III | D-Dy

3 2 0
                                    

|—Prinsip Bodoh

Aku ingat. Pagi itu hari pertama puasa di bulan Ramadhan. Kulihat kamu dari balik kusen jendela kamarku. Kamu dan sepeda motormu. Motormu terparkir Indah di halaman rumahku yang basah karena hujan yang belum lama reda. Kulihat rambutmu, berantakan juga sedikit basah. Kau sisir kebelakang dengan jari-jarimu. Satu kata dariku. Keren. Selalu.

Berjalan pelan namun pasti menuju beranda rumah yang tak jauh dari jendela kamarku, membawa kotak besar berwarna ungu. Kuperhatikan setiap jengkal tingkahmu. Bersapa dengan ayah bundaku. Baru kusadari bahwa dihari itu sikapmu telah dewasa meski masih remaja. Tak ada lagi seringai konyolmu untukku. Namun, senyum dan candamu yang sopan telah membuka hati kedua orang tuaku.

Kamu. Kita kenal sudah tiga tahun lebih dan kamu yang selalu temani aku disetahun tahun belakangan ini. Tertawa dan saling menertawai. Memelukku ketika aku jatuh. Juga melepas ikat kucir kudaku. Kamu juga yang cubiti pipiku. Aku kesal padamu. Terbit sudah senyumku ketika mengingatmu.

Namun, mungkin itu kan jadi kisah 'dulu'. Masaku dan kamu mungkin kan segera berakhir. Setelah -tepatnya tahun besok- kamu pergi. Kamu yang akan pergi kuliah dan aku yang masih memakai seragam putih abu-abu. Tak masalah jika umur kita tak sama, lagipula hanya berbeda dua tahun kan,  katamu.

Hubungan tanpa status ini buatku resah, tanpa ikatan resmi namun saling memiliki. Aku hanya takut. Aku tau dan sadar kita harus kejar mimpi kita masing-masing. Aku Kan menunggumu, sama sepertimu yang menungguku. Dengan harapan semu. Aku tahu aku yang salah, aku yang memintamu tuk tak mengikatku hanya karna prinsip semata. Bodoh katamu. "Kan dulu waktu bikin prinsip itu aku belum kenal kamu, kamu pengen aku langgar janjiku sendiri Re?" Ya itu yg selalu kita debatkan. Benarkan?

Tanpa sengaja tatapan matamu jatuh padaku. Diam. Membisu. Kutundukan kepalaku. Tak bermaksud menghindarimu. Kulihat kamu dari ujung mataku. Senyum hangatmu masih tersingsing untukku. 
Namun, yang ku tahu senyumku pudar karnamu. Kala mengingat kamu tak lagi ada untukku. Aku paham. Aku tak ingin egois. Waktu dan duniamu juga bukan hanya untukku. Sibukmu --yang sekarang ku tak tau-- tlah ambil alih pikiranmu. Yang kutahu, kamu harus kejar duniamu.

Ah aku punya pikiran negatif terhadapmu. Mungkin ya mungkin --karna ku tak tahu--  ada perempuan lain di kehidupanmu, nanti. Kamu bisa saja pergi tinggalkan aku. Tuk perempuan lain, dengan hubungan yang lebih serius dan itu bukan aku. Entahlah, hanya tak ingin egois. Kamu tak pernah cerita tentang perempuan lain di hidupmu padaku. Resah diriku. Pikirkan kamu memulai hubungan dengan perempuan diluar sana.

Aku kenapa? cemburu? Aku sadar. Katamu kamu milikku tapi kamu bukan kekasihku. Lantas apa yang harus ku lalukan sekarang. Aku tlah terbiasa akan keberadaanmu di sekitarku. Namun, sekali lagi aku ditampar oleh kenyataan. Bahwa aku harus terbiasa tanpamu.

Oh. Dia berpamit. Berjalan ringan. Menuju motornya. Sebelum memakai helm. Kamu sengaja menoleh, melihatku dengan senyummu yang semakin lebar. Kamu berlalu. Ada apa?

Tok! Tok!
Suara ketukan pintu kamar. Menyadarkanku. Kubuka. Ternyata ibuku. Senyum-senyum sembari menyerahkan kotak ungu besar. Dari Reza katanya sambil lalu. Ya aku tau, pikirku. Kututup pintu.

Penasaran. Segera ku buka. Tenyata, boneka kelinci warna ungu. Haha bisa saja kamu, pikirku sambil tersenyum kecil. Disampingnya terdapat sepucuk surat. Ku buka.

"Tunggu aku, aku bakal dateng buat nagih janjimu. Kamu tau Ra? Aku nunggu kamu kayak orang bego, dan aku bakal pecahin prinsip konyolmu -pacaran setelah lulus SMA katamu?- Bodoh kamu."

Ratri Tunggadewi -Sweetpurple-. Jogja.

Diary Of Golden Writer'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang