Paginya Midam sebenarnya biasa saja. Bangun pukul empat pagi, dilanjut mandi, lalu merapikan ruangan, menyeduh teh hangat, lalu membangunkan Woong jika pagi itu adalah gilirannya memasak. Kalau tidak, maka ia yang turun tangan ke dapur untuk menyiapkan sarapan mereka berdua.
Midam suka masakan gaya barat yang simpel, jadi pagi ini ia membuat sandwich isi telur dan daging, lengkap dengan keju dan banyak saus. Sudah selesai menata meja, sekarang waktunya membangunkan Woong.
"Woong." ia mengguncang pelan tubuh kecil woong dari atas selimutnya. "Ayo bangun, sudah jam enam."
Untungnya Woong bukan tipe yang sulit bangun, ia segera menegakkan badannya begitu mendengar suara Midam.
"Selamat pagi." sapanya cerah. Mau tak mau Midam tersenyum kikuk karenanya.
Jangan terlalu manis, Woong, hatiku tak sekuat itu. Tangis Midam dalam hati.
"Sarapan sudah siap. Aku akan menunggu di meja, ya." ujarnya, lalu beranjak ke sisi kasurnya untuk merapikan tas.
Rutinitas sarapan mereka lebih banyak diisi Midam yang mendengarkan berupa-rupa cerita Woong, mulai dari dosen muda tampan sampai mahasiswa angkatan junior yang lucu, mulai dari pembahasan tentang lupa makan siang sampai acara makan malam fakultas, semua tak berhenti dikisahkan oleh Woong dengan antusias. Midam merespon secukupnya, tersenyum saat ceritanya lucu, lalu menanggapi dengan baik agar Woong tak merasa bicara sendiri.
Keduanya berpisah di awal hari, Midam menuju kafe dan Woong menuju halte bus yang mengarah ke kampusnya.
Kafe masih sepi saat Midam tiba. Baru ada Gukheon yang sedang mencuci sendok dan Wooseok yang mengelap meja. Ia menyapa keduanya sopan.
"Ada yang belum dikerjakan? Apa stok gudang sudah diperiksa?" tanyanya pada Gukheon.
"Kurasa belum." pemuda yang hanya beberapa bulan lebih tua dari Midam itu memasang wajah berpikir. "Tolong kau cek lagi, terima kasih."
Midam mengangguk. "Tentu saja."
Baru ia hendak beranjak ke bagian belakang dapur, sosok familiar yang sibuk melambai di depan pintu mengusik perhatiannya. Midam menoleh, lalu menarik napas panjang.
Tentu saja anak itu akan kembali setiap pagi, kenapa ia bisa lupa?
Midam berbelok dulu ke pintu depan, membuat fansnya itu tersenyum lebar-lebar.
"Terlalu pagi untuk segelas espresso panas, Seobin." ujar Midam dengan tangan tersilang di dada.
Yang disebut Seobin itu terkekeh. "Aku bangun terlalu cepat, jadi kuputuskan agar datang ke sini juga lebih cepat, mana tahu kakak sudah tiba, hehe."
Midam tersenyum tipis, senyum bisnis andalannya yang ia berikan pada semua pelanggan. "Masih lima belas menit sampai kafe buka. Diam saja di sana dan tunggu. Jangan masuk sembarangan." ia memberi instruksi.
Seobin memberikan hormat ala tentara, masih tak luntur juga senyumannya. "Siap, kak." Ia menghormat sampai Midam hilang di balik pintu staf.
Lima menit kemudian ketika ia kembali, Seobin sudah duduk manis di salah satu meja, matanya lekat pada buku paket di tangannya.
Midam melempar tatapan bertanya pada Byungchan, patissier kafe yang sepertinya baru datang. Pemuda itu mengangkat bahu.
"Dia bilang kau menyuruhnya menunggu di luar sampai buka, tapi aku kasihan, jadi kusuruh saja dia masuk. Tasnya kelihatan berat, tahu." Byungchan mencoba beralasan.
Midam mengabaikannya dengan angguka lelah dan kibasan tangan, lalu menggumamkan kata-kata tak jelas seperti merepotkan dan semacamnya meski kemudian ia membuatkan segelas espresso, pesanan reguler Seobin, berikut sepiring croissant bertabur coklat leleh.
"Bayar kopinya saja." ucap Midam acuh tak acuh. Seobin mendongak dari bukunya, entah terkejut karena Midam yang muncul tiba-tiba atau karena roti gratis di pagi hari.
"Benarkah?"
"Cepat habiskan atau kularang kau datang lagi." Midam berucap cepat-cepat.
Seobin memberikan jempol pada Midam meski tak dilihat karena ia keburu kembali ke belakang pantry untuk membantu Byungchan merapikan roti.
Namun Byungchan tentu masih seorang Byungchan yang gatal sekali lidahnya jika tak berkomentar sana-sini.
"Kurasa dia benar-benar naksir padamu." ocehnya. Midam tak peduli.
"Kau tak kasihan padanya? masih pagi malah disuruh berdiri di luar. Untung saja aku baik hati menawarinya masuk. Lihat? Ia belajar keras sekali, apa dia akan mengikuti ujian?"
Midam menepuk bahu Byungchan dengan lap meja di tangan. "Sudah selesai bicaranya? Tolong lap bagian depan etalase rotinya, oke?"
Byungchan memicingkan matanya, lalu menggeleng dramatis. "Ah, kau ini. Jago sekali mengalihkan pembicaraan. Iya, iya, aku akan membersihkannya, puas? Temani anak itu, sana! Kasihan aku padanya, mau ujian malah makan sendirian. Aduh, menyedihkan sekali jatuh cinta pada seorang Lee Midam." Ia mendecakkan lidahnya beberapa kali. Alisnya naik saat Midam malah mengambil nampan roti lain. "Apa yang kau lakukan?"
"Merapikan ini, kau tak lihat?"
"Aku yang akan melakukannya, biar semua aku yang mengerjakan. Temani anak itu kubilang!"
Midam mengangkat tangannya, menyerah. Byungchan yang berisik tak pernah baik untuk gendang telinga dan emosinya. Ia memutuskan untuk menurut saja menemani Seobin.
"Kenapa kakak duduk disini?" Tanyanya heran. "Memberiku kopi lain?" Matanya berbinar penuh harap, Midam mengandaskannya dengan gelengan.
"Aku duduk disini karena Byungchan yang menyuruh, jadi diam dan lanjutkan belajarmu, oke?"
Senyum Seobin tampak makin cerah. "Tentu. Aku makin konsentrasi belajar kalau ditemani kakak."
"Terserah, Seobin. Terserah."
Masih pagi tapi migrain Midam nyaris kambuh, diperparah dengan Byungchan di balik pantry yang kini melemparinya sinyal 'oke' dengan jari.
-------
TBC~
Maap saya hiatus dari JeonJung malah bikin book baru, sayang idenya kalo gak ditulis huhu
Di draf laptop padahal ada empat judul ff midam yang lain plus dua ff hyunsuk t13 ( adakah yang mau baca kalo saya publish? ) tapi saya malah bikin ini :"
Mohon dukungannya juga buat book yang satu ini, makasih banyak 😍😍😍😍😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Orphic - Lee Midam
FanfictionOrphic (adj.) Mysterious and entrancing, beyond ordinary entrancing. Midam jatuh cinta, namun tak berani bicara karena khawatir menyakiti seseorang yang juga menaruh rasa.