4. -Perfect Journey-

720 107 16
                                    

Pukul 02:35 pagi mata Friska tiba-tiba mengerjap. Entah apa yang membuatnya terbangun sepagi ini. Ia mendengar jendela luar terdengar sangat jelas terkena percikan air hujan yang lumayan deras.

Rasanya sepagi ini Friska ingin sekali turun dan mengambil beberapa makanan ringan didapur.

Friska menengok pada sisi kirinya lalu tersenyum manis, ia melihat Randi yang sudah tertidur sangat pulas dan memeluk guling erat. Rasanya tak tega ia membangunkan Randi hanya untuk menemaninya ngemil sepagi ini.

Friska mengangkat tubuhnya untuk bangun dan turun dari ranjang. Ia meringis ketika menginjak ubin yang terasa sangat dingin.

Setelah berada diruang tengah, Friska malah lupa tujuan awalnya untuk turun. Akhirnya Friska memilih untuk duduk disofa dan menyalakan tv.

Belum sempat kakinya dinaikan keatas sofa dan melipatnya, tiba-tiba sebuah tangan besar melingkar erat dipinggangnya. Friska merasakan itu langsung mengalihkan pandangannya pada sipemilik tangan.

Randi

Itu tangan Randi, kepalanya ia sandarkan dibahu Friska dengan wajah yang menyelusup kecuruk leher Friska.

"Kamu ngapain disini, hm?" suara Randi terdengar serak khas bangun tidur dengan mata yang masih terpejam.

"Gak bisa tidur. Kamu sendiri ngapain kesini?" Friska kembali melempar pertanyaan pada Randi

"Gak bisa tidur juga" Friska bergidik geli ketika mendengar suara parau Randi tepat didekat telinganya juga napas Randi yang menderu di leher membuat bulu roma berdiri.

Friska menengadahkan pandangannya pada Randi lalu terkekeh "Gak bisa tidur kok mejem"

Friska merasakan perutnya kini malah berbunyi pertanda lapar "Astaga" ia baru ingat, tujuannya untuk turun adalah mengambil makanan dilemari penyimpanan bukan untuk menonton acara membosankan ini.

Friska hendak  berdiri dari duduknya namun terasa berat ditubuhnya, karena Randi yang asyik gelendotan pada Friska.

"Randi.. Lepas dulu!" Friska mengusap pelan wajah Randi agar siempunya terbangun, namun hanya dijawab dengan deheman.

Friska berdecak. Dengan terpaksa ia harus berjalan menuju dapur dengan posisi Randi yang masih memeluknya.

Setelah mengambil beberapa makanan dilemari, Friska kembali duduk disofa dengan pencahayaan yang sangat minim, dari lampu jalan hingga hanya cahaya televisi menyala yang meneranginya.

Lama-lama Friska merasa risih karena tubuh Randi yang tak ingin jauh darinya.

Friska menggerak-gerakan bahu agar Randi terbangun dan menjauhkan wajahnya dari leher Friska

"Ran, tidur dikamar sana" panggil Friska

"Aku gak bisa tidur sayang.." Randi dengan mata yang masih terpejam malah semakin menghembuskan napas dileher Friska.

"Gak bisa tidur tapi ngorok,"

Randi terkekeh mendengarnya "Sayang.. Kamu pake narkoba?"

Plak!

Tangan Friska malah cepat melesat pada pipi Randi, namun tak terlalu kuat.

"Sshh, aww.. Sakit" ringis Randi mengerjapkan matanya langsung terbangun seraya mengusap pipinya akibat pukulan Friska.

"Sembarangan kalo ngomong!" omel Friska tak terima.

"Kalo ngomong tu yang bener dikit!" lanjutnya

"Kamu sih, bikin aku ketagihan. Ya, aku jadi ngiranya kamu pasti pake narkoba. Bikin aku nagih" ujar Randi manis membuat wajah Friska ingin meledak rasanya karena  menahan senyum yang hendak mengembang.

"Dasar, sigembel lagi gombal!"

▪▪▪


Siang ini Friska sendiri dirumah. Lagi nonton tv sambil tiduran disofa alias tv yang nonton dia. Sedangkan Randi, pastinya sudah dikantor.

Ting tong
Ting tong

Baru saja Friska mencapai alam mimpi keduanya, bel apartemen bunyi berkali-kali sampai membuat Friska terbangun. Ia segara beranjak hendak membuka pintu dengan mata yang masih mengantuk.

Ceklek..

"Siapa?" ujar Friska ketika membuka pintu namun tidak ada orang disana.

Friska mengernyitkan dahi bingung. Ia mengeluarkan sedikit kepalanya keluar pintu untuk melihat orang mana yang iseng menekan bel. Namun nihil. Masih tak ada orang disana.

Friska membuang nafas kasar "Dikerjain orang lewat paling" kemudian ia meraih knop pintu hendak ditutup namun matanya mengarah kebawah. Ternyata ada orang yang sengaja menaruh se-bucket bunga berukuran sedang dilantai.

Friska membungkukkan tubuhnya dan mengambil bucket bunga itu lalu menciumnya "Dari siapa ya?" Gumamnya

Friska masuk dan menutup pintu dengan kaki seraya terus menatap bucket bunga digendongannya.

Namun ketika pintu hampir tertutup, seperti ada yang menahan dibaliknya.

Friska mencoba mendorong pintu itu namun hasilnya sama, masih tidak bisa tertutup. Lalu Friska membuka pintu lagi untuk mengecek apa yang membuat pintu itu tertahan.

Tiba-tiba seorang lelaki berkemeja hitam langsung menyelusup masuk kedalam hingga membuat tubuh Friska terbentur kedinding.

"Hanbin!" Pekik Friska kaget. Dengan cepat Hanbin menyumpal mulut Friska menggunakan tangannya agar Friska tak mengeluarkan suara lebih keras, lalu mengunci pintu agar tak seorang pun bisa masuk.

"Ssstt!" Desis Hanbin "Jangan teriak-teriak" Bisiknya.

Friska mengangguk mengiyakan. Cari aman. Lebih baik ia diam dari pada Hanbin bertindak lebih jauh. Pikirnya.

Kemudian Hanbin menjauhkan tangannya dari mulut Friska.

"Lo tau dari mana tempat ini?" tanya Friska setelah perasaan kembali normal. Agaknya Friska tak pernah memberi tahu siapapun tempat tinggalnya sekarang. Paling hanya orang-orang terdekat yang tahu.

"Apapun akan saya cari tahu kalau itu berhubungan dengan kamu" kedua tangan Hanbin malah menempel erat kedinding dengan tubuh Friska ditengahnya.

Jantung Friska mulai berdetak tak karuan.  Menurutnya, wajah Hanbin sedekat ini malah semakin menakutkan, seperti devil.

Sejak kapan dia panggil 'saya-kamu'?

"Saya tau kamu sudah menikah, saya tau kamu sedang mengandung, saya tau salah saya banyak, saya tau meminta maaf sudah sangat terlambat, tapi apa kamu tau? Saya menyesal karena saya pernah ninggalin kamu" hanbin mengunci tubuh Friska cukup lama membuat Friska sesak dibuatnya.

Oh, astaga. Sejak kapan juga bahasanya lebih baku?

Untuk berfikir jernih pun rasanya ia tak bisa apalagi harus melepaskan dirinya dari Hanbin.

"Saya bersumpah. Dengan cara apapun, saya bisa buat kamu kembali lagi dan hidup bahagia sama saya" kata Hanbin lantang tambah membuat jantung Friska berdebar ketakutan.

Hanbin  malah semakin mendekat dan merapatkan tubuh Friska padanya dengan kasar hingga menekan perut Friska.

Friska menggeleng takut "Gak Hanbin, jangan!" Friska ingat waktu itu Hanbin belum sempat menyelesaikan aksi gilanya. Mungkin sekarang Hanbin akan melakukannya.

Hanbin terus menatap Friska dengan senyum anehnya.

Hanbin melihat kebawah dimana bucket bunga kirimannya diterima dengan baik oleh Friska "Hm.. Bagus bukan? Saya tau kamu pasti senang dikirim bunga" Friska makin ketakutan, badannya menggigil

"Buktinya bunga itu kamu terima kan?" Ucap Hanbin tepat ditelinga Friska yang membuatnya bergidik.

Hanbin terkekeh "Kenapa?-- Suami kamu gak pernah ngasih bunga? Gak romantis? Sudahlah dia itu cowok kaku! Gak akan bisa bahagiain kamu"

-

▪▪▪


To be continue

Perfect JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang