04

452 89 4
                                    

Rumah besar dengan nuansa klasik namun nampak minimalis, dengan cat putih yang menjadi dasar, rumah yang terlihat mencolok diantara rumah lainnya dengan nuansa Jepang. Jakurai berpikir bahwa keluarga sang gadis bukan dari keluarga biasa-biasa saja.

Jakurai keluar dari mobil yang ia kendarai, menatap rumah besar yang terlihat kosong, mendekat kearah gerbang, matanya menilik ke arah intercom yang terpasang.

"Tuan, ingin menemui siapa?" Suara serak khas pria paruh baya hinggap di indera pendengaran milik Jakurai, menoleh kearah belakang mendapati pria dengan kisaran umur diatas kepala lima.

"Apakah benar ini kediaman [Surname]?" Tanya Jakurai.

Pria paruh baya itu mengangguk sebagai balasan, matanya masih menatap Jakurai dengan tatapan bertanya.

"Namun sepertinya kosong, apakah mereka sedang pergi keluar?" Tanya Jakurai lagi.

Pria paruh baya itu menggeleng, "Mereka tidak pergi tuan, mereka sudah pindah," jelas Pria paruh baya itu.

"Hah?" Refleks Jakurai terkejut mendengar balasan.

Pindah? Jakurai tidak pernah sekalipun tahu akan hal itu, meski gadis muda itu memberi pesan teks setiap harinya tak pernah sekalipun gadis muda itu berbicara tentang kepindahannya.

"Sejak kapan, Paman?"

Pria paruh baya itu nampak berpikir, jarinya menyentuh dagu, "Hmm, sekitar tiga minggu yang lalu Tuan." Jelasnya lalu kembali menatap Jakurai.

"Lalu mengapa Paman datang kemari jika rumah ini kosong?"

"Saya yang bertugas membersihkan dan mengurus rumah ini, Tuan."

Jakurai mengangguk mendengar penjelasan dari pria baru baya itu.

"Mengapa mereka pindah, Paman?"

"Tuan memangnya tidak tahu?" Pria paruh baya balik bertanya.

Jakurai menggeleng balas dari pertanyaan pria paruh baya itu. Memangnya apa yang ia lewatkan?

Jakurai bisa melihat raut wajah pria paruh baya itu yang mulai mengendur membuat matanya agak meredup sambil menarik nafas berat, "Putri dari keluarga [Surname] sudah meninggal dunia kurang lebih satu bulan lalu, maka dari itu keluarga [Surname] berpindah rumah karena merasa terlalu sakit kehilangan putri semata wayangnya."

Deg!

Penuturan pria paruh baya itu membuat aliran darah Jakurai terhenti, bagaikan disambar petir disiang bolong yang terik Jakurai mendapati kabar yang bahkan Jakurai tidak bisa mencerna secara nalar.

Meninggal? Putri semata wayang? Gadis muda itu? Sebulan yang lalu?

Hah! Mana mungkin! Sebulan penuh ini saja gadis muda itu mengirimi ia pesan teks setiap harinya!

"Jangan bercanda, paman!" Gertak Jakurai giginya mulai bergelatuk menahan emosi.

Apa-apaan ini?! Apa maksudnya?! Apakah pria paruh baya di hadapannya sedang bercanda?!

Pak Tua itu menggeleng sambil melepas topi yang ia kenakan sejak tadi, "Saya sudah tidak muda lagi, saya sudah tidak memiliki selera humor seperti itu, Tuan. Putri keluarga [Surname] memiliki penyakit yang sudah dia derita semenjak kecil." Jelasnya.

Apa lagi?! Setelah mendapati gadis muda itu meninggal, Jakurai mendapat kabar lagi bahwa gadis itu memiliki penyakit?!

"M-memangnya penyakit apa yang di derita putri keluarga [Surname]?" Entah mengapa suara yang di keluarkan oleh Jakurai mulai bergetar.

"Saya tidak terlalu tahu menahu tetapi setiap minggunya pasti melakukan pemeriksaan,"

Jadi, selama ini setiap hari [Name]  mendatanginya saat jam istirahat [Name] juga melakukan pemeriksaan?!

Apakah takdir sedang bergurau padanya? Bagaimana mungkin?

Jakurai merasa bahwa dunianya berhenti bahkan ia merasa seakan tidak menapaki bumi. Langkahnya terasa begitu ringan.

"Terimakasih, paman." Ucap Jakurai sebelum kembali memasuki mobil hitam yang terparkir meninggalkan sisa-sisa serpihan di pekarangan rumah milik [Name].

*****

Remember Us This Way • Jakurai JingujiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang