Tak kan ku biarkan kau menjerit
Aku bingung
Sore itu benar – benar puncak keputusanku, dimana orang tuaku member 3 pilihan untuk kelanjutan perjalananku menuntut ilmu. Pilihannya adalah tetap dipondokku yang sekarang ini, yaitu Mambaul Hisan Magelang, atau Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo yang mana dulu disanalah tempat bapakku juga menjadi santri, atau bahkan kembali kerumah, hanya bersekolah tanpa mondok.
Dalam lelah ngaji kusandarkan tubuhku yang menyimpan otot ditembok kamar E ini, kamar yang hampir genap 3 tahun menjadi awal langkahku mencari ilmu dan pelajaran hidup setiap paginya. Mengambil keputusan untuk kelanjutan pendidikanku ternyata bukan perihal yang mudah bagiku. Orang tuaku hanya memberi sudut pandang dari pendidikan diniyyah dan kitab yang akan kupelajari saja.
Masih terus terngiang dalam benakku perkataan bapakkuu “eman- eman le kalo cuma ngaji sampe imrithi doang” ucapnya beberapa waktu lalu lewat telepon pak Latif.
Disamping itu dukungan untuk meneruskan ke An-Nawawi juga diberikan guru idolaku yaitu pak shobah “nek ng berjan mas, ono jurusan seng jenenge keagamaan, neng kono nek sampean hiso temenanan, 3 wulan wae iso lancar bahasa arab karo bahasa inggris, terus sak semester wae sampean wes hiso nek meng kon moco kitab fathul qorib gundulan, nek lulusan iso melu seleksi kuliah neng luar negri: Mesir, yaman, turkey, malah hiso arab mas” ucapnya saat aku hampir ujian beberapa minggu lalu.
Dukungan dari pak shobah memperkuat alasaanku ingin ke An-Nawawi. Tapi, ketika kuarahkan pandanganku ke luar kamar sana, rasanya berat sekali ingin meninggalkan Mambaul hisan ini. Entah dengan alasan apakah itu, mungkin aku sudah amat nyaman disini.
Kala itu, masih sangat berat bagiku meninggalkan segala hal yang sudah melekat dan menjadi ceritaku di mambaul hisan ini, yang mungkin bisa kuceritakan pada anak cucuku kelak. Canda tawa, kekonyolan yang benar-benar kekonyolan ala santri, keberadaanku yang sudah amat dianggap, para pengurus yang sudah seperti teman sendiri, pelajaran hidup, kekeluargaan yang benar-benar kental, dan yang paling utama adalah bisa lebih dekat dengan kiai.
Tapi, disisi lain keinginanku untuk menjadi santri dipondok besar, dan pondok yang terkenal adalah salah satu impian bagiku. Sedangkan untuk kembali kerumah adalah rasa takut kalau- kalau aku terjerumus kearah kenakalan remaja atau setidaknya tidak tertib menjalankan sholat wajib 5 waktu. Tak ada sedikitpun dalam benakku untuk mengakhiri gelar santri yang sudah ada dalam diriku.
Ditengah-tengah heningnya lamunan hati yang dilanda kebimbangan ini, kumandang azan memanggil jiwaku untuk menghadap ilahi. Kuambil wudhu dan masuk barisan jama’ah maghrib di musholla mambaul hisan ini. Selesai shalat, ditengah perjalanan menikmati dzikir, seakan ada yang memanggil namaku, tak kuhiraukan panggilan itu. Masih kunikmati lantunan dzikir yang seakan saling sahut dengan suara imam yang semakin jelas mangayang diudara beserta gerakannya yang amat mantap.
“Reyhan, ibumu nelpon” suara pak latif, suara pengurus kamarku itu tepat menggempur daun telingaku. Tubuhku seolah tersentak dari nikmatnya bunyi kalimat-kalimat dzikir yang suci. Kuambil handphone dari tangan pak Latif dan kubawa keluar dari mushola.
“halo,, assalamualaikum mak! Gimana?”
“walaikumsalam,, reyhan itu yang mau gimana? Jadinya mau nerusi kemana rey? Tetep disitu?, ke An-Nawawi? apa balik kerumah aja? bantu-bantuin mamak?” suara tawa dari mulutku hampir terlepas, hampir tak sanggup kumenahannya, kala ibuku memberi tawaran tambahan untuk membantunya dirumah, kufikir itu adalah tawaran yang lucu.
“ masih bimbang mak”
“kok bimbang terus sih, lamanya mikirnya,” bahasa khas dayaknya jelas kupahami.
“yaudah keberjan” jawabku singkat seakan bibirku bergerak sendiri tanpa komando dari otakku. Mungkin itu adalah takdir tuhan untukku.
“ya sudah, besok uang buat pendaftarnnya mamak transfer, ya udah itu aja yang mau mamak tanyain, mamak mau jemput dedeknya dulu ditempat embah, assalamualaikum”
Dari kejauhan pak Latif menggerakkan bibir tanpa suara sambil menunjuk ke kamar, isyarat bahwa balikne HPne neng kono yo, aku arep rono.
“iya mak, waalaikumsalam”
Bergegas ku hampiri pak Latif, kukembalikan HPnya, dengan tata karma santiri pada umumnya didepan guru ataupun pengurusnya. Yah, walaupun pak lafif dan aku sudah sangat akrab. Bahkan, banyak yang bilang aku dan pak latif kakak dan adik.
“ditakoni arep neruske neng endi yo rey?” tanyanya dengan lirikan harapan, tepat lurus kearah bola mata redupku.
“he,e pak niki HPne” kusodorkan HP sambil tersenyum pamer gigi merasa tak enak dengannya. Karena pak Latif lah orang yang paling barharap aku tetap bertahan, membantu dan menemaninya mengurus pondok pesantren MH.
“terus neng endi sidone arepan?” tanyanya mulai acuh.
Kedekati pak Latif, kududuk didepannya. “pak” ucapku menatapnya lamat-lamat.
”hemm” masih dengan acuhnya. Dia hanya memandang HPnya yang sebenarnya taka ada pesan atau apapun. Perasaanku semakin tak sedap. Aku tahu dia sudah menduga jawabanku pasti ke Berjan. Pasti dia ngambek padaku
Kutarik napas panjang “pak ngapurane nek aku pindah nang berjan pak, padahal wes diarep-arep ngerewagi pengurus nang kene. Tapi aku janji pak, aku bakalan sering-sering moro rene. Aku janji nang berjan bakal banggakne MH.”
Pak Latif membangunkan diri dari tidurnya dan duduk menghadapku. “aku yo njaluk ngapuro yo rey, nek nggawe koe ra penak neng aku, gara-gara lagakku sok cuek” wajahnya mulai melebarkan senyum dan meledak tawanya “whahahaha” tiba-tiba nada pak Latif berubah humor. Sial, aku digarapi olehnya. Wajahku merah dan menekuk ketidak sukaan dengan amat tiba-tiba pada humornya yang tak lucu
“mbok koe pindah endi wae lho rey, aku tetep bakalan ngomong karepmu kok, wong nyatane kui lak hak-hakmu to arep pindah opo ora. Aku meng arep ngetes koe. nak aku mutug opo seng arep mbok lakoni? Kui thok maksudku” lanjutnya.
“ahh,, huasssemmmm pak Latif lah. Ra lucu babar blas pak guyone.” Aku cemberut.
“ra lucu tapi aku seneng kok rey iso delok raimu dadi elik koyo ngono” jawabnya. “Whahaha… Tapi kowe wes janji lho rey” wajahnya kembali terlihat serius dan telunjuk tangannya mengacung ke wajahku, matanya berduel tajam dengan tatapanku “arep mbanggakne MH” kecamnya.
“he,e pak lah jan" kubuang tatapanku kuhadirkan raut-raut cengengesan. Kusodorkan rokok signature, rokok kesukaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
tak kan kubiarkan kau menjerit
Teen Fictionambisi pemuda yang meninggalkan pondok pesantren lamanya untuk membesarkan nama pondoknya dipesan tren yang baru, yang lebih besar. juga ambisinya ingin ketimur tengah dengan beasiswa dari perlombaan bergengsi antar pesantren yaitu lomba kitab alfiy...