Aku tidak mengerti alasan mengapa manusia sangat mendambakan kesempurnaan di saat sesungguhnya tak ada barang satu pun yang sempurna.
Termasuk pohon rindang yang acap kali kau temui di sepanjang jalan.
Aku tahu, definisi kesempurnaan tiap orang itu berbeda-beda. Katakanlah, bagiku, hidup yang sempurna itu hidup tanpa kebencian dan pertengkaran—melainkan semua damai dan tenteram.
Tapi, tunggu, bukankah hidup seperti itu tidak ada segi mengasyikkannya sama sekali?
Ah, persetan. Aku tak mengerti lagi. Mungkin ... aku memang tidak butuh sesuatu yang sempurna, sekarang.
Lagipula, pandangan manusia terhadap sesuatu bisa kubilang aneh. Sangat aneh.
Manusia tidak suka melihat kecacatan. Jika ada satu, maka mereka akan langsung mengalihkan pandangan dan berakting seolah tak pernah melihat maupun mengetahui keberadaannya.
Miris. Tapi begitulah realitasnya, bukan?
Karena ada pandangan itu pula, manusia didorong untuk berlomba mencapai garis sempurna.
Dan di saat itu juga mereka sebenarnya tengah melupakan prinsipnya.
Bahwa tidak akan ada yang pernah menjadi sempurna jika tak ada yang memandangnya demikian.
Bukankah begitu, Kawan?
Alex 餘
bergumul dengan selimut kesayangan
di atas kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA
Random/sênandika/ (n): wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan...