HP berdering dipagi yang matahari belum tampak memancarkan sinarnya. Masih hening didinihari. Udara juga masih lembab dan belum bisa menembus rumah yang jendelanya tertutup rapat. Pintu berukir ukiran jawa itu juga masih terus bertahan melindungi penghuni rumah dari dinginya dinihari. Seorang gadis berparas cantik memasuki kamar dengan mukenanya. Sejam yang lalu kamar ini tempat ia merebahkan tubuh dan terpejam membayangkan kekasihnya sejak tadi malam. Lagu melayu yang dinyanyikan siti nurhaliza mengajak bernostalgia bagi gadis itu. Indah senyumnya seolah ia baru saja meminta sesuatu pada tuhan dengan optimis tinggi. Tangan lembut gadis itu menyahut handphone yang berdering.
“ya assalamualaikum” matanya mendelik melihat panggilan itu dari nomor baru yang jelas ia tidak mengenalnya. Sambil ia tepelkan ditelinganya. Barangkali ia paham dengan suara sang pemanggil.
“waalaikum salam. Emhh leres Ani?” suaranya antara asing dan pernah mendengar. Mungkin perasaanaya saja.
“njehh, niki Ani. Njenengan sinten?” ia makin memicingkan mata. Bersiap mendengar suara itu lebih jelas lagi. Barangkali memang ia paham.
“emhhh, ra usah basa-basi yo. Aku arep ngabari nak rey arep nang turkey dino iki. Saiki persiapan mangkat nang bandara. wassalam” telephon itu ditutup. Rasanya bahagia pagi harinya hilang seketika. Ani membugkam mulutya sendiri menahan hasrat ingin menjerit kepada dunia. Menjerit kepada keadaan yang ia rasa tidak pernah membelanya untuk urusan pria tercintanya itu. Matanya seketika melotot dalam sekejap lalu kembali redup dibasahi air mata lembab sebuah kesedihan. Tak terasa HPnya jatuh ke lantai dan ia terhempas keshofa dibelakangnya. Ia seakan terpuruk. Bulan lalu suatu urusan yang merenggangkan ia dengan pria yang ia cinta belum terselesaikan. Kini ia akan pergi ke negeri orang. Cita-cita ingin menyampaikan isi hati tentang perasaanya seolah terputus takdir.
“ann? Ngopo an?” Fatma datang dengan gugup, dari jauh ia melihat sekali lagi mata sahabatnya ini mendadak dibasahi oleh air matanya sendiri. Entah bagaimana melihat sahabatnya menangis, fatma juga rasanya ingin menangis walaupun tak tau apa sebabnya.
Ia menarik napas sebanyak mungkin “mas rey mangkat nang bandara arep nang turkey” jawabnya berbisik menahan suara tangis dan napasnya.
Fatma menepuk dahi membanting punggung ke sofa. Ia geram, seakan ia terlibat urusan cinta Ani yang tak kunjung rampung. Geram pula ia pada sahabatnya yang diam ditempat tanpa melakukan apapun. “An, nek koe arep ketemu mas rey. Kudune bertindak donk!” ucap fatma begitu geram. Seolah akan melempar kepalnya keangin.
ani menghela dan mengatur napasnya. Sulit. Ia membuka kontak hisyam dan menelponya. Berdering. Ani menunggu sedikit gemas ia menunggu beberapa detik yang terbuang.
“sorry an! Sorry. Nembe adus aku! Kpie?” hisyam menggosok-gosok rambutnya dengan handuk sambil duduk di spring bad mewah kamarnya dan kakaknya itu.
“Aku nang omahe fatma, aku jaluk tulung koe ngeterke aku nang bandara” ani tidak dapat menyembunyikan suara bahwa ia sedang menahan tangisnya.
Hisyam melirik kakaknya yang masih tidur di spring bad sebrangnya itu. Hisyam sadar dengan janjinya dulu. Ketika Ani sedang marah besar dengan kakanya. Antara rasa ingin membantu, menebus kesalahan kakanya, atau alasan apapun terasa menjadi satu. Ia segera berpakaia dan pergi dengan mobil pajero sportnya.“nelpon sopo khan” ucapku tengah mengisi pakaian ke koper. Arkhan tersenyum dibuat-buat sambil ia berdiri didepan cermin menata gaya rambutnya “heelah, ditakoni kok”. Arkhan mendekat dan berdiri disandingku.
“we ra mikirke yankmu blas?” tatapnya mengejekku
“yank? Sopo?” aku melempar pandangku kelain arah. Seolah mustahil dengan apa yang dikatakannya.
“halahh, Ani? Cah pondokan wonosobo? Ojo ngapusi. Iki aku stand by moco pikiranmu. Gek tak bukak iki khodamku” ia tersenyum kuda.
