Selamat malam minggu❤️
***
"Calista."
Merasa dipanggil, Calista berhenti berjalan dan menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Dan hasilnya berhasil membuat paginya sedikit muram.
Merry tersenyum lebar namun terasa menakutkan bagi Calista. Setidaknya saat ini Merry hanya sendirian tanpa dayang-dayangnya.
Mantan teman sebangkunya itu mendekat. Langkah kakinya bagai alunan lagu kematian bagi Calista.
"Kemarin jam pulang sekolah, lo langsung pulang?" tanya Merry tiba-tiba masih dengan wajah penuh senyuman.
Calista menyernyit bingung. "Iya..." jawabnya ragu. Tentu saja ia tidak bisa dengan jujur mengatakan yang sebenarnya.
'Kemarin aku dan Victor menghancurkan kaca spionmu dengan senang hati.' Jika ia berani berkata begitu, bisa-bisa ia tidak akan melihat hari esok.
"Oh ya?" Merry tersenyum meremehkan. Seperti bisa membaca isi kepala Calista tanpa perlu gadis itu beritahukan. "Bagus deh. Seenggaknya lo gak usah ikut Victor ke kantor kepala sekolah."
Mata Calista memandang Merry dengan terkejut. "Apa?"
"Victor ketahuan ngerusak mobil gue lewat CCTV sekolah. Sebenarnya ada satu lagi pelakunya tapi mukanya enggak kelihatan."
Merry mendekatkan wajahnya pada wajah Calista, lalu berhenti tepat di sebelah telinga gadis itu. "Andai pelakunya nyerahin diri, pasti hukuman Victor enggak terlalu berat."
Kemudian Merry pergi begitu saja disertai kekehan kecil. Meninggalkan Calista dengan wajah pucat dan badan lemas.
***
Sudah tiga puluh menit Calista berjalan mondar-mandir di depan kantor kepala sekolah.
Tangannya gatal untuk mengetuk pintu kayu yang berdiri dengan kokoh namun sayangnya keberaniannya hanya sebesar biji bunga matahari.
Gadis itu menggigit bibirnya, cemas dengan keadaan Victor di dalam yang tidak kunjung keluar. Hatinya terus melantunkan doa agar pria itu selamat dari amukan kepala sekolah mereka dan segera keluar dari ruangan itu.
Beruntungnya, harapan Calista terkabul. Pintu ruang kepala sekolah terbuka lebar dan menampilkan pria yang sudah ia tunggu-tunggu.
"Calista? Lo ngapain di sini?" tanya Victor bingung. Wajah pria itu tidak terlihat sedih sama sekali padahal sudah pasti pria itu mendapat hukuman.
Calista menunduk takut. Merasa seperti pengecut karena tidak berani mengakui perbuatannya di dalam sana. "Kamu ... enggak apa-apa?"
Tanpa Calista duga, Victor malah terkekeh. Pria itu mendekat dan ikut menundukan wajahnya untuk mencari wajah teman sebangkunya. "Memangnya aku kenapa, hm?"
Akhirnya dengan terpaksa, Calista sedikit mengangkat kepalanya. Melirik wajah Victor yang ternyata berada sangat dekat dengan wajahnya hingga membuat ia harus kembali menunduk.
"Ka-kamu ketahuan, kan? Biar aku jelasin ke kepala sekolah kalau kamu hanya membantu aku. Maaf ya. Kamu jadi dihukum karenaku..."
Hening.
Calista tidak menerima jawaban apa pun dari Victor. Ketika gadis itu ingin kembali melirik, dagunya sudah lebih dulu di dorong ke atas oleh jari panjang milik Victor.
"Kalo lo jelasin ke kepala sekolah, buat apa gue nutupin muka lo pake jaket, Calista?" tanya Victor dengan gemas pada gadis polos di hadapannya itu. "Gue udah biasa keluar masuk ruang kepala sekolah. Tapi kali ini beda. Gue mau masuk lagi ke dalem kalo harus liat lo khawatir dan gemesin kayak gini."
Jelas kalimat itu sangat tidak diduga oleh Calista. Pipi gadis itu memerah atau mungkin juga berwarna biru, kuning, bahkan hijau?
Ia tidak tau karena tentu saja Calista tidak ahli dalam urusan ini. Bisa dilihat dari badannya yang berubah kaku bahkan hampir luruh.
"Stop making that face, Calista. You make me want to kiss you so bad."
Dan setelahnya Calista bahkan lupa untuk bernapas.
***
Ada yang aneh dari Calista. Akhir-akhir ini ia merasa ling-lung.
Senyuman di wajahnya bisa terbit tanpa sebab. Pipinya terus memanas bahkan hanya karena Victor memanggil namanya. Perutnya seperti digelitik dengan yang menyenangkan ketika mendengar pria itu tertawa.
Aneh bukan?
Sepertinya Calista sakit. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Victor bahkan ketika pria itu tidak berada di sekitarnya.
"Ta."
"Calista."
"Calista!"
Calista tersentak dari lamunannya lalu memekik ketika menyadari wajah Victor hanya berada dalam radius sepuluh sentimeter dari wajahnya. Terlalu bahaya.
"A-Ada apasih manggil-manggil?" tanya Calista dengan nada ketus namun terlihat lebih seperti sedang salah tingkah.
"Kelasnya udah bubar. Lo mau nginep atau pulang? Kalo mau nginep, gue enggak keberatan buat nemenin," ujar Victor sambil mengerling.
Astaga, pria itu sepertinya berniat membuat Calista terkena serangan jantung. Terbukti sekarang jantungnya berdebar dengan sangat cepat dan ia kesulitan bernapas.
"Mau pulanglah. Ngapain aku nginep di sini?" tanya Calista dengan gugup. Gadis itu buru-buru merapikan bukunya yang berada di atas meja, memasukannya ke dalam tas.
"Siapa tau lo enggak mau pisah sama gue. Nanti di rumah kalo kangen kan gawat." Victor terbahak saat wajah Calista yang tadinya sudah merona berubah menjadi merah padam sampai leher dan telinganya.
"Gimana kalo ikut gue ke suatu tempat dulu sebelom pulang?" usul Victor tiba-tiba hingga membuat Calista mengernyit bingung.
"Ke mana? Bukan ke tempat aneh-aneh kan?"
"Aman." Victor tersenyum sambil meraih sebelah tangan gadis di hadapannya. "Gue cuma mau ngehabisin waktu lebih lama sama lo."
Dan di sinilah mereka. Di sebuah taman pinggir kota yang keadaannya sangat sepi. Walau begitu, taman tersebut sangat terawat dan indah.
Mereka berdua duduk bersisihan di sebuang bangku panjang yang terletak di bawah pohon.
"Jadi ... kita mau ngapain di sini?" tanya Calista pada akhirnya setelah mereka hanya berdiam diri selama kurang lebih lima belas menit.
Victor memandangi Calista lamat-lamat. Lalu menjulurkan tangannya dan mengusap pipi merona gadis di hadapannya kemudian sebuah senyuman terbit di wajahnya.
Tubuh Calista kembali berubah menjadi kaku. Ia menggigit bibirnya karena kembali merasakan perasaan asing yang membuat dadanya sesak. Gadis itu bisa mendengar suara jantungnya sendiri yang berdetak terlalu cepat.
"Beberapa minggu belakangan ini gue merasa sangat bahagia, Calista," ujar Victor tanpa menghentikan usapan tangannya atau memutus pandangan matanya pada Calista.
Entah keberanian darimana, Calista mengangguk setuju. "Aku juga... Aku merasa terlalu senang sampai rasanya aku takut," timpal gadis itu dengan sebuah senyuman manis.
"Jangan takut. Karena gue akan selalu ngelindungin lo, Calista."
--TBC--
10 Agustus 2019