Stambul 6

109 19 4
                                    


Pada suatu sore yang pucat, Karno Teges dan anaknya bersiap mengemasi warung. Lelaki itu menumpuk piring kotor yang tidak sempat dicuci dan mencopot keber merah di depan warung, keber usang yang tidak pernah diganti semenjak berjualan soto. Sesekali ia menggumamkan lagu yang dulu sering dinyanyikan bersama Asih, istrinya. Kotak uang yang terakhir disentuh, ia menghitung hasil penjualan hari itu. Sama seperti kemarin, keuntungan hari ini hanya cukup untuk berbelanja bahan-bahan dagangan esok hari. Ia menepuk-nepuk tambalan kain merah penutup warung, seolah menguatkan serat-seratnya agar tidak ada angin yang mampu merobek saat pergantian musim nanti. Tidak mungkin ia membeli kain baru, itu bisa menunggu. "Sabar, ya kain. Kuatkan seratmu sampai aku cukup uang untuk membeli yang baru," katanya. Tidak ada keluh dari bibirnya. Bukankah ini ikhtiarnya? Asal ia dan anaknya bisa hidup aman, menjalani hidup pas-pasan sudah harus disyukuri.

Biasanya ia pulang begitu selesai berkemas. Namun, sore itu ia malas beranjak. Pantatnya mendarat pada tikar yang digelar sembarangan. Ia mengeluarkan bungkusan kain di pinggang, berisi tembakau dan bubuk cengkih. Ditaburkannya daun tembakau kering itu pada kertas rokok, kemudian sejumput cengkih yang digilas kasar di atasnya. Ia melinting dengan khidmat, lalu menjilat ujung kertas rokok dan merekatkannya. Letupan-letupan kecil dari bubuk cengkih terdengar, aromanya bersenyawa dengan asap tembakau begitu kretek dinyalakan. Tidak enak! Lidah Karno Teges hapal rasa tembakau yang enak, tembakau Subang ini tidak segurih tembakau Temanggung yang biasa diisapnya dahulu. Mertuanya yang berasal dari lereng gunung Sumbing selalu mengiriminya tembakau srinthil, rajanya tembakau yang tumbuh dari tanah lincat. Konon, tembakau kiriman mertuanya itu ditanam sendiri. Karno Teges pernah melihatnya. Bentuk daunnya melengkung hampir keriting dan susah dirajang. Agak lembab, tetapi tidak basah. Wanginya seperti salak, meskipun warnanya tidak menarik. Sejak ia pindah ke Jakarta, hanya tembakau murahan yang mampu ia beli. Mertuanya sudah tidak lagi menyuplai tembakau nomor wahid itu. Tidak mengapa, asal mulut asamnya bisa terobati, rokok dari rajangan tembakau kualitas bawah pun jadi.

Angin masih enggan bergerak, jalanan masih bertabur debu. Pohon asam yang ada di pinggir jalan masih juga menggugurkan daun tuanya. Daun-daun kuning itu jatuh di atas jalan, lalu terserak oleh kaki-kaki yang berlalu lalang. Karno Teges mendongak ke atas, ke arah uap air di udara yang mengumpul di angkasa. Mula-mula berupa garis tipis, semakin lama semakin banyak dan membentuk kumpulan bulu domba. Kata orang pesisir, awan seperti itu pertanda ikan di laut sedang beranak pinak, kerang dan udang sedang memijah, kepiting-kepiting yang hidup di hutan bakau sedang menempatkan telur-telurnya di antara akar napas. Sebentar lagi nelayan akan mendapat tangkapan besar.

"Kamu masih ingat, Mi? Kakungmu pernah menangkap ikan sebesar ini," kata Karno Teges memegang pahanya. "Banyak! Hampir separuh perahu penuh. Waktu itu sore hari, sedang cerah-cerahnya. Ya, seperti sekarang, persis saat awan-awan kecil bergerombol membentuk sisik ikan."

"Dan kita memakannya seekor. Ya, seekor! Ikan itu tidak habis di makan sampai satu minggu. Aku ingat, semalaman Yang Ti mengasapi ikan yang ditangkap Yang Kung di belakang rumah. Beliau menyuruhku mengumpulkan sabut kelapa yang jatuh di kebun, kemudian menyusunnya di bawah cungkup. Yang Ti mengikat ekor ikan-ikan itu dan menggantungnya, lalu membakar sabut kelapa."

"Iya, benar. Ikan asap buatan Yang Timu banyak dicari. Selain rasanya lebih gurih dan manis, ikan asap dari cungkupnya lebih tahan lama. Kamu tahu kenapa?"

Ratmi menggeleng. Ia kemudian megikuti bapaknya duduk di atas tikar. Cerita tentang nenek dan kakeknya ini selalu menarik baginya.

"Yang Timu selalu melempar beberapa siung bawang putih, butiran ketumbar, dan beberapa ruas kunyit ke dalam bara. Itu yang membuat ikan asap Yang Ti awet," lanjut Karno Teges. "Entah dari mana ilmunya, tetapi jika dipikir-pikir, bawang putih dan kunyit terbukti mematikan penyakit. Dahulu, saat anak-anak tetangga diserang koreng, hanya aku yang luput dari penyakit menjengkelkan itu. Yang Ti selalu memamah kunyit dan bawang putih, lalu melumurkan ke badan anak-anaknya. Mungkin, asap bawang dan kunyit Itu mematikan cacing-cacing dalam ikan asapan Yang Ti, membuatnya bebas dari telur belatung."

Stambul Kembang CiliwungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang