Eta Carinae

88 10 26
                                    

Aku masih duduk di samping jendela, menikmati iringan playlist dari cafe yang terus memutar suara, juga emisi hujan yang telah mereda di luar sana. Cangkirku sudah mau habis, sedang yang kutunggu sore ini belum kunjung datang bersama aroma parfume-nya yang manis, katanya sih oleh-oleh dari Paris.

Seruput coklat hazelnut sudah tak bersisa tapi dia belum jua tiba, malahan hujan yang tadi mereda kini kembali jumawa, menyirami seisi kota diiringi sumpah serapah manusia di jalanan raya. "Haah, makin lama kalo gini mah ceritanya," keluhku.

Tiba-tiba tatapanku tertuju pada gadis yang baru saja membuka pintu cafe, dia kebasahan. Wajahnya kusut, sisa-sisa aktifitas atau mungkin cemberut karena nasibnya sedang naas. Yah, tak semua orang suka hujan sepertiku, apalagi ditambah lagu galau yang mengalun merdu.

Dia berjalan, melangkah ke arahku dengan sunggingan senyum yang entah dipaksakan atau tidak.

"Udah lama ya, Wa?" tanyanya cengengesan sambil melirik cangkir yang sudah kosong, "sorry, tadi angkot ngetemnya lama. Tahu sendirilah, alesannya kejar setoran."

Gadis ber-blouse putih ini langsung duduk tanpa kupersilahkan, seorang tipe kekanakan yang anehnya malah bisa buatku nyaman. Aku masih membisu, hanya tersenyum lucu melihat kelakuannya yang kadang tak tahu malu.

"Mas!" Aku melambaikan tangan, memanggil seorang Waiter yang dengan sigapnya langsung datang ke meja kami.

Kupersilahkan gadis dengan wajah lesu ini memesan yang kemudian ditulis Waiter dalam catatan, "Mas nya mau mesen lagi?" tanya pelayan itu, mungkin melihat cangkirku yang sudah kosong.

"Samain aja," jawabku singkat.

Ia mengangguk mengulangi pesanan kami kemudian berlalu sambil membawa cangkirku barusan yang kini hanya berisi sunyi.

"So, how do you feel?" tanyaku membuka percakapan.

"As you knew, Wa. So bad, jadi budak kapitalis gini ngerasa kek masuk lingkaran setan. Pagi berangkat kerja sampe sore, pulang langsung kost-an," jawabnya dengan wajah malas, "boro-boro kepikiran jalan-jalan, yang ada malah udah capek duluan."

Aku tersenyum, "Kantor–kost-an–kantor–kostan aja gitu?"

Gadis ini mendengkus, melempar mata ke luar jendela dengan wajah ketus, "Ya gimana, yah?"

Ia termenung melihat jalanan yang masih diguyur hujan atau mungkin melamunkan siklus hidupnya yang konstan, "Pengen sih bisa hang out sama temen kek orang-orang atau mungkin nongkrong nge-mall kek ABG kurang asupan kasih sayang, tapi ya mager aja. Kagak ada yang mau aing susahin buat diajak jalan."

"Ya elu nya jangan nyusahin lah, bego. Panas dikit komen, macet dikit ngeluh. Mana ada cowok yang mau jalan kesana-sini sambil bawa freezer di kupingnya."

Aku ikut memutar pandangan, menikmati dinginnya semilir angin saat hujan sambil mengambil sebatang rokok yang lalu kunyalakan. Tempat ngopi yang nyaman disertai smoking area saat hujan adalah hal terbaik yang bisa kau temukan. Setidaknya menurutku, kuharap kalian juga setuju.

"Heh," dengkusnya, "ya aing kan cuma bersikap apa adanya aja. Merekanya aja yang kebanyakan kriteria sama tuntutan. Apa sih ya bahasanya kalo kata ABG kurang Iodium? Mmm ...."

"Semua cowok sama aja," sambungku.

"Nah!"

"Tapi 'apa adanya' juga ada batasnya. Lu mau ga kawin-kawin kayak Sirifa?"

Gadis itu melempar pandangannya padaku kali ini, "Nah maneh sendiri? Nggak ngaca? Malah ngomongin orang ngga kawin-kawin."

Aku hanya tertawa renyah, beruntung pelayan datang membawakan dua Latte dan Red velvet dengan senyum ramah.

Remember ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang