Gas arah Berjan
Setengah sadar. Kurasakan ada cahaya yang terpancar hangat menembus kaca jendela kamarku. Udara nafasku terasa lebih hangat dari bebeerapa jam lalu. Tubuhku mulai mengeluarkan peluh “druakkk,,” dobrakan pintu memaksa nyawaku yang sedang entah pergi kemana kembali tiba-tiba. Aku terbangun dan sadar bahwa memang hari mulai menjelang siang.
“ jare arep mangkat saiki rey? Kok urug tangi ki kepie?” pak latif menepuk-nepuk pipiku.
Aku bangunkan tubuh “lha kok ra ono seng gugah shubuhan aku to pak” masih kuusap-usap mata yang terasa berat kembali terbuka.
“lha delok tulisan duwurmu kwi!, seng nulis lak yo kwe dewe to?” Kupalingkan mukaku. Kususul lirikan mata pak Latif. Ah sial, ternyata tadi malam aku menulis dikertas ~ojo gugah nembe turu~ dan kutempel ditembok belakang tempatku tidur.
Tanganku melesat menggapai gayung dan sabun dibelakang pintu kamar, diikuti langkah seribu menuju kamar mandi untuk membersih dan menyegarkan tubuh. Selesaainya kuberlari-lari lagi, hingga hampir terpeleset dikulah, itu mungkin bentuk semangatku menuju An-Nawawi. Langkah awal mencari pengalaman hidup yang baru. Yang mungkin tak akan kudapatkan dimambaul hisan ini.
Kuambil barang-barang yang sudah kusiapkan tadi, menyalam pamit pada kawan-kawan dan jajaran pegurus. Ohh, hampir tertinggal seseorang didepan kamarku, yang tampaknya sudah menungguku untuk menyalaminya dengan melipat tangan bersandar di kaki pintu.
Kuragu mendekatinya, haru dalam hati dan senyum pada bibirku mengingat 3 tahun yang terjadi sebelum hari ini. Tatapan setengah ikhlas pak latif amat datar. Tak hingga dan tak bisa kurasakan apa yang akan pak latif katakan. Mataku sekali lagi mencoba meliriknya.
“wes to rey! Mangkat kono! Ra usah sok dramatis!” senyumnya mulai tumbuh. Ia melihat tingkahku yang jelas memandang kesana kemari nampak amat ragu “seng penting eling karo omonganmu dewe yo!” senyumnya melebar dan jempol tangan kanannya terangkat tanda mendukungku.
“siap pak!” kupenuhi langkahku dengan harapan dan tenaga. Tekad menjadi orang besar dan membanggakan MH tertancap jauh direlung hati. Langkahku serasa memiliki nyawa sendiri. Langkah ini begitu ringan berjalan dengan cepatnya. Bahkan kakek tua yang menggoes diatas sepedanya menggeleng-geleng melihatu melangkah dengan tenaga mudaku.
Sebelum sebuah angkutan berhenti dipinggir jalan ini. lalu, kunaiki dan mengantarku sampai ke An-Nawawi. Kuangkat kepalaku menghadap indahnya putih awan yang berbaris tak beraturan dibirunya langit dilangit. Begitu mempesona dan memberi acungan jempol pada semangatku hari ini.
“porjomas porjo” kenek bus menggelantung melambai padaku sang calon penumpang pertamanya dipagi ini. yang menjadi tumpangan pun berhenti bersiap ditunggangi. Lalu, kembali berlari dengan kaki lingkaran itu.Ohh, hanya lamunan.
“mas, sampean ngopo ket mau ngalamun wae?” Tanya seseorang yang gagah, berpostur tinggi, besar, bersuara bass yang datang padaku.
“ehh, pak shobah to?” kumita tangannya dengan amat ta’dzim lalu kucium. Ternyata dari tadi aku hanya melamun merindukan suasana MH. Merindukan saat-saat yang amat dramatis dalam hidupku 3 tahun terakhir ini.“boten nopo-nopo pak” jawabku sembari tersenyum. Dia sosok guru idolaku, belum tergantikan selama aku belajar di MTs MH.
“sido rene to sampean” suara gagah pak shobah memang khas terdengar di telingaku.
“sios to pak, lak sampun tanglet kathah teng jenengan”
“lha ndaftar jurusan nopo?” Nada bicara khas magelangnya pun tak pernah berubah.
“lha didawuhi njenengan ndaftar jurusan agama nggeh kulo ndaftar agama to pak, kan sami’na wa atho’na hehehe”
“whalah gayamu” ~ sruuuut,, bullll bull bull~ asap rokok surya keluar dengan buas dari mulut pak shobah. “y owes pokoe tak peseni, kabeh perkoro seng ono ditemeni tenanan, ojo tanggung-tanggung, jane ki sampean neng MH bien kie wes cukup nek meng pingin iso moco kitab kuning. Tapi mergo sampean ra gelem temenan le ngaji, dadi njuk kudu pindah ng panggon seng iso gawe sampean temenan le ngaji, tapi nek neng kene sampean tetep ra temenan yo podo wae.”
“njehh pak inshaalloh”
“kitab ojo dibenke keseringan nganggur! Kitab kui semi makhluk, iso seneng yo iso susah, iso ngguyu yo iso nangis, iso njerat njerit yo iso cekakak cekikik. Bakalane susah, nangis, njerat njerit nek sampean gawe nganggur ra tau diwoco” lanjutnya.
Aku mengangguk tanda paham. Memang setiap pembicaraanku dengan pak shobah pasti ada petuah yang benar-benar menggugah jiwaku untuk bersermangat. Walaupun terkadang efeknya hanya sementara. Bagiku setiap perkataannya adalah ilmu. “pak” mulutku entah mengapa ingin mengeluarkan sebuah kata. Walau sekedar ingin bertanya ~ masih sering ke MH gak pak? ~ ah tapi sepertinya tak penting untuk ditanyakan.
“ kpie?’ pak shobah seakan sudah siap menjawab. Tapi aku hanya menggeleng. Pak shobah tiba-tiba menggaruk kecil alis kanannya dengan telunjuk, teringat sesuatu. “oh iyo, melu aku yo mas nang wonosobo, pondok takhasus. Ono acara! Byasa to wong penting hehe, itung-itung sampean dolan-dolan lah. Neng berjan terus kan yo jenuh to? Aku bien yo uwes tau ngerasakne jenuh ngasi ngalamun koyo sampean kui mau hahaha”
“ohh, njehh poll purune pak!” jawabku girang. Pak shobah melangkah pergi ke motor ferzanya dan kuikuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
tak kan kubiarkan kau menjerit
Roman pour Adolescentsambisi pemuda yang meninggalkan pondok pesantren lamanya untuk membesarkan nama pondoknya dipesan tren yang baru, yang lebih besar. juga ambisinya ingin ketimur tengah dengan beasiswa dari perlombaan bergengsi antar pesantren yaitu lomba kitab alfiy...