Aku berusaha menggerakkan tangan yang terasa sangat lemah. Kuraba apa saja yang ada di dekatku. Hingga sebuah ranting pohon berhasil kugapai.
Kupejamkan mata sejenak. 'Ya Rabb, hamba takut. Tolong hamba yang lemah ini.'
Kucoba menggeser tubuhku. Tiba-tiba kekuatanku sedikit pulih. Aku berhasil membalikkan badan.
"Siapa kau?" Kutatap dengan tajam sosok di hadapanku.
Sosok itu terdiam menatapku. Semilir angin menyingkap penutup wajahnya. Dengan cepat ia kembali menutupnya. Kulihat sekilas, ia seorang perempuan.
Kuberanikan untuk bangkit, dengan tubuh terhuyung. Kalimat Rumi seolah kembali terngiang. "Mereka tidak akan berani membunuh kita. Mereka hanya ingin menakuti, hingga kita mati karena ketakutan kita sendiri."
Perempuan itu mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Sebuah pisau belati diarahkan padaku. Tubuhku gemetar, tapi aku harus bisa mengendalikan diri.
"Aku tidak takut!" ucapku dengan keras.
Perempuan itu tertegun. Ia menatapku dengan tajam. Sorot matanya penuh kebencian.
"Aku tidak takut pada kalian! Ingat, aku berada dalam perlindungan Allah. Jika aku mati, aku tetap mulia di surga sana. Jika aku masih hidup, aku akan menghancurkan kalian hingga akarnya tercabut!"
Aku meraih sebuah tanaman kecil lalu mencabutnya. "Seperti ini! Bukankah pendahulu kalian pernah mengatakan, kalau pohon belum tercabut dari akarnya, ia masih bisa hidup? Seperti kalian yang hanya dibasmi dari permukaan. Akar kalian masih bisa menumbuhkan tanaman. Sebuah pohon yang buruk! Pohon yang ingin menghancurkan pohon yan baik!"
Kuasa Allah, yang telah membimbingku mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan lancar. Sungguh, keberanian Rumi seolah sedang menjelma dalam diriku.
Perempuan itu mundur perlahan. Ia masih mengacungkan pisau belatinya. Kurasa, ada sorot ketakutan dalam matanya.
Aku pun melangkah dengan berani. "Kemarilah, bukankah kau ingin menangkapku? Atau kau hanya ingin menakuti seorang gadis lemah dan penakut?!"
Tiba-tiba hatiku berdesir. Mataku terasa panas. Kejahatan selalu memanfaatkan orang-orang yang lemah sepertiku. Maka, aku tak boleh kalah dengan karakterku sendiri. Aku tak boleh pasrah dengan keadaan. Aku harus bangkit untuk membela kebenaran.
"Ayo, tangkap aku! Atau aku yang akan menangkapmu!" cecarku.
Perempuan itu kembali mundur. Tubuhnya sedikit tak seimbang. Sepertinya ia memang ketakutan.
"Kemarilah! Aku akan memberikan pilihan, mau ke surga atau ke neraka!" Langkahku semakin berani mendekati perempuan itu.
Tanpa kusangka, ia berbalik arah. Lalu berlari dengan kencang.
"Hey, tunggu!"
Kukejar sosok misterius itu. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, tubuhku terus berlari sekuat tenaga.
Tiba-tiba, langkahku terhenti. Kulihat Samsul sedang berdiri di tepian jurang. Ia tak bergerak sedikit pun. Tatapannya menerawang jauh ke depan.
Aku mendekatinya dengan perlahan. Kupastikan, ia tak merasakan kehadiranku. Sepertinya, Samsul dalam keadaan tertekan. Seperti waktu itu, ketika ia ditemukan di tengah hutan dalam keadaan mengenaskan.
Aku sengaja mengejarnya. Aku takut ia kembali mencoba bunuh diri seperti dulu. Tadi, kulihat sorot matanya penuh kesedihan lalu ia meminta maaf padaku. Tanda-tanda ini yang tetap kuingat. Itulah sosok Samsul yang sesungguhnya. Ia selalu santun dan penuh keikhlasan. Sebelum ada yang memperdaya dirinya hingga bersikap angkuh pada kebenaran.
"Aku tahu kau mengejarku, Allena!" ucap Samsul dengan pelan.
Aku terperangah. Lalu dengan pelan keluar dari balik semak. Lidahku kelu, aku hanya bisa terdiam membisu.
"Aku tahu, kalian ingin menyelamatkanku. Aku tahu, kalian masih mengharapkanku kembali. Tapi, aku tak bisa melakukannya, Allena. Ini demi kebaikan kalian semua ...."
Tiba-tiba, mataku berkaca-kaca. Perjuangan ini memang butuh pengorbanan. Kadang, ada orang yang harus mengorbankan dirinya.
"Kumohon, jangan mendekat, Allena! Pilihanku hanya dua, terjun ke dalam jurang atau meledak di sini!"
Tubuhku gemetar. Dadaku terasa sangat sesak. Aku tak bisa berpikir dengan jernih. 'Apa yang harus aku lakukan?'
"Semua informasi ada padaku. Tentang kalian dan juga tentang mereka. Semua menginginkan informasi dariku. Maka, mereka memintaku memilih menyerahkan kalian atau orangtuaku yang akan binasa. Pilihan yang sangat sulit, Allena! Maafkan aku karena pernah menyekapmu ...."
Air mataku menetes. Membasahi bibirku yang bergetar hebat. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Allena, aku tak akan memilih keduanya. Aku lebih memilih membinasakan diriku sendiri."
Aku menggeser kakiku. Berusaha melangkah walau terasa sangat susah. "Ja ... jangan lakukan itu, Sam! Kumohon, agama kita melarangnya."
Samsul menghela napas. "Aku memang dalam keadaan yang sulit, Allena. Antara menbunuh atau terbunuh. Aku hanya bisa memohon ampun kepada Allah atas perbuatanku ini."
Aku mencoba melangkah lagi. "Kumohon, jangan melakukan apapun, Sam! Insya Allah masih ada jalan keluar."
Samsul menggeleng. "Tidak ada, Allena. Mereka tetap akan mengejarku seumur hidup. Lalu akan banyak korban berjatuhan."
"Sam, kau tidak berjuang sendirian. Kami akan berusaha membantumu." Suaraku bergetar.
Samsul melangkah, hingga sampai di tepi paling curam. Jika bergeser sedikit saja, ia bisa terjatuh ke dalam jurang.
"Allena, pergilah! Setelah ini, kau bisa melanjutkan perjuangan dengan aman. Biarlah, aku berjuang dengan caraku."
Aku berusaha berpikir. Tidak mungkin aku berteriak. Anak buah Pak Lurah pasti ada disekitar sini. Aku pun tak mungkin kembali ke perkemahan untuk meminta bantuan. Waktu yang dibutuhkan pasti cukup lama.
"Allena, selamat tinggal. Tetaplah berjuang bersama Rumi!"
Tiba-tiba tubuh Samsul terhempas. Lalu menghilang seketika.
"Samsuuul!" jeritku dengan pedih.
Kuseret kakiku ke tepian jurang. Aku tak bisa melihat apa-apa. Semua terlihat gelap.
'Aku yakin, Samsul tak mungkin melakukan ini. Mungkinkah ini hanya siasatnya agar terlepas dari ancaman mereka? Tapi, ke mana Samsul pergi?'Tiba-tiba, jantungku berdetak lebih cepat. Ada derap langkah yang semakin mendekat. Sepertinya, jumlahya cukup banyak. 'Siapa mereka?'
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark Village
Mystery / ThrillerAlhamdulillah sudah terbit dan Best Seller. Silakan cek ig @amirah_hanif 😇