Part 19

1K 149 9
                                    

"Kak Allena?"

Aku membalikkan badan. Kulihat Nimas dan beberapa remaja menghampiriku.

"Kak Allena tidak apa-apa, 'kan?" ucap Nimas dengan cemas.

Aku mengangguk. Lalu mencoba melangkah menjauhi ujung jurang. Nimas merangkul pundakku, lalu membawaku ke bawah pohon.

"Duduk di sini dulu, Kak." Nimas duduk di atas rerumputan yang basah.

Aku mengangguk lalu duduk dengan pelan. Tiba-tiba aku tertegun. "Di mana Pak Iman?"

Semua saling bertatapan. Cukup lama mereka masih terdiam. Sepertinya mereka sedang kebingungan.

"Kami juga tidak tahu, Kak. Tidak lama setelah Kak Allena menghilang, Kak Iman juga hilang." Nimas menunduk dengan sedih.

Aku terperangah. "Kita harus segera mencari Pak Iman! Ayo, kita tidak punya banyak waktu!"

Aku segera bangkit dan maraih sebuah ranting pohon yang sudah kering. Nimas dan teman-temannya kebingungan menatapku.

"Bawa apa saja yang bisa dijadikan senjata. Aku khawatir ada binatang buas di tengah perjalanan nanti." Ku genggam ranting pohon dengan kuat.

"Tapi, Kak ... ke mana kita akan mencari Kak Iman? Bukankah sangat berbahaya kalau kita mencari ke dalam hutan? Bagaimana kalau kita kembali ke tenda saja?" ucap salah seorang dari mereka.

Nimas berjalan mendekat. "Kak Allena, sepertinya kita kembali ke tenda saja. Kalau Kak Iman belum ditemukan juga, kita bisa meminta bantuan penduduk desa. Cukup berbahaya kalau kita memaksakan diri, Kak."

Kepalaku menggeleng. Bayangan Samsul yang terjun ke dalam jurang masih sangat jelas di benakku. Aku takut Pak Iman mengalami hal serupa.

'Siapa lagi yang nanti akan membantuku berjuang? Mungkinkah nanti tinggal tersisa aku sendiri di desa ini?'

Kutatap satu persatu wajah yang cemas di depanku. "Baiklah, kalian kembali saja ke perkemahan! Aku akan mencari Pak Iman seorang diri!"

Kulangkahkan kaki dengan cepat. Menyusuri rerumputan liar dan batang-batang pohon.

"Kak Allena, tunggu!" teriak Nimas.

Aku berhenti sejenak.

"Kami ikut, Kak! Kami pun akan mencari Kak Iman."

Aku mengangguk lalu meminta mereka mengikuti langkahku. Entah keberanian dari mana, aku seolah yakin bisa menemukan Pak Iman. Aku memang harus menemukannya, sebagai seorang kawan dalam perjuangan. Aku tak mungkin membiarkannya binasa begitu saja.

"Kak Allena, sepertinya kita semakin jauh memasuki hutan. Malam pun semakin larut. Ini sangat berbahaya. Bagaimana kalau kami mencari bantuan terlebih dahulu? Kak Allena dan Kak Nimas menunggu dulu di sini." Seorang remaja menatapku dengan cemas.

Kulihat sekeliling, samar terlihat pohon-pohon besar dari pantulan cahaya senter. Tanah terasa semakin lembab dan basah. Sesekali terdengar suara gerimis menimpa dedaunan.

"Baiklah, kalian kembali ke perkemahan. Kabari yang lain kalau kami ada di sini!" ucapku dengan tegas.

Mereka mengangguk. "Bawa senter ini, Kak!"

Aku menerimanya dengan cepat. Tak lama, mereka telah pergi meninggalkan kami. Aku pun membalikkan badan, berusaha mencari dahan pohon untuk duduk.

"Kak, dingin sekali," ucap Nimas dengan pelan.

Kuhampiri Nimas yang sedang bersandar pada batang pohon. Tubuhnya menggigil dan dingin.

"Nimas, bertahan ya!" Kuusap telapak tangan Nimas supaya lebih hangat.

The Dark VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang