"Kamu pikir bapakmu ini bodoh?" Karno Teges menyandarkan punggung pada pohon asam, jari tangannya menggamit kretek yang baru saja menyala. "Kamu pikir aku percaya dengan ceritamu? Tentu saja aku ke sungai setelah kamu pergi. Tidak! Tidak banyak orang yang menyeberang sungai seperti katamu. Mang Ujang tidak sesibuk yang kaubilang, malah ia lebih sering sedat-sedut mengisap rokok di atas perahu daripada menarik tampar."
"Tapi, Pak."
"Tapi apa? Mau ngarang alasan lagi? Perahu penyeberangan rusak? Sungai Ciliwung banjir di musim kemarau? Ada buaya muara tersesat lalu mengigit kakimu?"
Ratmi tak berkutik. Sekali lagi ia disidang dengan perkara yang sama; ketahuan menghabiskan waktu di rumah Endang Sarti. Karno Teges mengisap kembali rokoknya, memikirkan cara agar Ratmi tidak lagi bergaul dengan Endang Sarti. Nyeri di kepalanya makin bertambah. Ratmi, anak gadisnya kini sudah beranjak dewasa, tidak bisa lagi disekap di rumah atau ditakut-takuti dengan cerita momok penculik anak nakal seperti dahulu. Memang pada awalnya Karno Teges suka Ratmi berteman dengan Endang Sarti, lebih-lebih saat awal pindah ke Jakarta. Endang Sartilah orang pertama yang menyambut Ratmi, mengajaknya berkawan. Bagi pendatang macam mereka, hidup di Jakarta tidak mudah. Pendatang dari kampung tidak disukai. Katanya, orang kampung makannya banyak, lebih banyak dari kawanan kambing yang suka memagut tanaman kebun atau merumput di sawah. Bagi yang sudah lebih dahulu tinggal di Jakarta, perut-perut pendatang ini akan jadi saingan mencari beras yang makin susah didapat. Ketidaksukaannya pada Endang Sarti dimulai ketika suatu sore Ratmi dengan berapi-api menceritakan apa yang terjadi di Tasikmalaya, tentang perlawanan sekelompok santri kepada Nippon.
"Rasanya, bagus juga ada yang berani menentang Nippon. Santri-santri itu punya nyali yang besar." kata Ratmi sambil merajang bawang. "Sudah beberapa kali terjadi baku hantam. Dan santri-santri itu berhasil memecundangi tentara Nippon. Kata Endang Sarti, di sebuah hutan, para santri itu berhasil menyergap pasukan Nippon yang sedang patroli, membuat mereka tumpas."
Mulanya, Karno teges berpikir cerita itu hanya kabar burung karangan Endang Sarti, obrolan omong kosong antara dua gadis di sela-sela perdebatan menentukan pemuda paling tampan di Kampung Melayu. Namun, lama-lama ia khawatir karena cerita Ratmi makin bermacam-macam. Di lain hari, Ratmi tiba-tiba menyebut nama-nama yang baru didengar oleh Karno Teges, kelompok cendekiawan dan cara mereka melawan pemerintahan Nippon.
"Kalau mereka berjuang melalui jalan diplomasi, lambat, tetapi tidak terlalu banyak memakan korban. Aku lebih suka cara para santri itu, lebih cepat tercapai. Lagi pula, semangat perlawanan mereka cepat ditularkan ke daerah lain."
Sejak itu, Karno Teges berupaya untuk menghalangi pertemuan Ratmi dengan Endang Sarti. Lebih-lebih saat ia menemukan selebaran berisi propaganda untuk memberontak yang didapat dari Endang Sarti. Bagi Karno Teges, Nippon adalah momok yang harus dijauhi. Tidak ada gunanya berurusan dengan Nippon, atau ikut-ikutan melawan mereka. Jauh dengan Nippon berarti ia bisa hidup damai, bisa berjualan soto tanpa harus mengkhawatirkan keselamatan mereka.
...
Suatu pagi, setelah semuanya menghadap timur dan menghormat kepada matahari, dua truk berisi pasukan Nippon melaju dengan sirene panjang. Bukan tanda bahaya karena ada musuh, hanya isyarat agar semua orang minggir jika tidak ingin dilanggar. Minggu lalu, seorang pedagang gerabah mati terlindas. Orang-orang sudah menyuruhnya lari menepi, tetapi ia lebih memilih memungut sekeping uang yang tercecer, entah milik siapa. Tidak bisa disalahkan, baginya satu sen sama nilainya dengan beberapa periuk yang dijualnya, bisa dipakai membeli beras untuk makan barang sehari-dua hari. Namun sayangnya, itu malah membuatnya kehilangan nyawa.
Orang-orang kembali ke jalan, menoleh ke kanan dan kiri memeriksa kalau-kalau ada yang menjadi korban truk sialan itu. Begitu pula Karno Teges. Sejenak ia meninggalkan warung dan ikut-ikutan memeriksa jalan. Hanya Dasman yang bergeming, diam dan mengeraskan rahang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stambul Kembang Ciliwung
Roman d'amourCerita ini memenangi lomba menulis Bulan Nulis Novel Storial yang diadakan pada November 2018, sebagai cerita pilihan pembaca, silver winner, dan sampul paling menarik. "Pertama kali saya membaca judulnya, pikiran saya mengajak saya berkelana pada a...