Menurut kamus, euforia adalah perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan.
Walau semua yang berlebihan itu berarti tidak baik, tapi Calista tidak keberatan jika terus merasakan euforia hingga menjadi gila. Perasaan itu merupakan perasaan paling indah yang pernah ia rasakan.
Sayangnya, perasaan itu tidak bisa berlangsung lama ia rasakan. Lebih tepatnya, tidak ada yang bisa memberikan perasaan itu lagi padanya.
Calista merapatkan jaket biru tua di tubuhnya sambil berjalan keluar dari bangunan berlantai empat puluh yang menjadi tempatnya bekerja.
Ia menghentikan taksi yang lewat lalu menyebutkan tempat tujuannya. Setelah itu, Calista menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah.
Matanya memandang keluar jendela, memperhatikan apapun yang ia lewati. Menatap hampa kumpulan orang dengan berbagai ekspresi.
Saat merasa sebuah kenangan mulai menguar dari tumpukan memori yang tidak ingin ia ingat, gadis itu memejamkan mata. Berusaha fokus untuk mengosongkan seluruh pikirannya.
Dalam hati berdoa agar taksi yang ia tumpangi cepat sampai ke tempat tujuan. Tempat yang selalu ia datangi setiap pulang dari bekerja. Tempat yang tidak akan pernah ia lupakan.
"Sudah sampai, non."
Calista membuka matanya. Meraih dompet yang ada di dalam tas kemudian membayar sebelum keluar dari taksi tersebut.
Gadis itu tersenyum ketika melihat taman yang sangat ia rindukan berada di hadapannya. Sangat aneh karena ia tetap merindukan taman itu walau setiap hari selalu berkunjung.
Karena mungkin yang ia rindukan bukanlah taman itu tapi seseorang yang pernah membawanya ke taman tersebut.
Satu-satunya orang yang bisa membuat Calista merasakan euforia saat jatuh cinta. Satu-satunya orang yang selalu Calista rindukan, dan akan selalu seperti itu.
***
Empat tahun yang lalu...
Calista pulang dengan perasaan yang luar biasa bahagia. Baru pertama kali ia merasakan hidupnya berwarna dengan indah.
"Darimana, Calista?" Suara wanita yang telah membesarkannya terdengar tegas memenuhi ruangan.
Gadis itu meringis ketika menyadari Papa dan Mamanya sedang menatapnya dengan tajam. Ia menggigit bibirnya dan mulai mengatakan kalimat yang pertama kali muncul di otaknya. "Habis kerja kelompok, Ma."
"Sampai semalam ini?" tanya Papanya dengan penuh selidik.
Calista mengangguk, meneruskan aksi berbohongnya. Anehnya, ia tidak takut. Jika dulu ia akan berkeringat dingin bahkan bisa sampai pingsan karena merasa terlalu tegang dan takut saat berada dalam posisi seperti ini, sekarang semua terasa berbeda.
Mungkin karena sebuah mantera yang diucapkan Victor tadi padanya. Selain itu, ia juga tidak merasa melakukan sesuatu yang salah. Ia hanya menikmati waktu pulangnya bersama teman sekelasnya di sebuah taman.
"Akhir-akhir ini kamu jadi aneh, Calista," keluh Mamanya.
Papa mengusap pundak Mama dengan perlahan, seakan ingin menenangkan wanita itu.
"Beberapa kali kamu pulang terlambat. Kamu sering melamun dan kemarin, Mama mendapat telepon dari sekolah yang menanyakan keberadaan kamu."
Calista mengerjapkan matanya. Tidak tau harus memberikan alasan apa sehingga ia hanya berdiam diri.
"Tadi Papa dan Mama datang ke sekolah. Awalnya hanya berniat mencari kamu tapi karena tidak berhasil, kami ke kantor kepala sekolah."
Baiklah, perasaan takut yang tadi tidak ia rasakan perlahan mulai muncul. Ini kali pertama ia berbuat 'nakal' dan ia tidak memiliki pengalaman satu pun untuk tau akibat dari kenakalannya.
"Dari situ Mama tau kalau kamu dekat dengan seorang pria bernama Victor, anak bermasalah."
Calista menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin melibatkan Victor dalam permasalahan ini.
"Ma, aku ngelakuin itu atas kemauanku sendiri. Dengan atau tanpa Victor, cepat atau lambat pasti akan terjadi. Apa salahnya membolos sekali dua kali atau pulang sedikit telat agar setidaknya aku bisa merasakan perasaan lain selain bosan?"
Mama terdiam sejenak. Entah pertanda baik atau buruk. Yang pasti Calista merasa sangat takut. Bukan takut karena akan terus dimarahi atau apa, ia takut akan kehilangan perasaan senang yang baru-baru ini ia rasakan.
"Walau dia anak kepala sekolah tapi anak itu tetap membawa pengaruh buruk, Calista."
Tunggu, apa yang baru saja Mamanya katakan? Anak kepala sekolah? Apa itu sebabnya Victor tidak pernah benar-benar mendapat masalah walau ia sering mencari masalah?
"Mama bilang begitu karena sebelumnya kamu anak yang penurut, Calista. Dan kamu berubah. Mama tidak mau dia terus memengaruhi kamu," ujar wanita itu sambil berdiri dan mendekati anak satu-satunya.
"Maka dari itu, Papa dan Mama memutuskan untuk pindah rumah. Kamu juga akan pindah sekolah, Mama sudah bicara dengan kepala sekolah kamu."
Mama mengusap rambutnya dengan lembut. "Ini demi masa depan kamu, Calista. Oh iya, mulai sekarang juga Mama akan menyita, mengganti dan mengawasi nomor ponsel kamu agar anak itu tidak bisa menghubungi kamu lagi."
Fakta pertama, tidak ada manusia yang bisa berubah secepat itu. Ia bukan berubah tapi hanya menyadari jika menjadi penurut bukan benar-benar dirinya. Ia bosan menjadi seorang anak penurut bukan karena ingin melainkan terpaksa.
Tentu ia menyayangi kedua orang tuanya tapi bukan berarti ia benar-benar harus menuruti keinginan mereka tanpa memikirkan keinginannya sendiri sama sekali. Seluruh hidupnya selalu di atur dan ia sudah lelah.
Fakta kedua, bolos sekolah sekali atau dua kali tidak akan merubah masa depannya. Tapi kepindahan inilah yang akan merubah masa depannya. Ia tidak akan lagi bisa bertemu dengan orang yang sudah memberitahunya tentang perasaan ini.
Jatuh cinta beserta euforianya.
Teori dari kedua orang tuanya tidak selalu benar. Walau begitu ia hanya bisa diam dan menurut, lagi.
Setelah ini harapannya hanya satu, bisa bertemu dengan seseorang yang akan membuatnya merasakan perasaan yang sama lagi.
Sebuah euforia.
***
Calista menghela napas panjang. Setelah empat tahun berlalu, ternyata perasaan yang sudah tumbuh tidak mudah untuk dibunuh.
Bahkan memorinya tidak memudar sama sekali. Tetap sama sejak dulu hingga sekarang untuk seseorang yang ia tidak tau keberadaan dan kabarnya.
Setiap mengunjungi taman ini, Calista berharap akan menemukan sosok Victor. Tersenyum padanya dengan hangat lalu jika boleh, ia berharap mendapat pelukan erat yang menyiratkan rasa rindu.
Nyatanya hanya ia yang merasakan kerinduan itu. Bernostalgia kemudian pulang dan kembali pada kehidupan hitam putihnya.
Calista tersenyum pahit lalu bangkit berdiri dari duduknya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar sekali lagi. Memastikan orang yang ia nantikan benar-benar tidak ada hingga akhirnya ia pun berjalan meninggalkan taman penuh kenangan tersebut.
Mungkin ia harus mencoba untuk berhenti datang ke taman ini jika hanya membuat hatinya kembali terluka.
Oh bukan. Hatinya selalu terluka, hanya saja semakin lama luka itu semakin besar hingga hampir tidak ada yang tersisa untuk siapa pun.
--TBC--
24 Agustus 2019