***
Ria dan Pandu sedang bakar-bakar ikan di halaman rumah Abi. Bi Narsih, pembantu rumah Abi membantu Ria untuk membuat sambal dan nasinya.
Abi yang tengah santai menonton tv tak berniat untuk membantu, padahal makannya paling banyak.
"Abi bantuin coba! Molor mulu di situ, heran gue." teriak Ria kesal.
"Den Abi gak berubah ya Non?" tanya Bi Narsih pada Ria.
"Asal bibi tau, gilanya jadi makin melebar Bik, otaknya juga udah di pantat sekarang mah, bukan di dengkul lagi." Kekeh Ria pada Bi Narsih.
"Biarin aja Ri, kalo dia makan ini ikan, kita ceburin ke got depan rumahnya." Kesal Pandu yang tengah duduk santai sambil memperhatikan ikan yang dia panggang.
Ria menoleh ke arah Pandu. "Astaga Ndu, lo mau ngikutan gila kaya Abi hah?!" Jelas saja Ria marah. Coba kalian pikirkan. Panggang ikan tapi di kipasin sama kipas angin? What the?
"Lo mau gue bunuh, mumpung gue lagi pegang piso Sini lo." marah Ria sambil mengangkat tinggi-tinggi pisau yang dipenggang nya.
"Ampun Ri, iya-iya, ini gue kipas-kipas pake hihid."
"Heh lo macan tutul, sini lo. Lo mau liat gue jadi psikopat setelah kejadian ini?"
"Ria astagfirullah, jangan gitu Umi, nanti Umi masuk neraka terus Abi jadi di salah-salahin sama tuhan." jelas Abi sambil berlari ke arah tempat pemanggangan.
"Bodo amat. Lo ini yang di salahin." lalu Ria melempar tatapan tajam pada mereka berdua.
Masakan sudah matang, mereka bertiga mulai makan dengan ikan mas panggang ala-ala Abi, Pandu dan Ria. Tentunya Bu Narsih.
"Euuu..."
"Abi tolol! Jorok anjir! Belajar dari mana lo hah?!" teriak Ria karena mendengar Abi yang bersendawa kencang. Pandu hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Jujur saat ini Pandu sedang menahan mulut agar tak bersendawa di depan Ria. Dia tak mau kena omel mamak lampir cantik.
Abi hanya nyengir sambil mengusap-usap dadanya.
"Yaudahlah Ri. pulang aja yuk, jijik liat si Anoa itu." ajak Pandu sambil menarik tangan Ria pergi dari pekarangan rumah Abi.
"Heh! Katanya mau pada nginep? Gimana sih, awas aja kalo kalian datang kesini lagi. Gue lempar pake panci Bi Narsih." teriak Abi kesal.
Sejak kejadian semalam memang sudah di rencanakan Pandu dan Ria sebelumnya. Waktu di cafe saat Ria ngaret 3 jam, kalian ingat?
Permainan di mulai.
Saat yang tiba untuk Pandu menjalankan aksinya. Aksinya yang menurutnya gila apalagi menurut Ria. Bayangkan saja, seorang Pandu lelaki dingin bahkan dinginnya ngalahin gurun pasir eh? Gurun sahara? Wait, wait, apa padang rumput? Apasi!? Ulang. Yang dinginnya ngalahin kutub utara, dimana panda-panda lucu tidak hidup disana.
Beruang putih yang tampak indah namun bringas, air laut yang asin tampak kedinginan. Dan batu es yang tampak lelah membeku.
Apasih? Gila!
Hujan rintik-rintik, dahan kayu basah. Hari ini langit tengah menangis, awan begitu hitam, tetes air menerpa genting dengan suara ting-ting-ting. Genangan yang menyimpan banyak kenangan, hujan bersama Abi dan tangis bersama Pandu. Bahagia bersama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euforia (HIATUS)
Ficção AdolescenteKehidupan seorang Ria yang harus menerima kenyataan ditinggal oleh kedua orangtuanya jauh dari dunia. Dua sosok sahabat yang selalu ada disetiap detik waktunya, memberikan sebuah kebahagiaan yang tiada tara, kebahagiaan yang tak bisa dinilai oleh ha...