9. Pertemuan di kafetaria.

1.3K 240 7
                                    

Selama ini, Prilly benar-benar belum merasakan jatuh cinta, belum pernah pacaran dan nyaman kepada seseorang. Tapi, sekalinya ia jatuh cinta, ia dibuat seperti jatuh ke dalam jurang curam. Prilly bingung, ia berusaha melakukan apa yang orang-orang sarankan untuk melepaskannya, tapi terkadang lisan tak berbanding lurus dengan hati. Sulit.

Akhir-akhir ini, Prilly menurun drastis. Di kelas ia jadi lebih banyak diam, di ajak bicara pun tidak mood. Prilly bukannya patah semangat karena patah hati, namun ia sedang merenungkan diri. Kenapa ia bisa menaruh hati pada pria yang salah? Pada seseorang yang sudah dimiliki orang lain. Ia merasa tak berhak mengatakan kalau Alio adalah laki-laki brengsek, justru ia terus membrengsekan hatinya karna jatuh pada tempat yang salah.

Tempat yang seringkali di kunjungi oleh perempuan selain pemiliknya. Mungkin Kak Fanny tidak tahu bagaimana Alio di belakangnya, tapi Prilly berharap hal itu tidak akan pernah terjadi. Pasti kalau Kak Fanny tahu, hatinya akan hancur.

Biar. Biar hati Prilly saja yang hancur berkeping hingga tak terbentuk lagi, biarkan ia belajar dari masa lalu sehingga suatu waktu ia susun hatinya lagi, terbentuk seperti semula dan bisa ia berikan pada yang pantas. 

Fia yang melihat ada perubahan besar pada Prilly jadi merasa iba. Fia tahu seberapa sabar Prilly dalam menunggunya bertahun-tahun, Fia tahu betapa Prilly selalu menjaga perasaan orang lain meskipun miliknya sendiri hancur, Fia tahu sebesar apa cinta sahabatnya itu hingga tak sanggup untuk melepaskan padahal ia selalu menerima penolakan.

Gadis itu menghampiri Prilly, memegang bahu kanannya lalu duduk di lahan kosong sebelah sahabatnya itu.

"Mau sampe kapan? Lo tuh banyak berubah cuma karna orang yang sama sekali nggak bakal nengok ke lo. Gue tau, mau sebanyak apapun gue nyuruh lo lepasin dia, itu nggak gampang, seenggaknya lo mau berusaha. Jangan terus-terusan nyiksa diri lo, bener kata Romeo. Mungkin dengan gue ngomong kayak gini, gue nggak tahu seberapa sulit untuk jalaninnya, tapi coba. Ikhlasin, setelah ikhlas lo pasti bisa ngelepas." ucap Fia.

Prilly tersenyum, ia berpura-pura lagi.

"Dulu gue emang dukung lo buat sama Ali, tapi sekarang enggak. Kenapa? Karena gue liat justru lo sakit karena cinta lo sendiri. Jadi banyak berubah. Coba deh lo lihat diri lo yang sekarang, dikit lagi mana mau ujian nasional, nilai lo malah anjlok nggak karuan. Yang gue kenal itu Prilly selalu peringkat satu di kelas, sekarang mana coba? Nilai simulasi lo aja jelek setengah mampus. Jangan bucin dong Pril, ayo bangkit, gue bakal bantu lo." kelopak mata Fia memanas.

"Lo bisa bantu apa, Fi? Gue pun nggak bisa bantu diri gue sendiri!" kata Prilly, matanya berkaca.

"Lo tahan kalau gitu. Dikit lagi kan lulus, lo nggak bakal ketemu dia lagi, jadi lo gampang buat lupain karena tiap hari nggak bakal ketemu. Untuk sekarang, lo fokus dulu buat persiapin ujian." jelas Fia.

"Gue bakal nungguin banget masa itu, Fi."

"Sekarang lo harus belajar yang bener, jangan nyiksa diri lo sendiri, ya?"

Prilly mengangguk paham.

***

Prilly merenung di kamarnya. Malam ini malam minggu, sejak dulu memang tidak ada yang spesial, tapi setidaknya Alio selalu menemaninya mengobrol di WhatsApp. Kak Fany sibuk, itulah alasan mengapa Alio juga tak pergi ke manapun.

Dulu biasanya yang suka membuat mood Prilly buruk di malam minggu adalah saat Alio jalan dengan Kak Fany, bukannya apa, Prilly merasa seperti perempuan simpanan yang dihubungi saat kekasihnya sedang sibuk.

Ting.

Ponselnya berdering karena mendapat notifikasi pesan WhatsApp dari seseorang.

SAUDADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang