Aku berjalan ke butik dengan tergesa-gesa. Aku lupa kalau hari ini harus meeting sama Fani salah satu penanggung jawab model yang ada di Introfood. Sekarang sudah menunjukan pukul 1 siang. Barusan aku habis keluar bersama Sherly untuk makan siang. Meeting dilaksanakan pukul setengah 1 di kantor Introfood langsung. Aku mendesah kesal. Kenapa aku sampai lupa membawa laptop disaat genting seperti ini.
Aku masuk ruangan lalu dengan cepat memasukan laptop ke tas. Setelah menitipkan butik ke Hana aku langsung memanggil taxi dan menyebutkan alamat kantor Introfood. Saat aku sampai dikantornya yaitu pukul setengah dua lebih 15 menit. Aku mendesah kesal melihat jalanan Jakarta yang sangat macet. Aku berjalan ke arah sofa tunggu. Aku tidak ingin berurusan dengan resepsionis lagi. Aku takut salah bersikap seperti waktu itu yang menyebabkan seseorang dipecat.
Fani datang dari arah lift. Aku memeluk dan meminta maaf. Fani mengajakku menaiki lift ke lantai 15. Ini pertama kalinya aku rapat di kantor Introfood karena ini salah satu project besar. Karena aku ingin menjelaskan konsep bajuku kepada petinggi-petinggi disini, jadi lah aku harus menyiapkan presentasi semalaman penuh. Beberapa karyawan menaiki lift karena kelihatannya mereka habis makan siang. Aku mundur sampai ke paling belakang. Saat lift ingin tertutup tiba-tiba lift terbuka kembali. Ada Ervan dan ketiga cowok berdiri disampingnya dan ada Rania yang sedang bergelayut manja di bahunya. Sialan.
Ervan terlihat tegang saat melihatku. Sepertinya Rania tidak melihatku. Atau memang pura-pura tidak melihatku? Ntahlah. Aku menggenggam tasku dengan keras. Aku emosi. Dasar cowok sialan.
"Lift platinumnya kapan dibenerin Van? Ngga capek apa desek-desekan gini?" Ujar salah satu cowok di depanku.
Aku mendengus. Hah dasar sombong. Sepertinya dia mendengar aku mendengus. Lalu aku pura-pura tidak melakukan apapun saat dia menolehkan kepalanya dengan tatapan tidak suka.
Rania masih memeluk lengan Ervan santai. Bahkan di depan karyawan pun Ervan tidak menolak? Hebat. Fani melirikku. Aku pura-pura bersikap normal. Jelas Fani akan heran melihatku. Karena kemarin jelas-jelas Fani melihat Ervan mencium keningku di depan butik.
Satu persatu karyawan yang ada di lift turun. Tidak lupa mereka menunduk kepada Ervan terlebih dahulu. Kami berhenti di lantai 15. Aku melihat Ervan turun dari lift bersama 3 teman cowok dan Rania yang akan kutekankan masih bergelayut manja di bahu Ervan.
Aku melihat Ervan dan ketiga temannya memasuki ruang meeting. Lalu aku melihat Rania memasuki sebuah ruangan. Yang kutebak itu adalah ruangan Ervan. Aku melihat semua adegan mereka tepat dibelakangnya. Rania yang mencium pipi Ervan dan ketiga cowok sampingnya. Aku membuang muka saat Rania mencium Ervan. Ntah kenapa aku tidak sanggup kalau harus melihat adegan itu. Walaupun hanya di pipi.
Saat aku memasuki ruang meeting bersama Fani. Aku melihat Ervan dan ketiga temannya sudah duduk. Lalu aku melihat ada dua orang perempuan yang sudah menunggu. Aku menyiapkan presentasiku. Aku merasa sedang ditelanjangi oleh Ervan melalui tatapannya. Aku tidak menatap Ervan sedikitpun. Aku kesal.
Aku memulai presentasiku dengan lancar. Sepertinya semua bisa menerima ideku dengam baik. Tetapi beberapa kali cowok yang berbicara di lift tadi terlihat tidak setuju. Tetapi aku tetap melanjutkan presentasiku. Karena nanti ada sesi tanya jawab. Aku menyelesaikan presentasiku dan menanyakan apakah ada yang ingin ditanyakan.
Aku melihat cowok tadi mengangkat tangan."emh. Sorry, tadi siapa nama kamu? Ai--"
"Aira." Itu suara Ervan.
"Oh ya Aira. Saya tidak setuju dengan beberapa baju yang ada disini. Salah satunya yang ada di slide 4. Apa tidak terlalu tertutup untuk ukuran model?"
Aku tersenyum. Dasar otak selangkangan."tidak. Saya rasa sudah cukup terbuka."
"Lagi pula. Kita kan ingin mempromosikannya di Singapore dan Malaysia. Kita tidak bisa naif. Disana bebas. Pakai bikini pun tidak masalah." Jawabnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ERVAN
Romance"Temani aku makan siang." Ervan menjalankan mobilnya keluar dari butik. "Aku masih pake sendal jepit. Tasku juga didalam. Berhentiin mobilnya." Ucapku dengan kesal. Ervan hanya diam dan tidak meladeni ucapanku. Wajahnya masih datar. "Ervan! Hei!" ...