4. Keterlaluan

119 22 4
                                    











Bagi Seobin, Midam itu jahat.

Iya, jahat. Terlalu indah kan juga ada batasannya. Sepertinya Midam mau dirinya mati muda, tak habis-habisnya diberi konten yang membuat hati meleleh tidak keruan.

Senyuman tadi misalnya.  Seobin tahu senyuman itu memang bukan buat dirinya, melainkan ditujukan pada Woong, tapi tetap saja Seobin yang tertawa sendiri sampai nyaris gila rasanya.

Manis. Midam itu manis. Terlalu manis, malah.

Seobin belum mau diabetes di usia semuda ini.









Usai membawakan lima lagu, Midam dan Woong turun dari panggung, mengucap salam sopan dan berterimakasih dibalas dengan tepuk tangan meriah. Seobin memberi isyarat agar Midam duduk di mejanya. Karena kafe lumayan penuh dan tak banyak meja tersisa, Midam mengiyakan.

Dengan acuh Seobin menggeser bukunya ke pojok meja demi memberi tempat untuk tiga gelas jus buah dan beberapa camilan yang baru dibawakan Gukheon untuk mereka.  Midam mendelik galak.

"Hati-hati dengan bukumu." Ujarnya. Seobin mengangkat bahu tak acuh.

"Apa sehabis ini kakak ada janji?" Ia malah mengubah topik.

Yang ditanya mengangkat bahu. "Aku mau pulang dan cepat-cepat istirahat. Kenapa?"

Alis Seobin terangkat disertai tarikan napas kecewa. "Hanya bertanya. Niatnya aku hendak mengajak kakak night ride, tapi batalkan saja kalau kakak lelah."

Kedengerannya menyenangkan, menurut Midam. Angin malam selalu membuatnya merasa bebas dan berhenti memikirkan hal-hal yang tak penting.

"Ikut saja." Woong yang memberi jawaban. Sepertinya ia kasihan melihat wajah memelas Seobin.

Sontak Seobin melonjak senang. "Tak apa? Kak Woong memberinya ijin? Kalau begitu, sehabis makan kita pergi, oke?" Kalimat terakhirnya ditujukan pada Midam.

Midam tak bisa menolak. "Oke, terserah." Tapi ia mengalihkan pandangan pada Woong. "Kau tak mengapa pulang sendirian?"

"Eeey, tentu saja! Kau pikir aku bayi? Nikmati saja malam kalian, oke?" Ia memberi senggolan akrab pada Midam.

Seobin pura-pura menghormat. "Jangan khawatir, Tuan. Saya akan mengembalikan Kak Midam dalam keadaan selamat."

Midam menelan senyumannya sementara Woong tertawa. "Habiskan makananmu." Ucapnya cepat-cepat.

Alis Seobin mengkerut. "Apakah dia biasanya semembosankan ini? Semuanya harus buru-buru dan tepat waktu. Sangat tidak menyenangkan." Ia berbisik keras pada Woong seolah Midam tak ada di sana.

"Biarkan saja." Woong malah meladeni permainan anak itu. "Pengaturan otaknya memang agak kaku."

Seobin menghela napas, raut wajahnya serius. "Haruskah aku meregangkan bautnya sedikit? Dia benar-benar terasa seperti robot saja."

Woong mengangguk khidmat. "Silakan. Kupercayakan dia padamu."

Midam menggelengkan kepalanya lelah. "Wooseok, mulai besok ayo kita sajikan soju sekalian. Kurasa kafe ini mulai diisi oleh orang-orang yang ingin mabuk."

Wooseok yang barusan lewat dengan setumpuk piring kotor sampai berhenti sejenak.

"Apa?"

______



Seobin tak bohong. Ia benar-benar membawa Midam berkeliling di jalanan kota yang tak begitu padat, mampir di warung pinggir jalan untuk membeli beberapa botol soju dan tteokbokki, lalu kembali menyetir sampai ke sisi Sungai Han.

Mereka duduk di kap depan mobil ditemani lagu-lagu random dari radio yang sayup ditelan angin, botol soju di tangan sudah separuh kosong. Seobin malah yang sudah nyaris mabuk, bicaranya meracau kemana-mana. Dasar anak baru legal, dengus Midam dalam hati.

"Kau tahu, kak." Ocehnya, tangannya menunjuk langit yang lumayan cerah. "Aku kalau melihatmu, rasanya seperti melihat bintang disana. Jauh sekali, tak tanggung-tanggung."

Midam meneguk sojunya lagi, tak acuh.

"Kak," panggil Seobin sembari menggeser posisinya agar bisa memaksa Midam menyandarkan kepala padanya. "Kakak tahu aku sayang kakak, kan?"

"Mmm." Midam menjawab dengan dengungan alakadarnya.

"Kenapa kakak tak pernah membalas perasaanku? Padahal aku setulus ini, tahu? Apa aku kurang sesuatu?"

Susah payah Midam menahan tawa. Pemuda ini kalau mabuk memang tak pernah waras rupanya.

"Kak." Ia memanggil lagi. "Kakak itu tercipta dengan begitu indah, tapi jangan keterlaluan." Kini wajahnya menghadap Midam. "Aku, kalau sudah jatuh cinta, seringkali tak kira-kira."

Dilemparkannya botol soju yang sudah kosong ke tempat sampah terdekat, yang di luar dugaan, masuk dengan tepat. Ia kembali berusaha memfokuskan atensi pada pemuda yang lebih tua.

"Apa aku terlalu muda untukmu? Apa aku tampak seperti anak kecil? Apa aku," wajahnya sudah sejarak lima jari saja dengan wajah Midam, yang menghindar dengan meneguk lagi minumannya. "Apa aku kurang pantas denganmu?"

"Bukan begitu, Seo-"

"Maafkan aku."

Bibir Seobin menempel begitu saja tepat ke bibir Midam, yang saking terkejutnya sampai tak bisa merespon.

Tangan Seobin menarik tengkuk Midam menuju ciuman yang lebih dalam, dan tanpa sadar Midam menjatuhkan botolnya, turut terhanyut dalam euforia, ia memeluk punggung Seobin erat-erat untuk menahan agar dirinya tak terjatuh ke kap mobil.

Seobin menarik diri saat paru-parunya memaksa untuk berhenti. Dahinya masih bersandar ke dahi Midam, matanya terpejam, sibuk mengatur napasnya yang nyaris habis, namun tangannya masih bisa menahan bahu Midam yang hendak melepas diri dari kungkungannya.

"Jangan pergi." suara Seobin terasa begitu sadar, menyiratkan luka dan penuh permohonan. Midam bisa saja mengira ia hampir menangis. "Jangan pergi, kak. Fokus padaku sekali ini saja." ia membuka mata, ada jejak airmata di sana. Midam tak kuasa melawan. Pun ia tak menjawab.

"Kiss me again." bisik Seobin, parau. "Please."

Rasa bersalah menyelimuti Midam. Hatinya tak pernah ada untuk Seobin. Tapi disini, di bawah langit yang sepi, ia mencium pemuda itu seolah tak ada hari esok, membiarkan Seobin mencengkeram rambutnya, menerima bisikan penuh pujian darinya, begitu terlarut sampai ia merasakan tetesan hangat di pipinya.

Seobin menangis. Karena Midam. 

Sekarang Midam merasa ia benar-benar sudah jahat pada pemuda Yoon ini.








Tbc----

Kolom menghujat saya :



Orphic - Lee MidamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang