Stambul 1

350 39 5
                                    


Suar meledak di angkasa, membuat pekat malam seterang siang. Tidak masalah walaupun hanya dalam hitungan detik, Dasman bisa mengunakannya untuk menghitung arah. Ia menebar pandang seluas-luasnya. Didapati sebuah jalan setapak di antara hamparan sawah, sebuah batu besar memotong pematang. Setelah dua petak, jalan setapak berakhir di rerimbunan pohon andong--pembatas kuburan Cina. Ke sanalah ia harus berlari!

Dasman mengendap setengah berlari meniti jalan setapak yang licin. Suar kembali meledak. Kali ini ia melihat mayat terserak di hamparan padi yang baru ditanam, mayat orang-orang Dukuh Sidokepung yang tidak beruntung, diberondong senapan pesawat terbang Nippon. Lelaki itu terus berlari. Dalam dekapan, seorang bocah perempuan memeluk lehernya erat dengan mata dipaksa memejam. Sementara istrinya menggendong bayi selapan yang terus-terusan menangis. Tidak ada waktu di otaknya untuk merasa ngeri melihat tubuh-tubuh yang koyak, ia terus melaju seperti kereta uap. Mulutnya komat-kamit meminta maaf dan permisi tatkala kakinya tak sengaja menginjak tubuh-tubuh tak bernyawa itu. Sementara di belakang mereka, jilatan-jilatan si jago merah menari lincah dalam tabuhan granat dan peluru yang memburu. Separuh kampung sudah lenyap, yang tersisa hanya udara berasap dan debu gempuran pesawat. Ia terus bergerak, tak menghiraukan kaki yang terantuk batu dan napas istri yang tinggal satu-satu. Tujuannya cuma satu; keluar dari kampung dengan nyawa masih utuh.

Dukuh Sidokepung memang menjadi incaran tentara Nippon. Selama masa pendudukan Belanda, kampung itu dikenal sebagai antek Belanda. Sawahnya subur, penduduknya makmur karena lurahnya setia memberi hasil kebun. Tak hanya itu, warga yang kedapatan tidak setia kepada pemerintah Belanda pun dikirim sebagai persembahan. Saat kampung-kampung lain mengakui Nippon sebagai saudara tua dan menganggap sebagai penyelamat, desa mereka menolak.

Dasman beruntung karena berdiam di pinggir kampung. Malam itu, tanpa aba-aba pesawat Nippon menghunjam pusat kampung, memberondong balai desa, sebelum menewaskan pemimpinnya. Ledakan dan teriakan yang terdengar adalah penanda agar ia membawa keluarganya keluar kampung.

Burung-burung malam beterbangan ke sana-kemari, bingung karena terang suar dan dentum granat bertubi-tubi. Ular sawah yang biasanya mengejar tikus dan katak, kini bergerak beriringan mencari selamat.

Lari! Gasak duri putri malu dan taji semak! Perihnya tidak seberapa dibanding runcing bayonet yang mengiris punggung, mengeluarkan tulang. Pekikan itu menggema di kepala. Namun, rasa-rasanya semakin cepat ia berlari, semakin dekat serdadu Nippon yang mengejar. Si bayi terus saja menangis, sementara si bocah dalam gendongan mulai lelah dan mengendorkan pegangan di lehernya.

"Kang Dasman!" seru istrinya dengan napas hampir putus.

"KIta harus tetap bergerak, Bune! Ayo sebentar lagi kita sampai di sungai." Ia melongok ke belakang, gelap dan suram, tetapi telinganya mendengar derap serdadu yang kian dekat. "Dengar itu! Kita harus sampai di sungai sebelum serdadu-serdadu berhasil menyusul kita."

Istrinya tidak membantah, telinganya juga mendengar kengerian langkah-langkah laskar Nippon. Bayang-bayang mereka kian dekat, nyawa mereka menjadi taruhan jika mereka berhenti sebentar saja. Suara aliran sungai samar terdengar, tetapi cukup untuk menyiram semangat mereka memacu langkah. Ia tahu, di pekuburan Cina salah satu makam baru saja dibongkar oleh penjarah kuburan. Ada ceruk di sana yang bisa dipakai bersembunyi sebelum mencapai sungai. Ia merangsek masuk, menangkap istri dan bayinya lalu diam laksana nisan.

"Susui anakmu. Jangan sampai dia menangis dan mengundang tentara-tentara itu ke mari," bisiknya sambil menenangkan anak sulungnya.

Detik melambat, samar terdengar desingan peluru di kejauhan. Ia menahan napas, lalu membekap mulut anak perempuannya ketika melihat bayangan tentara Nippon menyisir pekuburan. Tentara-tentara itu berbicara dalam bahasa yang tidak mereka mengerti, mendekat, bergerak seperti laba-laba. Tiba-tiba sebuah granat meledak tepat di atas mereka, mengirim hujan tanah dan api. Tanah pekuburan bergerak, membuat cungkup di atasnya terbelah lalu jatuh menimbun mereka. Ledakannya memekakkan telinga, menyisakan denging yang mengaung tak berkesudahan. Ia melihat mulut istrinya bergerak-gerak menyebut namanya dengan darah yang mengalir dari hidung, kedua anaknya sudah tak bergerak lagi. Ia mengaduh, lalu semuanya menjadi gelap.

Stambul Kembang CiliwungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang