"Fatih... udah siap belum? Kunci mobil mana? Abi, Ummi... ayo buruan," teriakan gue memenuhi ruangan keluarga.
"Apaan sih bang teriak-teriak?" Tanya Fatimah ke gue.
"Sssttt... anak kecil diem, udah sana, mendingan panggilin Abi sama Ummi, cepetan," jawab gue sembari memutar badan dan ngedorong Fatimah.
*****
"Udah semua?" Tanya gue memecah keheningan di dalam mobil.
"Udah," jawab Abi sama Ummi bersamaan.
"Fatih udah?" Tanya gue lagi untuk memastikan anak itu benar benar siap, bukan hanya untuk keselamatan di perjalanan nanti, tapi juga keselamatannya di rumah Ustadz Hasan.
"Gugup gue Li.." jawab Fatih lirih.
"Udah dek, gak usah terlalu dipikirin gitu, enjoy aja dulu, banyakin sholawat biar hatinya ademan dikit," kali ini jawab Ummi untuk menenangkan dan menghilangkan rasa gugup yang ada pada kembaran gue ini.
"Udah ah, kebanyakan drama, Ali laper, disediain makan kan, Bi di sana?"
"Ada aja kamu ini Li, ayo ah, ntar kelamaan Ustadz Hasan-nya nungguin drama kita," sahut Abi yang selalu gemas dengan tingkah laku gue.Mau marah juga gak bisa, kan gue emang dari lahir udah gini. Jadi Abi selalu ngerti sama tingkah laku gue. Lagiankan gue ini cetakannya Abi, jadi sifat kita pasti sama lah.
****
Lontong sayur kesayangan gue mulai membuat drama kecil lagi di dalam mobil. Dengan sedikit gemas, gue tarik Fatih untuk turun dari mobil.
Bukannya dari kemarin dia ya yang maksa-maksa gue untuk ikut nemenin dia. Lah sekarang kok malah jadi gue yang maksa dia untuk ikut masuk ke dalam rumah Ustadz Hasan.
"Ayo Tih, turun.. ga malu apa lo ditungguin gitu, liat noh, Ustadz Hasan sama istrinya di depan pintu ngeliatin elo" paksa gue sambil menarik-narik tangan si Lontong sayur ini.
"Iyaaaaaaaa" teriak Fatih dari dalam mobil, mengundang perhatian lebih dari ke empat orang yang sedang mengobrol di ruang tamu.
"Astaghfirullah, apaan sih pakai teriak-teriak segala, bikin malu. Bismillah dulu makanya, cepetan" gue lagi nyoba untuk nenangin Fatih.
Dengan pasrah dia turun dari mobil.
"Bismillah" ucap Fatih lirih.
"Assalamu'alaikum Ustadz Hasan, Bunda Salamah.." sapa gue ke Ustadz Hasan dan istrinya, yang diikuti dengan Fatih–sembari mencium tangan kedua orang itu.
"Wa'alaikumsalam Warahamatullahi Wabarakatuh.., waduh ini yang mana Ali yang mana Fatih ini, hehehe" tanya Bunda Salamah yang meringis tampak dari menyipitnya mata wanita paruh baya ini."Ali yang ini bun," ucap Ustadz Hasan dengan tangan menunjuk ke arah Fatih.
"Astaghfirullah, Ustadz.. saya merasa gak dikenalin, padahal tahu yang tiap hari pakai kacamata itu siapa," kata gue sambil mengerucutkan bibir.
"Hahaha iya, ustadz tahu kok, cuman mancing kamu aja. Lucu soalnya kamu kalau lagi ngambek gini, imut-imut gimana gitu" sontak suara tawa memenuhi ruang tamu Ustadz Hasan.
"Bentar, Bunda panggilin dulu ya Isyah-nya," ucapan itu seketika membuat Fatih mencengkram tangan gue kuat.
'Ini anak apaan sih' sahut gue di dalam hati.
Dengan pelan Fatih mendekat ke arah telinga gue "Li.. gue gugup".
"BISMILLAH" hanya jawaban itu yang bisa gue kasih untuk menstabilkan detak jantung anak ini.
****
Tak lama kemudian, wanita berbaju hijau–persis seperti warna baju Fatih–turun dari lantai dua dengan menggenggam erat tangan ibunya. Wanita bercadar itulah Isyah, calon adik ipar gue.
Tak lama kemudian juga, tiba-tiba seperti ada sengatan listrik di dada gue, kepala gue memutar kembali masa-masa gue masih kecil, yang di mana gue lagi main dengan orang yang sedang menggenggam erat tangan gue ini.
Ntahlah, walau bagaimana pun, orang yang berteman sama gue semasa gue masih dekil dan sering ingusan itu ya cuman si Lontong sayur ini.
'Kok gue jadi melankolis gini ya, padahal kan baru Nadzar' pikir gue di tengah tengah pembicaraan ke-enam orang itu.
"Ali.. permisi ya, udah mau dimulai kan" tengah gue di sela-sela perbincangan. Dengan senyuman terpaksa, gue mencoba untuk menghibur diri, ntahlah, perasaan apa ini, gue juga kurang faham dengan perasaan gue sekarang ini.
Mungkin karena gue udah mau ditinggalin sama kembaran gue, atau mungkin juga karena gue ngerasa kalau jodoh gue itu masih berada di sana, di tempat nan jauh, yang ntah gue juga gak tau.
Tiba-tiba aja, waktu gue lagi asik men-scrool beranda instagram gue, ada suara salam dari depan sana.
"Assalamu'alaikum om.." wanita bercadar ini seperti sedang menyunggingkan bibir-tampak dari matanya yang menyipit.
"Wa'alaikumsalam, siapa ya? Mau ada perlu apa?" Tanya gue halus, tapi gue ngerasa, kalau sebelumnya pernah bertemu dengan wanita ini.
"Saya Aisyah, mau ketemu dengan bunda Salamah, bunda Salamah-nya ada? Dan anda ini siapa? Seperti pernah bertemu"
Deg, dia juga ngerasain persis kaya apa yang gue rasain.
"Saya tamu di sini, di dalam adik saya lagi nadzar ke Isyah, oh iya nama saya Muhammad Yusuf Ali Al-Farisi, panggil aja Ali" jawab gue seadanya karena takut menimbulkan fitnah.
Tiba-tiba saja wanita di depan gue ini mundur, entah kenapa dia seperti sedang di sengat lebah.
"Kamu yang nemuin cincin saya ya, wah bisa ya ketemu lagi" katanya yang sembari terkekeh.
'Untuk apa gue beremu dengan wanita ini lagi, bukannya pertemuan yang kemarin itu hanya kebetulan ya, tapi kenapa bisa bertemu lagi seperti ini.
Dan apa ini? Jantung gue serasa mau lompat, dan perut gue kaya ada kupu-kupunya, geli. Pertemuan untuk yang kedua kalinya?' fikir gue.
Tbc.
---------------------
Selamat menunaikan ibadah puasa ya temen-temen 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Ali
RandomCerita ini akan mengisahkan seorang pemuda bernama Muhammad Yusuf Ali Al - Farisi anak dari Fatimah Ruqayyah Al - Jannah dan Muhammad Firdaus Al - Farisi. Pemuda yang satu ini paling tidak bisa berdekatan dengan wanita mana pun, terkecuali Ummi dan...