Seorang bapak melambai ke arah Bae Jinyoung sambil tersenyum lebar. Usianya sekitar 50 tahunan. Bapak itu adalah supir taksi yang dulu pernah menjadi langganan Jinyoung sewaktu di Indonesia. Pak Karim namanya.
Jinyoung tersenyum sambil melambai ke arah Pak Karim. Ia berjalan lebih cepat lagi menghampiri Pak Karim.
"Aduhh mas Jin, masih cakep aja, ga berubah dari SMA. Sini saya bawakan kopernya." Ujar pak Karim.
"Bapak juga ga berubah kok," jawab Bae Jinyoung dalam Bahasa Indonesia untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
"Mas Jin belom lupa ya sama bahasa indonesia?" Tanya pak Karim sambil memasukan koper dalam bagasi mobilnya.
"Untungnya enggak pak, karena saya masih suka baca buku Indonesia. Gimana kabarnya pak?" Tanya Jinyoung sambil membantu pak Karim menutup bagasi mobil.
"Alhamdulillah baik, Mas mau saya antar kemana dulu? Mau makan soto ayam dulu ga?" tanya Pak Karim, karena soto ayam adalah makanan favorit Jinyoung.
"Langsung ke stasiun Gambir aja pak, 3 jam lagi kereta saya dateng dan langsung ke Jogja."
"Wah udah kangen yo mas sama Jogja, saya juga. Tapi buat taraf hidup lebih baik saya pindah kesini hehe" Jawab Pak Karim dengan aksen jawanya.
Jinyoung tersenyum meng-iyakan. Bukan Jogja alasan sebenarnya yang membuat ia rindu. Tapi Sebuah tempat, dimana ia menempuh pendidikan dan dimana ia menemukan salah satu teman terbaiknya. Teman yang selalu ada di pikirannya.
"Bismillahirrahmanirohim," ucap Pak Karim lantang sebelum melaju meninggalkan bandara.
Bae Jinyoung membuka tas ransel biru tua yang ada disampingnya. Tangannya merogoh masuk kedalam dan menemukan sebuah buku catatan kecil berwarna hitam. Buku terpenting dalam hidupnya. Setiap ia membaca buku itu, Jinyoung tak berhenti tersenyum.
Tanpa Jinyoung sadar, Pak Karim melihat Jinyoung yang tersenyum-senyum sendiri dari pantulan kaca.
"Ada apa to mas kok senyum senyum? Bahagia banget ya?""Inget jaman SMA dulu pak. Saya masih cupu. Kemana-mana takut." Jawab Jinyoung.
"Masih inget ga mas dulu pertama kali masuk SMA, saya jemput mas Jin nangis sampe mau ngompol hahaha,"
"Aduhh, jangan inget lagi pak, itu jaman saya masih cemen banget."
Jinyoung masih ingat, awal dia masuk di SMA Tunas Bakti Yogyakarta. Hari pertama adalah hari yang paling sial dan paling buruk untuknya. Kepribadiannya yang pendiam, tertutup dan tidak suka berkenalan dengan orang baru membuatnya tidak mau sekolah. Tapi kemarahan ayahnya lebih menakutkan untuknya dan ia terpaksa masuk sekolah walaupun berat.
Jinyoung masuk kelas X IPS II. Bahasa Indonesianya terbatas, ia tak ngobrol dengan anak yang lainnya. Teman sebangkunya yang bernama Rendra juga tak menyapa dia sewaktu bu Nia, wali kelas X IPS II menyuruh Jinyoung untuk duduk di bangku 2 dari belakang. Pertama kali melihat Jinyoung, semua anak dikelas memperhatikannya seolah ia adalah binatang langka. Pandangan anak anak kelas sangat tidak membuat nyaman hingga ia hampir menangis. Ia yakin kehidupan selanjutnya akan seperti di neraka.
"Jinyoung?" Ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. Seorang cewek yang duduk dibelakangnya. Ia mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.
Jinyoung mengulurkan tangannya dengan ragu-ragu dan tak mengatakan apapun. Cewek itu menggenggam tangannya erat.
"Aku Melisa." Kata cewek itu sambil tersenyum kepada Jinyoung.
Melisa menjadi orang yang pertama dikenal Jinyoung di sekolah. Waktu istirahat, Melisa menolak ajakan temannya ke kantin dan memilih untuk di kelas saja. Saat itu hanya ada Jinyoung dan Melisa di kelas. Jinyoung tahu hal itu tapi ia pura-pura tidur dengan melipat tangannya diatas meja.
"Heeii, kamu ga laper?" Dari belakang Melisa menggoyang-goyangkan bahu Jinyoung.
Jinyoung menengok ke belakang hanya melihat melisa tanpa mengatakan apapun.
"Pegopa aniyeyo?( kamu ga laper?)" Tanya Melisa lagi dengan Bahasa Koreanya yang tidak tau salah atau benar.
Jinyoung agak terkejut karena Melisa berbicara dalam Bahasa Korea. Ia hanya menggeleng kemudian kembali tidur.
"Bahasa korea aku salah ya? Makanya kamu ga mau jawab?" Melisa menggoyang-goyangkan bahu Jinyoung kembali.
Mengganggu. Itu yang Jinyoung rasakan sekarang. Ia memutar badannya menghadap ke Melisa. "Bahasamu ga salah,"
"Yaudah kita makan bareng ya, aku bawa bekal nih, ok?" Melisa mengeluarkan kotak makan berwarna hijau. Kemudian Melisa membukanya dan isinya telur dadar dengan mie goreng.
"Aku ga lapar, kamu saja yang makan." Jawab Jinyoung sambil memperhatikan kotak makan Melisa. Porsinya terlalu sedikit.
"Eh ini Indomie loh, sekali kamu coba ketagihan, udah coba dulu akkk," Melisa menyodorkan sesendok mie ke depan mulut Jinyoung. Mau tak mau Jinyoung melahapnya. Jujur menurutnya aroma mie itu menggoda.
"Enakkk kaann??" Tanya Melisa sambil tersenyum lebar.
Jinyoung terkejut dengan rasanya. Agak beda dengan mie instan yang ada di Korea. Benar kata Melisa ia ketagihan. Sejak itu ia sering makan mie bersama Melisa. Mereka jadi teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Train Of Destiny
FanfictionMelisa tidak bisa melupakan masa SMA nya di Yogyakarta. Masa SMA yang begitu berharga dengan teman pindahan yang berasal dari negeri yang jauh, Bae Jinyoung.