lιмα

117 66 47
                                    

1st POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1st POV

Pagi-pagi gini, mood gue udah jelek banget. Mau mewek tapi jaim, males ketahuan ama temen-temen gue yang hobinya ngehujat. Semaleman kemarin gue juga nggak bisa tidur, hasilnya gue jadi mata panda dan gue di-bully abis-abisan ama Arzel.

"Nih."

Gue ga jadi jalan ke kelas dan noleh ke arah Arzel. Dia nyodorin sebotol minuman yang gue nggak tahu apa itu. Karena gue nggak ngerespon, dia malah nyentil jidat gue.

'Udah lemes, malah digangguin ama tuyul kanada. Sabar, Ra. Sabar.'

"Lo pasti badmood-kan? Gue bawain jus."

Gue ngelirik bentar ke arah dia sebelum gue ambil itu botol dan ngucapin makasih. Dia berusaha nahan ngakak sambil ngelus pucuk kepala gue. Njir, ada yang nggak beres nih.

Setelah dia pergi, gue amatin itu label-nya. Abis baca, gue hanya bisa ngedumel dan ber-istighfar dalam hati. Nggak akan mungkin manusia tak bertulang macam Arzel peduli sama orang lain.

Jujur, pengen gue buang itu jus prenagen ke tempat sampah, tapi mubadzir ih dan kebetulan gue juga lagi haus. Yaudah lah bodoamat, gue minum aja.

Setelah beberapa tegukan, gue lap sudut bibir gue dan bergumam.

"Enak."

time skip >>

Malemnya di apartemen, ringtone Mau Kawin by Ivan Gunawan berkumandang di seluruh penjuru ruang tamu. Arzel yang lagi asik main pabji langsung misuh-misuh karena keganggu sama suara bising hape gue.

"Berisik, nyet. Matiin woi!"

Gue langsung angkat telepon yang entah dari siapa dan ngacir ke balkon. Dan suara yang muncul dari sana bikin jantung gue ke rasa berhenti berdetak. 20 panggilan tak terjawab dari ayah.

"Anak sialan, dimana kamu, hah?"

"Hei, jawab saya!"

"Saya tidak membesarkan kamu untuk mencoba kabur dari rumah!"

"Jawab saya, dasar anak kepa--"

Tut tut tut

Sebelum denger lebih jauh, gue langsung matiin telponnya dan gue pasang ke mode silent. Di balkon, gue auto nangis sesenggukan.

Gue udah nggak tahan sama sikap ayah. Gue pindah ke apartemen ini karena pengen jauh dari dia. Tapi bayang-bayang dia selalu menghantui gue dan semakin hari bikin gue nggak nyaman.

Kemarin malem dia juga nelepon, dan menyampaikan sesuatu yang nggak lebih dari ungkapan benci dia ke gua. Gue takut dia bakal nemuin gue dan nyeret gue balik ke rumah.


Tiba-tiba, ada yang nyentuh pundak gue pelan. Gue berbalik dan mendapati Arzel yang masih mengenakan headset kucingnya, sedang natap gue dengan pandangan yang nggak bisa gue jelasin.

"Lo, nangis, Ra?"

'Ya menurut ngana? Minta disleding nih ceritanya?'

Gue auto ngelap air mata gue dan berbalik memunggungi Arzel. "Nggak."

Gue berakhir dengan memandang kosong ke arah pemandangan kota, masih memikirkan tentang ayah. Dan tanpa sadar, air mata keluar lagi dari ujung mata gue. Njrit, mewek mulu gua, ah.

Gue melotot pas Arzel nyambar kedua pundak gue dan balikin badan gue sehingga berhadapan sama dia. Mata dia memandang lurus ke arah gue yang masih sesenggukan. Dia senyum miring, sedangkan ibu jarinya bergerak ngilangin air mata yang netes ke pipi gue. Belum sempet gue baper, dia ngomong.

"Jangan nangis, lah, Ra. Muka lo udah kayak bunglon ngelahirin tau nggak."

Gue auto cemberut sambil nginjek kaki dia keras-keras biar gepeng sekalian.

"Stop, stop! Lu mau jus prenagen nggak?" tanya dia sambil nyodorin botol ke gue. Gue auto nyambar itu minuman dan langsung gue minum ampe tandas.

"Nih, daripada lo ngegalau nggak jelas. Mending mabar sama gua," dia makein gue headset dia dan nyodorin gue stik PS. "Gue mana bisa, tong," ujar gue.

Dia cuma muter bola matanya, dan ngomong.

"Gue ajarin."

to be continued

roomate gesrek.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang