Luna

98 39 32
                                    

"Silahkan, Mas," ujar seorang pelayan setelah meletakkan Hazelnut Signature Chocolate.

Entah kenapa kali ini aku memilih memesan minuman favoritmu, kombinasi bubuk kokoa dan butter kokoa menciptakan tekstur lembut dan creamy, apalagi dengan penambahan sirup hazelnut yang membuat satu kesatuan rasa menjadi lebih nikmat. Seperti saat aku menikmati satu senyum darimu, yang hangat.

Sesekali aku memandang ke arah jendela. Ya, aku selalu suka saat hujan. Lampu-lampu terbiaskan rintik air surgawi, interaksi antar manusia saat berteduh di pinggiran jalan atau warung kopi, bocah-bocah cilik yang riang gembira bermain hujan, juga sekelebat kisah masa lalu perihal satu kejadian. Ditambah lagu Setia dari Jikustik yang sekarang tengah diputar seolah memaksa semua kenangan yang sudah tersimpan rapi untuk dibongkar.

Yah, hujan dan segala hal tentangnya. Termasuk perihal kenangan pertemuan pertama kita. Aku masih ingat. Saat itu hujan deras dan seorang bocah dengan perban yang masih mengikat di kepalanya memutuskan untuk membanting steer sepedanya ke arah sebuah halaman Koperasi Unit Desa untuk berteduh, untuk akhirnya menemukan hati yang akan ia cintai dengan penuh.

Sayangnya, halaman kecil itu sudah ramai oleh orang-orang dewasa yang juga ingin menyingkir dari derasnya aliran air langit. Membuat si bocah lebih memilih rindangnya pohon beringin sebagai tempat lelahnya menepi. Hingga tanpa sadar, ia seperti jatuh ke dalam mimpi dimana ada seorang peri tengah menari di tengah-tengah hujan yang belum kunjung mau berhenti.

Sadar atau tidak, bocah itu terus memperhatikan peri di depannya. Sambil menggigil, entah benar-benar kedinginan atau sekedar butuh pelukan.

Ritmis yang menggelayuti atmosfer perlahan mereda, laun-laun menyisakan emisi keindahan yang tak perlu lagi dipertanyakan. Iya. Pelangi. Yang terbit di sudut iris matanya yang masih polos dan suci.

Bocah itu masih terduduk diam, memaku gerak di bawah rindangnya pohon yang masih meneteskan apa yang tersisa dari nikmat Tuhan. Tubuhnya mematung, namun hatinya tak henti mengucap beberapa kalimat permohonan. Mengirim pesan demi pesan menuju langit perihal gadis kecil yang baru pertama kali ini ia temui.

Betapa kesan seseorang pada pandangan pertama mampu sebegitunya mempengaruhi perasaan. Ia kasmaran sebelum perkenalan. Ia mendamba bahkan sebelum bisa bertukar nama.

Ia menari indah, diantara tirai hujan dan debar dada ke sekian. Berputar dengan konstan, merotasi harap dengan sebersit senyuman. Ya, ia tersenyum. Dengan lesung manis dan gingsul yang tersembul, sebuah karya Tuhan yang benar-benar sempurna 'tuk buat dia terkagum-kagum.

Gadis kecil yang sedari tadi tak lepas dari bidikan matanya kini berhenti menari. Entah lupa, lelah atau mungkin hanya butuh seseorang untuk menemaninya mengusir sepi bersama hujan yang kini hampir berhenti.

Mata mereka bertatap. Memaksa jantung untuk menderu lebih kencang, bekerja lebih cepat dari yang bisa dilihat. Hanya satu tatap dan itu lebih dari cukup baginya untuk kemudian memohon harap. Sesederhana itu. Seperti gerak tunas di pagi hari kala embun menyapa mengusir sunyi.

Si gadis melangkah ke arahnya, perlahan, lalu duduk tak jauh darinya. Hanya terpisahkan oleh sekat-sekat udara, namun tangannya tak mampu bergerak bahkan untuk sekedar sapa atau bertanya, "Hai, namamu siapa?"

Debar jantung kembali menggema, menabuh genderang riang menuntut agar memulai tanya. Sialnya memulai kata tak semudah merangkai frasa untuk tugas Bahasa Indonesia.

Bocah itu melihat si gadis menggigil, kedinginan. Dengan bibir bergetar dan tangan menyilang menghangatkan dada dari hawa dingin yang menyerang liar. Ia hanya bisa mencuri tatap gadisnya sembunyi-sembunyi, entah malu atau sekedar gengsi untuk memulai percakapan pertama kali.

Lama terdiam, ia akhirnya mengulurkan sepotong jaket yang masih terbungkus rapi di tangannya. Tak tega melihat sesosok peri mungil terus menahan liarnya hawa dingin terlalu lama. Sangat disayangkan jika sosok seindah ini nantinya terkena hipotermia.

"Apa?" tanya sosok mungil itu dengan tatapan bingung.

Ia tak menjawab, hanya kemudian berdiri lalu mengambil tangan si gadis untuk menerima jaket tadi. Entah apa yang dipikirkan gadis kecil itu kemudian, 'orang aneh', mungkin.

Sementara sosok cantik di depannya masih terpaku, ia secepat kilat mengambil sepedanya lalu pergi, menyisakan tanya lebih besar di benak si gadis. Namun belum sampai terlalu jauh, ia berbalik menatap gadisnya lagi, yang saat itu masih belum ia tahu siapa namanya, pun juga sebaliknya.

Ya, cantik. Bahkan dalam diamnya pun, ia masih yang tercantik yang bisa ditatap. Seperti Luna di langit akhir Juni, paling cemerlang diantara jutaan gemintang. Bulan terindah yang kelak akan terpahat kuat di hati si bocah, di sepanjang kisah.

"Abis pakenya cuci, ya. Ntar gue ambil lagi," katanya, lalu kembali pergi menyisakan tatap bingung dari tanya yang masih menggantung.

Sesederhana itu. Awal pembuka kisah yang nantinya berakhir menimbulkan resah. Dan ya, saat ini aku masih menatap jauh keluar jendela, masih menikmati ritmis gerimis yang mulai mereda, Bersama secangkir hazelnut, lagu jikustik yang masih mengalun mesra dan sisa-sisa kenangan kita.

Remember ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang