Stambul 2

189 23 8
                                    



"Mi, selepas asar kamu ke rumah Mang Karta. Katanya, pesananku sudah ada. Bilang, uangnya nanti malam setelah tutup warung. Langsung pulang begitu kamu dapat daging, tidak usah mampir ke mana-mana," ujar Karno Teges tegas dengan malas. Lelaki itu sebenarnya enggan menyuruh Ratmi ke pasar. Pasalnya, anak satu-satunya itu mbeling. Wajarnya, hanya butuh waktu sebentar untuk membeli daging di pasar, tinggal menyeberang sungai dengan perahu dan berjalan tak lebih dari seratus meter, orang akan sampai di pasar. Namun, tidak bagi Ratmi. Ia setidaknya butuh waktu tiga jam.

Ratmi bergegas menyambar kerudung kuningnya. Setengah berlari, kakinya menyusup pada bakiak yang terserak di depan rumah, kanan dan kiri. Kesempatan emas, pikir Ratmi. Sudah dua minggu ia tidak berjumpa dengan Endang Sarti, sahabatnya itu. Pasar yang ramainya terdengar hingga pinggiran sungai seperti tempat yang jauh dari jangkauan Ratmi. Ia sengaja membuat jalannya melingkar-lingkar. Ia menghindari perahu Mang Ujang yang bisa langsung membawanya ke seberang, gadis itu lebih suka lewat jembatan kereta Manggarai yang letaknya agak jauh karena rumah Endang Sarti persis berada di turunan jembatan. Di rumah itulah waktu dihabiskan. Urusan daging Mang Karta bisa nanti, toh hari masih pagi. Mang Karta pasti menyimpan pesanan bapaknya, begitu pikir Ratmi.

Ratmi suka mendengar cerita dari Endang Sarti tentang kegiatan politik yang dilakukan Lukas Kastaryo, kekasih sahabatnya itu. Lukas Kastaryo adalah seorang yang gemar politik. Perawakannya ceking, tetapi gesitnya seperti belut. Kabarnya, ia sering ikut-ikutan gerakan pemuda dan bisa dibilang akrab dengan cendekiawan-cendekiawan macam Sukarno dan Hatta. Dari dialah Ratmi tahu apa yang dilakukan orang-orang pintar seperti mereka untuk melawan Nippon.

Rumah Endang Sarti sudah terlihat gentengnya. Dari atas jembatan, rumah itu terlihat seperti klenteng, berwarna merah dan berornamen Cina. Hanya saja, tidak tercium harum dupa di sana. Rumah yang ditempati Endang Sarti sekarang adalah rumah bekas orang Tiong Hoa. Pemiliknya pergi setelah Nippon mendarat. Mungkin mereka kembali ke Tiongkok, ikut panggilan jiwa melawan Nippon, atau, bisa juga mengungsi ke tempat lain karena ketakutan. Benar-benar, tak hanya pribumi saja yang susah karena Nippon, orang Tiong Hoa pun juga carut marut.

"Ti!" seru Ratmi dari atas jembatan. Ia melihat sahabatnya itu sedang mengelap sepeda.

"Mi! Kebetulan! Cepat ke sini. Aku punya sesuatu untukmu."

Endang Sarti mengulurkan gombal kumuh kepada Ratmi begitu mereka berjarak sepelukan, perintah tak langsung agar Ratmi meneruskan pekerjaannya.

"Orang gila! Temannya datang malah disuruh ngelap sepeda."

"Sudah sini, tinggal setang sama ban depan," kata Endang Sarti klecam-klecem.

Ratmi pun menurut. Biasanya, jika Endang Sarti mendadak berkelakuan seperti majikan, pasti ada sesuatu yang besar, sesuatu yang menyenangkan akan diberikan untuknya. Dua minggu yang lalu, Endang Sarti sedang menyapu halaman saat ia berkunjung. Tiba-tiiba saja Endang Sarti menyerahkan sapu yang dipegangnya kepada Ratmi, meminta untuk meneruskan membersihkan halaman. Ia tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah lalu keluar lagi dengan selembar kertas lecek berisi salinan berita dari luar negeri, tulisan tangan Lukas Kastaryo yang dibuat secara rahasia.

"Kita bakar setelah kamu selesai membaca. Kamu tidak tahu betapa was-was aku menyimpannya sampai kamu datang. Kempetai sialan itu bisa meringkusku jika ketahuan. Bisa-bisa aku dikuliti hidup-hidup dan dibuang ke Andalas," katanya waktu itu.

Dari Endang Sarti, Ratmi tahu perkembangan zaman. Sumbernya tentu saja Lukas Kastaryo. Darinya, kedua gadis itu tahu pasukan Inggris sudah mendarat di beberapa pantai Andalas—kabar yang disembunyikan rapat-rapat oleh Nippon—atau sekadar judul film terbaru buatan Amerika. Selesai membaca, tentu saja secara sembunyi-sembunyi, Ratmi membakar kertas pemberian Endang Sarti bersama daun kering yang disapunya. Kobarnya merah, gemeretak nyaring dan meletup-letup seperti nyali sahabatnya itu.

Stambul Kembang CiliwungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang