Stambul 7

140 16 4
                                    


Seorang remaja mendapati gulungan terpal yang menyelimuti tubuhnya sudah lenyap. Dingin malam yang memeluknya berganti menjadi panas yang mencubit-cubit. Matahari masih di timur dan belum setinggi galah, tetapi sengatnya sudah menusuk kulit. Ia mengerjap, mencoba menghilangkan pening di kepala. Namun, suara bising yang di telinganya membuat kepala makin berdenyut. Mulut-mulut riuh tawar-menawar, kuli angkut membanting beban, ringkik kuda dan derap delman. Ia mencoba bangkit, tetapi badannya terasa remuk redam. Rasanya, ia masih dalam rendaman samudra. Guncangan kapal yang membawanya dan angin malam yang tak berhenti menimpa masih menyisakan nyeri. Ia tidak tahu di mana ia berada. Tempat ini bukan desanya. Desanya tidak seramai ini, bahkan pasarnya sekalipun. Di sini, tidak ada pohon kelapa yang menjulang, tidak ada sawah-sawah dengan irigasi yang bening. Langit yang dilihatnya pun tak sama, lebih keruh. Gunung yang melatari langit tempatnya tinggal tidak tampak lagi, berganti punggung-punggung bangunan dengan ujung menyentuh awan. Kicau burung masih terdengar, tetapi tidak semarak. Justru lebih mirip jeritan miris dari paruh-paruh yang minta dilepas dari sangkar. Hanya satu yang mirip dengan desa yang ditinggalkan, aroma kopi.

"Minumlah dahulu, kopi ini akan membuat badanmu segar sekaligus menghilangkan puyeng kepalamu."

Karno Teges mendekati si bocah sambil sambil membawa gelas belimbing berisi kopi panas. Pagi tadi, ia menemukannya tidur di warungnya. Lelaki itu tak sampai hati mengusir, maka dibiarkan ia tidur hingga panas matahari membangunkannya. Karno Teges tahu, bocah kampung itu baru tiba di Jakarta. Wajah lugu itu terlihat kebingungan, persis seperti burung perkutut ternakan yang lepas dari penangkaran. Tiba-tiba terdengar perutnya berbunyi, cacing penunggu usus bereaksi mencium semerbak kopi. Si bocah menggeser duduknya karena malu.

"Siapa namamu?" tanya Karno teges kemudian.

Belum sempat ia menjawab, tiba-tiba seekor kucing melompat ke arahnya.

"Kuciang!"

Karno Teges tertawa mendengar logat si bocah. Jelas ia bukan berasal dari Jawa. Ia tidak pernah mendengar orang Jawa menyebut kuciang untuk julukan hewan penggondol ikan di dapur itu.

"Maaf, Pak. Nama saya Cindur."

Kekeh Karno semakin menjadi karena nama yang disebut terdengar lucu. Beberapa kali ia mencoba melafalkan, tetapi nama itu membuat lidahnya terkilir dan lubang telinganya tersentuh bulu ayam.

"Kamu pasti bukan orang Jawa."

Cindur menggeleng.

"Saya dari Taluak Bayua," jelasnya.

"Taluak Bayua? Teluk Bayur maksudmu? Namamu itu terlalu sulit diucapkan oleh lidah jawa. Ya sudah, kupanggil kamu dengan nama Sukur. Mirip dengan namamu, bukan?"

Humor dadakan tadi buyar saat seorang lelaki berseragam tentara mengetuk meja warung. Ratmi yang sedari tadi merajang bawang tidak menghiraukan, dipikirnya yang datang hanya pelanggan biasa dan bapaknya bisa melayani. Namun, ia terhenyak saat mendengar suara pria memanggil namanya di sela ketukan itu.

"Tuan?"

Tangan Ratmi hampir saja teriris saking kagetnya. Shiro Nakata ternyata yang mengetuk meja. Ia melihat lelaki itu membungkukkan badan begitu tatapan mata mereka bertemu.

"Saya datang untuk menepati janji."

Lelaki Nippon itu membuatnya kikuk. Biasanya, sebagai pribumi ia yang membungkuk hormat terlebih dahulu jika berpapasan dengan Nippon. Ia cepat-capat bangkit dan membalas hormat tentara itu.

"Saya tidak menyangka jika Tuan sungguh-sungguh ke mari."

"Aku selalu berusaha menepati janji, Ratmi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stambul Kembang CiliwungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang