***
"Heran dah gua sama nih orang. Udah tau gua kaga ngerespon chat-an dia, masih aja nge-spam. Kaga bosen apa!"
Dia, yang kukenal beberapa tahun lalu dalam sebuah organisasi, yang entah kapan kami bertukar kontak. Aku sendiri tidak ingat.
Awalnya kami hanya bertukar senyum, lalu bertukar sapa, hingga akhirnya bertukar nama tanpa sengaja. Segala bentuk spontanitas tanpa rencana.
Dari kenalan, hingga saling berkirim pesan. Entah sekedar basa-basi juga saling menyurahkan isi hati. Tapi tak sampai harus saling mengikat janji, kau tahu sendiri aku tak lagi ingin menjalin hati.
Aku kira apa yang kualami semasa SMK dengan setia pada satu pria selama sekian tahun bersama adalah sebuah hal yang normal.
Hingga pada akhir kisah, aku menemukan dia bermain cinta dengan lain wanita. Kesal. Sesal. Ingin rasanya menampar tepat di pipinya sambil mengumpat liar.
***
***
Maaf? Maaf buat apa? Padahal beberapa bulan belakangan ini aku yang tak pernah merespons semua pesannya. Ingin membuatku resah? Atau sekedar gelisah. Serba salah.
Iya, mungkin kau menganggap aku terlalu apatis untuk mimpi yang telah kau rajut dengan harmonis. Dan aku terlanjur menjadi utopis yang kerap berkelakar liar dalam imajimu yang terlalu manis.
***
***
Lagi dan lagi. Basa-basi yang retoris. Tidak bisakah kau berhenti saja? Menyerah. Aku terlalu gelap untuk kau yang selalu tersenyum cerah.
Aku adalah umbra, bayangan yang terlalu gelap untuk bisa kau harap. Sekedar bisa kau tatap tanpa mampu kau dekap.
Tolong, jangan seperti ini. Aku seolah orang jahat yang menyangkal rasamu yang terlampau kuat. Berhentilah seperti ini. Berhentilah menyia-nyiakan tulus itu untuk aku yang tak pantas memelukmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Then
RandomAku masih duduk di samping jendela, menikmati iringan playlist dari cafe yang terus memutar suara, juga emisi hujan yang telah mereda di luar sana. Cangkirku sudah mau habis, sedang yang kutunggu sore ini belum kunjung datang bersama aroma parfume-n...