Stambul 4

137 16 8
                                    


Sungai Ciliwung sedang menanggung puncak kemarau. Lempung di bibir sungai mengering pecah, seperti milik gadis yang kurang minum. Kecipak ikan berod meriak di sana-sini, muncul ke permukaan, mengambil udara, lalu menyelam lagi. Mereka bersembunyi di antara ganggang hijau yang tumbuh di pinggir sungai, bersama kodok dan cebong yang masih belum putus ekor. Moncong tawes dan soro yang megap-megap, menggoda Mang Ujang untuk mengulurkan pancing. Penarik perahu penyeberangan itu mengikat perahunya di pohon randu, sebelum menggali tanah untuk mencari cacing. Setelah dirasa cukup, ia pun memasangnya umpan. Dua mata pancing diikat berurutan, tenggelam bersama pemberat dari timah. Mang Ujang tahu sedalam apa Sungai Ciliwung saat musim kemarau, ia tidak kesulitan mengukur jarak antara timah pemberat dengan gabus pengapung. Setelah melempar kail, ia bersandar di tiang perahu, menghadap ke hilir. Dari balik caping lebar yang menyembunyikan kepala, ia mengawasi gerakan pancing. Setengah jam berlalu, tetapi tidak satu ikan pun menggondol umpan. Ia merogoh lipatan celana dan mengambil tembakau, melintingnya dengan kertas lalu disulut dengan khidmat. Memancing butuh kesabaran, seperti kesabaran menunggu gadis yang mau diperistri bujang lapuk macam dirinya. Ia kemudian menyanyi lagu cinta dalam bahasa Sunda, sesekali mengumpat ketika matanya menumbuk bayangan Jembatan Manggarai. Ah, seandainya jembatan kereta api itu tidak ada, pastilah orang-orang berebut minta diseberangkan. Ia akan banyak uang, dengan begitu, ia bisa kawin dengan siapa pun yang dia mau. Semilir meniup pucuk-pucuk bambu. Lembut dan teratur menggoyang batang-batangnya, memperdengarkan orkes nina bobok. Gabus pelampung naik turun, pertanda ada ikan menyambar umpan. Pancing bergerak sebentar lalu diam. Ikan itu lolos mencuri umpan karena Mang Ujang terlelap, bermimpi tentang bidadari yang kelak menjadi istrinya.

Ratmi pergi ke sungai untuk mencuci. Sebenarnya, kemarin ia sudah mencuci. Namun, ada pembeli yang menumpahkan kuah soto di taplak, noda kuning harus segera dicuci agar tidak membekas. D pinggir sungai, para perempuan sudah berjajar memilih tempat masing-masing. Ada yang masih bercakap-cakap dan bergurau, ada juga yang sudah membanting-banting baju di atas papan cuci. Di sisi yang agak landai, para kusir sedang memandikan kuda. Kuda-kuda cebol penarik kereta yang jika berlari akan menaikkkan ekor tinggi-tinggi, memamerkan pantat mereka. Di seberang sungai, kuli-kuli menghitung rendaman bambu yang semalam dihanyutkan dari. Mereka mengikatnya per sepuluh lonjor. Bambu-bambu itu akan dikirim ke tempat yang lebih jauh dengan pedati.

"Kudengar, daerah Besuki sekarang sudah bisa ditanami kapas."

"Ya, aku juga mendengar. Padahal dahulu, Jawa tidak pernah bisa ditanami kapas."

"Memang hebat Nippon, insinyurnya pandai-pandai. Sebentar lagi pasti berdiri pabrik-pabrik tekstil. Mereka pasti butuh pekerja."

"Ya. Aku pasti akan bekerja di pabrik. Aku ingin bekerja bersama mesin-mesin super dari Nippon."

Ratmi menyingkir, mencari tempat yang lebih lengang. Ia gerah mendengar ocehan mabuk pemuja Nippon. Masih saja ada yang melihat Nippon sebagai dewa, tidak sadar mereka ditipu. Apakah orang-orang polos ini tidak pernah keluar dari Batavia? Apa mereka tidak tahu sanak mereka yang diangkut ke Andalas tidak pernah berkabar? Sakit, atau mati? Orang-orang ini juga tidak pernah tahu getirnya kehilangn ibu atau saudara perempuan yang dijadikan jugun ianfu. Ah, tentu saja tidak, mereka tidak mungkin punya saudara perempuan, bahkan ibu. Pemuja-pemuja Nippon ini mungkin saja lahir dari tahi kuda.

. Dari seberang sungai, ia melihat seserang melambaikan tangan. Endang Sarti, sahabatnya itu juga sedang ke sungai mencuci baju. Mang Ujang yang sedang mencumbu mimpi gelagapan ketika bahunya diguncang. Ia kebingungan karena bidadari dalam mimpi tadi berdiri di hadapannya.

"Antar aku ke seberang, Mang! Nanti kuberi nasi. Pasti enak dimakan dengan ikan hasil pancinganmu."

"Euleh, euleh... Mamang baru saja bermimpi ketemu bidadari, dia meminta Mamang mengantar ke seberang pakai perahu ini. Mamang masih tidur atau sudah bangun ya?"

Stambul Kembang CiliwungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang