Puluhan lukisan membentang, dijajar memenuhi halaman kantor Sendenbu. Lampu-lampu petromaks ditata rendah sebagai penerang sekaligus memunculkan pesona kanvas bersolek tersebut. Lukisan Gunung Tangkuban Perahu, dilukis dengan cat minyak dominan biru ada di ujung tenda, menyapa tamu yang baru datang. Di sebelahnya, gambar perempuan bertelanjang dada dilukis dengan arang. Ukuran payudara yang sebesar kepala mengundang pengunjung lelaki berhenti sejenak dan berpikir. Sebaliknya, pengunjung perempuan terkikik malu dan segera berlalu. Di atas pintu gerbang kantor Sendenbu terpasang spanduk dengan tulisan kanji, rakutenci, yang berarti pasar malam, tampak rapi dan megah mengimbangi kumuhnya penjual makanan yang datang tanpa undangan. Penjual kue pancong, rangik, bubur, dan kerak telor berjajar tak beraturan, mencari tempat yang paling banyak dilewati orang. Di dalam gedung, terdengar biola digesek mengiringi biduan wanita yang menyanyikan lagu Indonesia Raya. Melodinya megah dan menyamankan hati, semegah dan sesejuk naungan pohon beringin di tengah halaman kantor propaganda Nippon itu.
"Akhirnya kita melihat sandiwara, Mi. Sandiwara betulan! Aku tak perlu lagi melihatmu jingkrak-jingkrak di atas meja. Tidak perlu lagi menipu mata, membayangkan yang ada di atas meja adalah bintang sandiwara, bukan dirimu!"
"Kamu pasti ingin melihat aksiku lagi kan? Bagaimana jika di sini? Di atas trem yang sedang kita tumpangi ini?"
"Dengan puluhan pasang mata melihatmu?" Endang Sarti terkekeh, melongok ke kanan dan kiri, melihat kepala-kepala penumpang yang terombang-ambing guncangan trem. "Kamu gila!"
"Tidak, aku tidak gila. Nanti jika aku sudah benar-benar menjadi bintang panggung, tidak hanya puluhan pasang mata yang melihat. Bisa ribuan! Jangankan bermain di atas trem, di istana raja pun aku akan tampil. Kamu tahu, Ti? Aku akan bernyanyi seindah Zes Soed, dan bersandiwara sepiawai Miss Riboet Orion," kata Ratmi sambil menggerak-gerakkan tangan, seperti pemain tonil yang pernah dilihatnya.
Percakapan mereka dihentikan oleh klakson trem yang menyalak tiba-tiba. Ratmi berlari ke pintu, melihat apa yang terjadi. Ada delman yang tidak mau menyingkir dari lintasan trem. Kusir tua terlihat sedang menarik-narik kekang, menyuruh kuda yang mogok agar mau berjalan lagi. Pemandangan itu membawanya ke masa kecil, saat bapaknya mencoba menjadi kusir delman sepulang dari menonton stambul di Semarang. Kuda yang mereka mogok, satu jam lamanya mereka mengistirahatkan kuda. Seharusnya, Ratmi merengek karena panas dan debu. Namun, ia malah memainkan sendiri satu babak tonil dalam hatinya. Mulutnya menggumam, jari-jarinya samar menari, pundaknya lemah terayun ke kanan dan kiri. Ia terpesona dengan tokoh Galuh Candrakirana yang ada di panggung. Betapa cantik dan molek! Dengan suara indah, sang pelakon bertutur seperti layaknya seorang ratu. Ratmi kecil ingat betul jalan ceritanya, bagaimana para pemain membawakan tonil melayu itu dengan baik. Ratmi berpentas dalam kepalanya, membuka panggung dan menjadi Miss Riboet Orion yang baru saja ditontonnya.
Sebenarnya, Ratmi sudah mengubur dalam-dalam mimpi menjadi bintang panggung. Ia sadar, pemain sandiwara seharusnya berparas ayu, berkulit sepucat langsat. Endang Sarti pernah mendengar kesahnya, tentang paras ayu dan kulit langsat yang tak dipunyainya itu. Namun, selamanya Endang Sarti tidak pernah setuju Ratmi berhenti bermimpi. Ia selalu berupaya mendekatkan mimpi Ratmi dengan kenyataan, termasuk dengan undangan ilegal untuk menonton sandiwara di Sendenbu sebentar lagi. Saat ia di Rembang, matahari tidak mengizinkan ia bersembunyi dari terkaman sinar yang merampas kecemerlangan kulit gadis pesisir. Ratmi kecil sering ke pelabuhan, menunggu para nelayan yang pulang melaut. Tanpa penutup kepala, ia dan teman-temannya memungut ikan-ikan yang tercecer dari perahu yang baru mendarat. Angin pantai membuai, mengelabui gadis-gadis laut agar tidak merasa panas. Tahu-tahu, kulit mereka legam abadi. Bagi gadis sekecil itu, kulit gosong bukan masalah besar. Namun, saat alam memberinya tambahan gundukan daging di dadanya, Ratmi sadar bahwa kulit kuning, hidung mancung, dan badan semampai adalah paket ideal bersama dua buah gunung ranum yang bercokol di dadanya. Sayangnya, hidungnya tak pernah bertambah tinggi, kulitnya tak pernah bertambah kuning.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stambul Kembang Ciliwung
RomantikCerita ini memenangi lomba menulis Bulan Nulis Novel Storial yang diadakan pada November 2018, sebagai cerita pilihan pembaca, silver winner, dan sampul paling menarik. "Pertama kali saya membaca judulnya, pikiran saya mengajak saya berkelana pada a...