“lha ngopo takon aku mikirke pora nk gek buka khodamu? Brati kan koe reti!” aku duduk diatas koper pakaianku memandang sorot mata kawanku ini. “emang nopo? Kubuat spesifik pertanyaanku.
Arkhan menghembuskan nafasnya yang besar. Napas itu mewakili tawanya. Napas itu seakan berbunyi hahaha. Dan ia keluar meenarik kopernya menuju mobil yang akan mengantar. “aku nelfon Ani. Ngabari nk koe arep mangkat” ucapnya dipintu sambil memutar badan memandangku. “nk Ani ncen seneng koe. Ani bakalan nang bandara”
Ah, peduli apa dengan yang ia bicarakan. Setahuku selama ini Ani hanya sekedar melegakanku. Tidak ada perasaan apapun. Dan jika ada seharusnya dari dulu dia bilang. Tapi, logis juga jika dia punya perasaan. Bisa dilihat sejak ia berkali kali menghubungiku sejak problematika isu pertunanganya, sampai pada ia hadir dalam perpisahan sekolahku hanya untuk menjelaskan problem itu.
Arkhan memanggil-manggilku dari luar sana. Rasanya seperti ada yang hampir terlewat. Aku belum menghubungi eric. Segera kucari namanya di kontakku. Kutekan pesan dan kuketikan pesan “ric, aku OTW bandara. Aku arep nang turkey. Doakan bro! sampai jumpa 4,5 tahun lagi” kutekan tombol kirim dan aku menyusul Arkhan kemobil.
“ayo syam, cepet!” Ani menuntut Hisyam yang sedang tegang dengan kecepatan lebih dari 120km/jam diatas jalan tol menuju kebandara. Hisyam tegang karena sebelumnya ia belum pernah berkendara mobil dengan kecepatan seperti itu. Tuntutan Ani seakan langsung mendorong hatinya. Seakan Ani seorang yang ia cintai dan yang harus ia bahagiakan dengan cara menurutinya. Sedangkan fatma yang bahkan jarang berkendara duduk bersandar dengan mata sayu dan lemas. Mabok barangkali.
“pesawat air line 3000 arah tujuan Istanbul turkey akan segera berangkat, penumpang harap segera masuk kepesawat” suara yang keluar dari speeker bandara memberi itruksi.
“okeeh, yang mau ke turkey nih, selamat jalan kawan” arkhan memeluku. “duhh, sendiri deh nungguin pesawat yang mau nganter ke mesir”
“halaahh RPP. Endi tiketku? Mbok gowo to?” tanyaku.
“nyoo! Dicek! Mbokan salah tiket?” arkhan tersenyum namun air matanya mengalir. Ia mengusap-usap air matanya itu. Tak jauh berbeda dengan sahabatku menuju kesuksesan itu. Air mataku juga menetes. Aku dan arkhan saling pandnag dan saling menunjuk mata satu sama lain “ihh, nangis jhal?” ucapku bersamaan dengan ucapanya. Aku dan dia terbahak bersama. Mungkin ini jadi yang terakhir untuk 5 tahun yang akan datang.
“iyo, iki jenengku” ucapku setelah membaca nama ditiketku itu.
”Wes lah kono mangkat, males kakehan nasihati koe! Percuma. Ngesok wae nk nang turkey lagi nasihat-nasihatan. Malah baper ngko nak ijol petuah bijak nang kene. Kon semangat lah kon rajin lah kon ngene kon ngono. Ahh, wes wes wes, mangkat kono!” sekali lagi aku terbahak dengan ia yang menangis namun sambil tertawa. Bahkan aku pun teerbahak dengan air mata kebahagiaan yang mengalir lembut di kedua mataku. Dia sahabatku. Dan dia benar-benar sahabatku yang membuktikan ucapanya tentang teman dan kesuksesan. Sekali lagi kami saling merangkul dan saling jotos geram mengingat canda-canda terakhir kami.
“bye bro” aku menyalaminya sambil mengusap air mata yang sekali lagi menetes. Dan menarik napas panjang berjalan menuju pesawat. Sesekali kutengok tanah Indonesia yang pasti esok akan aku rindu ditangga pesawat ini. hah, sudah cukup. Aku pasti rindu. Batinku. Ia duduk bersandar dengan tenang menunggu terbangnya pesawat sambil menengok remaja didekat jendela pesawat memotret tiketnya dan dijadikan story WA.
Sampai dibandara, Ani berlari secepat mungkin mencari pusat informasi “maaf mbak! Mau tanya” napasnya berat dan tidak teratur. Peluh keringatnya menetes dan bertebaran membasahi wajah. “pesawat yang ke turkey sudah berangkat belum?”
“pesawat yang terbang ke turkey, air line 3000 baru saja berangkat, dan pesawat………”
Ani berpaling menjepit kepalanya dengan kedua tanganya. Tangisnya tertahan-tahan ingin meledak. Ia benar-benar terlambat. Ia terlambat. Ia belum menyatakan cintany pada rey. Dan kesempatan mengungkapkan aka nada 4,5 tahun kedepan. Itu terlalu lama. Mungkin saat itu rey, sudah punya kekasih. Sial. Kenapa aku begini. Kenapa tidak dari dulu. Kenapa tidak sejak Mts atau setidaknya di pertemuan terakhir. Kenapa aku tidak bermental. Ahh, bodoh. Batinnya. Entah apa yang ia sesalkan. Sebegitukah cinta?”
Fatma yang tadi mabuk kini mengusap-usap sahabatnya itu. Hisyam hanya dapat melihat, ia tak tau harus berbuat apa untuk membantu ani agar ia tidak bersedih. “syam, golekne ombe syam!” perintah fatma. Orang sedih dan tidak tenang menurutnya harus diberi minum dulu. Tanpa komentar ia pergi mencari minum untuk Ani. Ia tidak ingin melihat Ani dikeadaan seperti itu. Dan semoga itu membantu.
Seorang lelaki dengan tubuh kekar, berkulit coklat gelap dengan bau keringat tak sedap baru saja melintas didepan Ani dan fatma. Celananya yang robek di berbagai sisi dan jaket levisnya juga lubang bekas tindik dimana-mana membuat prasangka buruk dibatin mereka.
“mbak jadwal pesawat ke turkey hari ini?” pria itu gugup seakan dikejar polisi. Atau mungkin ia memang penjahat dan ingin mearikan diri ke turkey. Semoga tidak berjumpa rey. Batin Ani memandangnya nampak seram.
“duhh, mugo-mugo cah kae ra numpak air line!” gumam pria itu setelah disuguhkan sesuatu di computer petugas informasi. Pria itu masih nampak tegang. Ia pergi keluar tergesa-gesa sambil bergumam. “mugo-mugo nang jobo!”
Fatma masih merasakan mabuknya. Rasanya ia menahan sesuatu yang akan keluar dari kerongkonganya. “eukk” ia menutup mulutnya. Matanya sayu. Tubuhnya masih nampak lemas dan urang fit. “ sek An. Tak ng toilet sek” fatma meninggalkan Ani yang masih duduk terpaku dengan sesalnya. Air matanya kembali mengalir sedikit demi sedikit. Rengekanya juga terdengar olehorang yang melintas.
“duhh, kok ra iso dihubungi yo? Pesan wae lah” gumamku. Segera kuketik pesan untuk sahabatku itu. Aku meihat wanita yang tak asing disana. Seakan memang itu orang yang sangat dekat denganku. Kucoba melangkah mendekatinya.
“Ani?” ucapku terkejut. Wanita itu menengoku. Ia pun sama. Terkejut, bahkan melebihiku. Seakan lega ia menarik napas panjang dan meloncat memelukku erat-erat. “mas rey” ucapnya sambil menangis lega. Peluknya begitu erat. Aku yang mulanya terpaku tak sadaar perlahan tanganku mulai menyusuri punggungnya. Aku tak sadar kini aku pun erat memeluknya. Merasakan aroma tubuhnya. Merasasakan wangi pafum faforitnya yang khas dan sudah kukenal sejak dulu. Kehangatan begitu terasa detik-detik ini.
“ani” nafasku terasa hangat. Ada perasaan lega yang sangatlah sulit kuucapkan. Sangat sulit kujelaskan dengan kalimat. Entah lega macam apa ini.
“mas, aku seneng njenengan. Aku seneng jenengan ket rien mas. Ket Mts, ket nang Magelang” ucap Ani. Wajahnya mengusap-usap kepunggungku. Membuat bajuku menjadi basah oleh air matanya. Tak apalah. Aku bahagia. Cintaku bangkit tiba-tiba. Yang semula berusaha terus menerus kupendam pada akhirya meledak juga.
“kulo njeh sami an. Kulo njeh ket Mts. Wes taun-taunan mendem iki ra kuat” aku semakin erat memeluknya.
“Ani?” fatma datang dengan senyum leganya bersama Hisyam yang juga datang dengan sebotol air mineral dengan wajah tersenyum menyimpan sesuatu teka-teki. Seakan lega tapi ada sesuatu yang tak bisa ditafsirkan. Ani melepas pelukanya, mundur beberapa langkah menjauh dariku dan mengusap-usap matanya yang masih basah. Ia tersenyum, ada perasaan yang amat lega nampak disorot matanya. Napasnya tersendat-sendat oleh cairan kental dihidungnya yang berusaha ia tutup-tutupi.
“rey. Bangsad we ra ngabari aku. Ngabari kok mau isuk lho. Ndadak temen. Nk ra ndadak kan aku seng ngeterke ng bandara karo nggowo pasukanku. Ben koyo konvoi lho. Kan keren!” erik datang marah-marah tanganya mengepal ke arah perutku. Ia menjotosku pelan di pipi dan mukaku.
“sorry rik sorry. Kelalen to! Iki yo ndadak wingi bar dolan-dolan e, hehe” Ani tak memicingkan mata dibalik senyumnya padaku saat melihat preman ini begitu nampak akrab denganku. “yankmu po iki?” erik memandang ani.
“takoni jhal! Sopo ku, ngono?” kami terbahak bersama. Lirikanku tak bisa pergi kearah lain selain memandang Ani yang baru saja memelukku.
Handphoneku bergetar “salah jadwale?” suara arkhan yang menelponku.
“iyo. Iki pesawat garuda jebule!”
“mau kon ngecek ra manut!”
“tak cek. Neng mung jenenge. Ora pesawate. Pas ng pesawat delok bocah nggowo tiket kok bedo tikete. Bare aku metu. Ditakoni pramugarine nopo mas, teko PD tak jawab salah pesawat” aku terbahak-bahak. Eric, ani dan temannya ikut tertawa mendengarnya. “nanng ruang pemeriksaan tiket aku ra dicek tenanan kok. Sialan” arkhan pun terdengar terbahak-bahak.
“y owes. Pesawatku saiki arep mabur. Bye. Wassalam” telephon ditutup.
“rey. Intine nk bali Indonesia iling yo karo penjalukku! Monggo nak arep perpisahan karo yanke” erik melebarkan tanganya. Dan menarik aku agar lebih mendekat ke Ani.
Aku kembali bertatap mata dengan gadis yang amat manis ini. yang sempat hilang dari hidupku. Ia merunduk. “ani!” Ia kini mencoba lebih menatapku. Sorot matanya terdapat cahaya cinta. Jantungku terasa bergetar dahsyat. Cinta ini benar-benar bangkit. “aku sayang koe” perlahan kuucap itu. “aku arep ngejar cita-cita disek yo. Koe jogo awakmu” berat rasanya, mataku kembali melembab. “walau aku jauh, aku gak akan sesekali membiarkan kau menjerit. Aku janji. Tak kan kubiarkan kau menjerit. Mergo aku sayang koe”
“aku mung jaluk nak wis bali seko turkey ndang lamar aku!” Ani dengan cepat dan gugup memutus ucapanku. Aku tertawa tertahan.
“iyo iyo. Aku bakalan ndang lulus, balik ng indo trus nikahi koe. Tapi, koe janji!” aku sedikit lebih serius. “aku ngejar cita-cita koe yo ngejar cita-cita. Mergo sak apik-apike pasangan nk podo-podo wes ngeraih cita-cita” itu kata-kata arkhan yang sedikit kuubah untuk ani. “suaramu salah siji factor cintaku, kembangno! Barangkali, bali seko turkey aku ngelamar penyanyi terkenal” ucapku bercanda. Ia tertawa kecil. Sekejap kami saling tatap. Dan kini dengan mantap aku memeluknya.
“hey hey hey” Erick memisahkan pelukan dua detik itu. “wes wes, ngsok nk wes rabi, nk wes halal!” ia setengah bercanda. “garuda 77 dengan tujuan turkey akan segera melandas” suara dari petugas bandara memanggil. Aku dan yang lain panic. Itu intruksi melandas. Bukan hanya berangkat.
“y owes y owes. Samapi jumpa 5 tahun lagi” aku berlari menuju lift pesawat. Tak sadar koper kecilku kutinggal didekat tempat Ani duduk tadi. Kuambil dan sekali kukecup kening Ani yang dengan perasaan penuh lega dan bahagia memandang sikap cerobohku dan aku langsung berlari lagi “bye guys!”
Aku sudah berada didalam pesawat. Pesawat hampir saja meninggalkanku. Terlihat bumi Indonesia di bawah sana. Dan aku katakana padanya “selamat tinggal! Sampai jumpa lagi! Tak kan kubiarkan Alfiyyatun Nisa menangis menjerit lagi walau hanya didalam hati. Tak kan kubiarkan juga Alfiyyah ibnu malikku menjerit, karena ia yang menjadi awal perjalanan suksesku, awal kutemukan teman sebaik arkhan. Sahabat utama, cinta juga, apa lagi cita-cita. Hei Indonesia! Aku bakalan jadi ahli agama lulusan turkey”TAMAT………………!
KAMU SEDANG MEMBACA
tak kan kubiarkan kau menjerit
Novela Juvenilambisi pemuda yang meninggalkan pondok pesantren lamanya untuk membesarkan nama pondoknya dipesan tren yang baru, yang lebih besar. juga ambisinya ingin ketimur tengah dengan beasiswa dari perlombaan bergengsi antar pesantren yaitu lomba kitab alfiy...