Part 5

1.3K 134 8
                                    

Malam ini, angin bertiup lebih kencang. Menghembuskan udara dingin yang menusuk hingga tulang. Terkadang, angin menghempas jendela. Menimbulkan bunyi yang cukup aneh dan seram. Seperti ada tangan manusia yang memukulnya perlahan.

Aku masih mematung di depan cermin. Sejak tadi, mataku tak mampu terpejam. Memikirkan masa depan yang sepertinya akan suram.

'Siapakah yang akan masuk dalam perangkap, aku atau Pak Alex?'

Batinku bergemuruh. Membayangkan masa depan yang mengerikan. Sekiranya aku benar-benar menikah dengan Pak Alex, entah bagaimana nasibku.

Dadaku semakin berdebar saat ku lihat jendela kamarku berguncang. Aku segera mengambil pisau kecil dan melangkah perlahan.

Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Aku tertegun. Bunyi itu menghilang. Walau angin masih berhembus kencang.

Aku harus waspada. Bisa saja Pak Alex datang malam-malam begini. Tentu ia punya alasan kuat untuk menemui calon istrinya. Sehingga orang-orang tidak akan menaruh curiga padanya. Pak Alex memang licik.

Aku mendekatkan telinga hampir menyentuh jendela. Terdengar suara bisikan lirih, hampir tak terdengar.

"Al-haqqu min Rabbika."

Mataku membulat. Tangan kananku segera membuka kunci jendela. Sosok berpakaian hitam menerobos masuk ke dalam kamarku.

Kami duduk berhadapan dengan napas yang sama-sama terengah. Lidahku tiba-tiba kelu, ketika sosok itu membuka penutup wajahnya. Air mataku mengalir tak terbendung.

"Ru ... Rum?"

Ia tersenyum. "Allena, aku tidak punya banyak waktu. Kemarilah!"

Aku mengikutinya, setelah memastikan jendela dan pintu sudah tertutup rapat.

Kami duduk di pojokan kamar dengan jarak cukup dekat.

"Allena, apa kau sudah berhasil mengambil sertifikat itu?"

Kepalaku menunduk, lalu menggeleng lemah. "Rum, maafkan aku. Seperti biasa, kecemasanku telah menggagalkan semua rencanaku. Sejak kecil, selalu saja begitu."

Rumi menghela napas. "Sudahlah, tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Sekarang saatnya menghilangkan kecemasan itu, Allena. Yakinlah, tidak akan menimpa kita melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kita. Sebaliknya, yang telah ditakdirkan untuk kita, pasti menimpa kita, walau kita tidak suka."

Aku tertegun, mencoba mencerna setiap kalimat Rumi.

Mata Rumi menerawang. "Rasa cemas telah menelan jutaan korban pada Perang Dunia II. Ratusan ribu tentara Amerika dan dua juta warga sipil terbunuh dalam waktu bersamaan. Mereka terserang penyakit jantung akibat rasa cemas dan gangguan saraf. Sungguh, rasa cemas menjadi pembunuh nomor satu kala itu."

Dadaku terasa perih mendengarnya. Sejak kecil, aku memang sulit mengendalikan rasa cemas. Tubuhku sering lemas dengan keringat mengalir di sekujur badan.

"Allena, apa kau tahu apa yang terjadi sebelum Perang Badar?"

Aku menggeleng.

"Sebelum perang dimulai, pasukan muslim berada dalam kondisi tidak menguntungkan. Mereka bernaung di lembah kering tak berair sedangkan musuh berada dekat dengan mata air. Pasukan muslim mengalami kecemasan luar biasa, ketika setan membisikan tipu dayanya. Sehingga malam itu Allah menjadikkan pasukan muslim mengantuk dan tertidur pulas, untuk menghilangkan kecemasan. Lalu diturunkan pula hujan deras untuk memenuhi kebutuhan air."

The Dark VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang