BAB 2

3.6K 115 0
                                    

🌹"Percayalah setelah kesedihan akan datang kebahagiaan, terus bergantian seperti malam dan siang."🌹

🍁🍁🍁

Sekolah Ventura 1 Jakarta Pusat. Plang besar yang berdiri kokoh dengan sederet tulisan dengan cat berwarna putih bersih, terlihat begitu elegan untuk dipandang.

Halaman yang sangat besar dan luas, dipenuhi pepohonan dipinggir area perkebunan menambah kesan yang begitu megah. Berderet motor dan mobil mewah, berjajar di area parkir yang cukup rapi.

Kantin bak restoran bintang lima yang tidak pernah sepi, menambah kesan tersendiri bagi siswa-siswi baru yang memasuki sekolah favorit dengan nama yang dijunji tinggi oleh pemerintah daerah, karena kecerdasan penghuninya. Tersorot bersih, rapi dan juga ramai oleh warga sekolah yang tengah bersantai di jam istirahat.

Terlihat dari sudut, plang bertuliskan IPA 1 terlihat sepi. Hanya satu bangku yang diisi oleh seorang pria tengah berdiam dengan berderet buku di atas meja. Mata cokelat itu terfokus pada buku fisika yang terbuka lebar, tetapi pikirannya mengarah tidak tentu arah. Hanya satu nama yang mengisi benak.

"Kemana dia? Mengapa belum kembali dari tadi pagi?"

Sekilas ia kembali menatap bangku kosong di belakang punggung. Hampir bersarang oleh laba-laba yang melintas. Ia kembali memokuskan pikiran untuk mengejar deadline soal, tetapi pria itu memutuskan untuk memberesi buku-bukunya lalu segera pergi.

Telepon genggamnya berdering. Ia menatap lalu segera mengangkat.

"Halo, Nak. Nanti jam pelajaran Fisika dikosongkan karena Ibu akan ada rapat untuk Ujian Nasional bulan depan. Jadi tugas kamu beri tahu teman-teman untuk mengerjakan esai awal Bab lima hingga akhir Bab enam. Minggu depan kita akan bahas satu persatu."

Marten mengusap keringat yang tiba-tiba saja mengucur deras dari dahinya. "Ba-baik, Bu. Nanti saya sampaikan kepada teman-teman," ucapnya pasrah sembari memegang dada yang berdenyut.

"Baik. Ibu percaya sama kamu, Mar. Jadilah contoh yang baik untuk teman-teman. Terima kasih, silakan beristirahat."

"Baik, Bu."

Marten kembali menuju bangku dengan langkah lemas. Ia menyibak lembar demi lembar soal-soal di depannya dengan terpaksa. "Aku bisa mati pinter jika menjawabnya sendiri." Pria itu menjambak rambut dengan kasar lalu berusaha memokuskan diri.

"Mar, ini buat kamu." Seseorang menyodorkan sekotak bekal ke arahnya. Berwarna pink, khas milik perempuan feminim seperti gadis yang berdiri dengan tatapan berharap pria itu menerima masakan yang dikhususkan untuknya.

Apa lagi ini, batin Marten ikut gelisah dengan kedatangan siswi tercantik di sekolahannya.

Ia tetap diam tidak bergeming dan mengerjakan soal dengan rumus-rumus yang baru saja dicoret pada lembaran kertas lainnya. Gadis itu ikut mendudukkan diri di depan Marten seraya menopang dagu, melihat pria yang tengah menyelesaikan soal-soal itu dengan intens sembari tersenyum lebar.

Mata cokelat yang menangkap tatapan Relia  langsung menunduk. Pikiran Marten tidak fokus jika gadis di depannya terus menatap seperti itu.

"Apa yang kamu mau?" tanya Marten basa-basi seraya mengerjakan soal untuk mengalihkan perhatian.

"Tidak ada."

Marten mendengus. "Lalu mengapa kamu menatapku seperti itu?"

"Kau tampan," ujarnya tanpa dosa.

Pria itu meletakkan pensil yang sedari tadi ia genggam lalu membenahi dasi yang sedikit kendor dengan mengembuskan napas kasar. "Kamu tau 'kan, ji-"

Alasan Syurga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang