Red Dwarf Star

76 22 11
                                    

From: Berandal Receh

Sibuk, malem mingguan? Ngga kan? Gue culik ya?


Sebuah pesan masuk baru dari lelaki ngeselin yang akhir-akhir sering muncul dalam batin.

My first impression of him when our first meeting was far from sweet or gently. Itu adalah hari pertamaku setelah pindah sekolah, benar-benar hari yang kuharapkan akan berjalan indah. Namun malah, tepat di depan gerbang sekolah ia menyerempetku dengan sepedanya, kemudian berlalu tanpa maaf atau pun sekedar membantu. Mengesalkan!

Tumben sekali anak satu ini ngajak keluar. But well, aku langsung mengetik beberapa kalimat singkat untuk membalas ajakan yang mungkin ia tanyakan setelah mengumpulkan keberanian kuat-kuat.


To: Berandal Receh

Mau nyulik ko nanya dulu? Mau nyulik kemana emang?


Aku langsung menekan tombol kirim.

Lelaki ini. Dia pernah menyatakan perasaannya dengan berani. Namun meski ku tolak, ia sekan tak pernah kehabisan otak. Kami masih berteman seperti biasa. Bercanda, tertawa dan kadang saling berbagi cerita, tidak seperti lelaki lain yang berlalu menjauh dan tak lagi bertegur sapa, seakan bukan siapa-siapa. Tidak kubayangkan akan pernah seakrab ini dengan anak paling menyebalkan seantero sekolahan, tapi nyatanya inilah yang kurasakan.

Tidak berapa lama notifikasi pesanku kembali berbunyi.


From: Berandal Receh

Kan penculiknya beradab. Udah ikut aja, ga bakal nyesel pokonya.

Ini udah di depan gang loh. Buruan dingin nih.


Aku tertawa sendiri membacanya. Kelakuan begundal satu ini memang sedikit berbeda dengan lelaki lain yang pernah kukenal. Sayangnya perasaanku masih terpahat kuat untuk dia yang masih sering kuingat dalam khayal.


To: Berandal Receh

Suruh siapa maen nunggu aja di depan. Tunggu aja sampe adzan shubuh sepuluh tahun lagi.


Selesai membalas pesannya, aku langsung menyambar celana jeans  biru pudar dan sweater putih yang menggantung di belakang pintu kamar. Lalu bergegas keluar setelah berganti pakaian, setelah mencium punggung tangan Ayah dan Nenek untuk berpamitan.

"Katanya suruh nunggu sampe azan shubuh sepuluh tahun lagi?" Laki-laki dengan sweater fleece hitam dan jeans hitam robek-robek itu bertanya padaku dari atas motor berwarna silver miliknya. Rambutnya masih tetap saja acak-acakan, mungkin belum dikeramas sebulan.

"Yaudah, balik lagi aja ah," jawabku sambil pura-pura berbalik.

"Kalo gitu bikin tenda sama api unggun aja dulu ah." Aku langsung berbalik kembali dan menatapnya agak melotot, kami berdua kemudian tertawa.

"Jadi mau nyulik kemana? Asal jangan nyekap di rumah tua sama gudang aja," tanyaku sambil menaiki jok belakang motornya.

"Tenang aja. Paling banter gue culik buat ketemu papa-mama. Atau mungkin malah gue bawa ke KUA," jawabnya becanda lalu langsung memacu motor melintasi lengangnya suasana malam.

Motor memutar balik ke arah timur tanpa sedikitpun gasnya mengendur, lalu berbelok kiri di pertigaan mekarsari menebas semilir dingin yang memberi warnanya tersendiri.

Remember ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang