Bab 4 | Kondisi Shandra

1K 46 42
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

"Gue aja yang single masih digantung kaya jemuran. Terus apa kabar loe yang udah punya pasangan?!"

-Irfan-

▪▪▪

Sepasang ayah dan anak itu dengan sepenuh tenaga mendobrak pintu kamar yang ditempati Shandra. Percobaan pertama dan kedua gagal tak menyurutkan semangat mereka, dan dipercobaan ketiga akhirnya pintu itu terbuka dengan begitu lebar dan menimbulkan suara yang begitu memekakan indra pendengaran.

Ketiganya mengembuskan napas lega kala melihat Shandra yang tengah tertidur menyamping ke kanan dengan tangan yang sengaja diletakan di bawah pipi. Dengan langkah perlahan mereka mendekati ranjang dan melihat lebih lekat Shandra yang mengigau dalam tidurnya. Dengan keringat bercucuran dan wajah yang sudah pucat pasi. Hal itu membuat ketiganya semakin cemas dan khawatir. Fatimah yang lebih peka dan sudah penasaran dengan kondisi menantunya, dengan segera duduk di samping Shandra dan menempelkan tangan di dahi sang menantu yang terasa sangat panas.

"Panggil dokter sekarang!" perintah Fatimah yang masih fokus menatap iba menantu satu-satunya.

Dengan sigap pula Farhan mengambil handphone yang berada di dalam saku celana bahannya. Menghubungi salah satu kerabat yang berprofesi sebagai dokter. Setelah panggilannya tersambung dia langsung memberi komando agar sang dokter segera meluncur ke apartemen.

"Ambilkan handuk kecil dan air," titah Fatimah entah pada sang suami atau sang putra.

Kedua laki-laki itu saling bertukar pandang seakan berdialog melalui sorot mata yang mereka pancarkan. Fatimah menatap jengkel anak dan suaminya yang masih saja diam di tempat. "Cepet!"

Sepasang anak dan bapak itu saling menyenggol bahu lawannya. Saling menunjuk dengan telunjuk masing-masing.

"Astagfirullah," Fatimah beristigfar seraya mengelus dadanya penuh kesabaran.

Tak mau ambil risiko dan membuang waktu akhirnya Fatimah sendiri yang turun tangan untuk mengambil apa yang dia butuhkan. "Punya dua laki-laki gak ada gunanya sama sekali!"

"Mah biar aku aja, Mah," sorakan dan teriakan itu keluar saling bersahutan dari Firdaus dan Farhan.

"Telat!" dengus Fatimah sudah kepalang emosi dan kesal. Sepertinya stok kesabaran yang Fatimah miliki tidak berlaku untuk hari ini.

"Gara-gara Papah sih gak inisiatif jadi kena damprat lagi, 'kan," gerutu Farhan menyalahkan ayahnya.

Dengan tidak sopan Firdaus menjitak kepala anak semata wayangnya. "Kalau ngomong tuh disaring dulu."

Farhan memberikan cengiran tanpa dosa dan memegang bagian kepala yang terasa sedikit sakit. "Saringannya bolong, Pah," selanya asal jeplak.

"Mending kalian pergi aja ke rumah sakit. Kepala Mamah pusing liat kalian ribut mulu," ujar Fatimah yang baru saja datang dengan sebaskom air dan handuk di kedua tangan.

"Siap komandan!" Kedua laki-laki beda generasi itu berucap kompak seraya memberikan hormat layaknya pada sang bendera merah putih.

Terdengar suara bel yang berbunyi dengan begitu nyaring.

"Liat siapa yang datang," tutur Fatimah.

"Iya, Mah," kata Farhan lebih dulu menyahut ucapan ibunya. Dan segera bergegas menuju pintu apartemen. Belajar dari pengalaman, dia tidak mau kena omel Fatimah lagi dan lagi.

Bismillah, Aku Memilihmu || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang