BAGIAN SATU

461 82 66
                                        

***

Seorang laki-laki duduk dengan perasaan jengkel di sana. Jika bukan untuk sahabatnya ia malas menunggu selama ini. Sudah tiga jam lamanya dia menunggu, tapi yang ditunggu belum juga tiba.

Gak akan pernah seorang Euforia Senjakala bisa tepat waktu saat ada janji dengan sahabatnya. Tidak, bukan hanya sahabatnya, justru setiap orang akan di buat naik darah atas kelakuan dia.

Pandu sudah mulai geram. Dia berdiri dari duduknya. Satu langkah dia akan pergi, Pandu melihat Ria yang lari terbirit-birit dari arah pintu masuk cafe dengan rambut yang acak-acakan. Tas yang di pegang di tangan kiri dan buku-buku yang di pegang erat di sebelah kanan.

Dia berjalan menghampiri Pandu dengan santai, seakan tak punya dosa, padahal neraka sudah menunggunya.

"Sorry, gue telat lagi Ndu, hehe." Ria duduk lalu menyeruput kopi yang terletak di meja.

"Emang ya ngeselin banget tuh orang, masa yah Ndu gue dikira ibu-ibu yang mau ngelenong?" datang lalu duduk, terus mengumpat sudah menjadi kebiasaan mendarah daging pada diri Ria.

"Alasan apa lagi sekarang bisa telat?" tanya Pandu dingin.

"Itu tadi tukang ojeg ngeselin banget. Udah tau gue buru-buru, eh ban nya pecah. Ya, gue kesel dong. Terus ya gue bawel tuh ke si bapak ojeg 'pak cepetan dong, abis bapak tambal ban harus ngebut ya pak, temen saya nungguin dari tadi' gue kan bilang gitu kan Ndu. Si bapak nya ngeselin kebangetan. Dia ngebut dong, ngebut banget, nih liat rambut gue udah kaya sapu injuk tahu gak." jelas Ria sambil menunjukan rambutnya.

Entahlah, kadang Pandu berpikir apa sahabatnya ini tidak pernah kering tenggorokan? Mendengar nya saja Pandu sudah bosan.

Dan Pandu? Kalian tahu apa yang dia lakukan? Hanya geleng-geleng kepala dan takjub dengan tingkah konyol sahabatnya itu.

"Terus?" Pandu kembali bertanya sambil duduk di kursi depan Ria.

"Terus nih ya, gue nunjukin jalan ke cafe ini, eh dia malah jalan ke pasar. Gue udah kesel setengah mati, mau cari ojeg lain kasian dong dompet gue. Yaudah gue suruh puter balik aja si bapaknya. Dia nurut-nurut aja sih. Terus tadi dia bilang gini 'penumpang adalah raja' gue kesel dong. Orang gue cewe dibilang raja. Yaudah, disitu gue gak ngomong-ngomong tuh sama si bapak, sampe akhirnya nyampe sini. Gue pusing pengen muntah." jelasnya sangat terperinci.

Jujur. Ini yang selalu membuat Pandu kagum pada Ria. Ya, Euforia Senjakala. Sahabat kecilnya. Sahabat yang selalu ada untuknya.

Walaupun dia wanita terngaret di dunia. Pandu selalu menanamkan kata its's okay didalam hatinya.

Tapi itu tak mengurungkan niat Pandu untuk bertemu Ria di cafe hari ini. Pandu orang yang suka menepati janjinya. Entah itu baik atau buruk. Yang jelas janji adalah obat menunggu.

Sejauh apapun, selama apapun kamu menunggu, jika janji dan bukti bisa di gapai. Maka diam dan tunggulah. Semua akan tiba jika kamu sabar.

"Terus? Sekarang mau tetep ngoceh gitu aja, atau mau bahas rencana kita?"

"Oke... Jadi, gimana?" tanya Ria sambil menyimpan tangannya di dagu dan mulai memperhatikan raut wajah Pandu.

Ria tidak bisa berbohong atas kegantengan sahabatnya ini. Bahkan bisa di bilang di atas rata-rata.

Mereka membahas apa yang perlu mereka bahas. Waktu sudah mulai petang. Pandu sudah jalan sekitar lima belas menit yang lalu untuk bergegas pulang.

Euforia (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang