Pagi ini tak seperti biasanya, bocah itu begitu tergesa mengenakan seragamnya seolah takut akan kena hukuman guru killer di sekolah, namun nyatanya jarum jam masihlah menunjuk pukul setengah enam pagi. Terlalu pagi untuk begitu tergesa mengingat bel masuk berbunyi di angka delapan.
Ia mulai melangkahkan kakinya menuju balai desa, tepatnya tempat ia biasa menunggu angkutan umum untuk berangkat ke sekolah. Bocah itu duduk di pagar jembatan, masih seperti biasanya, bedanya hanya matahari masih belum sepenuhnya terbangun untuk menyinari rambut yang selalu lupa disisir itu.
Termenung dengan tatapan menuju komik yang ia pinjam dari seorang teman tanpa sadar mentari sudah meninggi, angkot menuju sekolah pun sudah beberapa kali melintas namun masih tak ada tanda ia memiliki niat untuk beranjak men-stop dan bergegas menuju sekolah, bertolak belakang dengan tindakannya yang sangat terburu-buru tadi pagi.
Matahari semakin meninggi, komik pun sudah ia tutup kembali ke dalam tas. Sesekali matanya menoleh ke arah angkot datang namun meski setelah beberapa yang melintas masih tak menunjukan minatnya untuk beranjak, hingga tiba sebuah motor melintas. Tatapan bocah itu terkunci pada salah satu dari dua gadis yang duduk di jok belakang. Seolah waktu di dunianya berjalan sangat lambat. Iya, senyum itu, yang sejak beberapa hari lalu mengganggu jam tidurnya tak beraturan.
Entah siapa, entah orang mana... Selucu itu.
Dan begitulah, setiap pagi terlewati demikian. Ia baru akan beranjak menghentikan angkutan umum untuk ke sekolah setelah bisa menatap senyum yang ia anggap sebagai cahaya di semestanya.
Beberapa bulan terlewati begitu saja, kini ia mengetahui nama pemilik senyum manis itu setelah mengikuti—atau mungkin ikut-ikutan—sebuah organisasi pemuda di desa. Beberapa kali ia bisa melihat tawanya dari dekat meski tak sering atau jika beruntung, mereka mungkin akan bertegur sapa meski tak lebih sekadar basa-basi.
Singkat cerita, nomor handphone didapat, saling berkirim pesan pun ia balas cepat. Meski rasa belum jua berani diungkap. Hingga era berkirim pesan singkat berganti BBM, add facebook untuk saling menambahkan teman pun tak absen. Sayang, tambatan hati ternyata sudah dengan lelaki lain.
"Jika kau adalah kopi, akan seperti apa dirimu? Espresso, Capuccino, Caramel atau Latte."
Salah satu tanya iseng yang mungkin bocah itu pernah sampaikan, yang kemudian terjawab dengan rangkaian kalimat yang tak pernah ia sangka. Yah begitulah... sialnya fakta berbeda dengan harap, dan rasa masihlah bertepuk sebelah pihak.
Jarum jam terus berputar mengikuti arus waktu, kalender terus berganti ke tahun-tahun yang baru namun harap masihlah selalu, sejak hari itu; sejak senyum itu. Gadis itu seolah menjadi poros tempat semua doa dan harapnya berputar, tak ubahnya matahari dalam pusat bimasakti.
Dan masih.
Mungkin hingga saat ini.
Di detik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Then
RandomAku masih duduk di samping jendela, menikmati iringan playlist dari cafe yang terus memutar suara, juga emisi hujan yang telah mereda di luar sana. Cangkirku sudah mau habis, sedang yang kutunggu sore ini belum kunjung datang bersama aroma parfume-n...