Part 22

1.2K 139 14
                                    

"Allena, tugasmu sekarang mendekati Bu RT. Pastikan, Bu RT berada di pihak kita!"

Aku tertegun. Masih lekat dalam ingatan ketika Bu RT menghadangku dengan sebilah parang. Ia bukan musuh sembarangan. Papih Darma pasti melindunginya dan tak akan membiarkanku mendekati anak buahnya.

“Allena, jangan takut!” Rumi menepuk pundakku.

Aku terperanjat.

“Fitrah manusia adalah taat kepada Allah. Tugas kita hanya menyentuh nuraninya agar ia kembali kepada fitrahnya semula. Sejauh apa pun ia berlari dari Allah, jika Allah berkehendak mengembalikan pada fitrahnya, ia tetap akan kembali. Syaratnya, ia pun harus menghendakinya. Maka, tugas kita hanya mengajak mereka agar bersedia patuh pada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Tanpa ada paksaan sedikit pun.”

Aku hanya bisa mengangguk dengan pelan.

“Bergeraklah dengan rasa kasih dan sayang seperti Rasulullah dulu. Sehingga seberat apapun perjuangannmu tak akan pernah menjadi beban. Yakinlah, Allah menurunkan Alquran bukan untuk menyusahkan manusia.”

Kudekap pundak Rumi sambil terus saja terisak. Tubuhku gemetar setiap kali teringat bagaimana Rasulullah melaksanakan amanah dari Allah. Tak ada penyesalan dan keluhan, hanya ada rasa syukur dan ketaatan.

***

Sejak tadi, aku mengawasi Ibu dari balik pintu. Ibu sedang sibuk menyiapkan konsumsi untuk pengajian ibu-ibu sore ini. Kucoba menyiapkan kalimat yang pantas untuk disampaikan kepada Ibu bahwa aku ingin ikut pengajian. Selama ini, Ibu tak pernah mengajakku karena pengajian itu dikhususkan untuk ibu-ibu.

Aku melangkahkan kaki dengan ragu-ragu. Dadaku berdegup lebih cepat, seolah sedang menghadapi masalah besar. Aku takut Ibu mencurigai niatku untuk ikut pengajian.

“Bu, Allena bantu ya?” Akhirnya keluar juga kalimat pertama yang sejak tadi kutahan.

“Boleh, Nak. Terima kasih ya!” Ibu tersenyum dengan bahagia.

Aku pun mulai memasukkan makanan ke dalam kotak. Namun, otakku terus memikirkan kalimat berikutnya untuk disampaikan kepada Ibu.

“Oh, iya Bu. Nanti Allena saja yang mengantar makanan ini ke masjid ya.”

Ibu menoleh. “Sudah ada ibu-ibu yang bertugas membawa makanan ini, Nak. Tak perlu repot-repot.”

Napasku tertahan sejenak lalu berembus dengan pelan. Entah apalagi yang akan kujadikan alasan agar aku bisa mengikuti pengajian. Supaya aku bisa mendekati Bu RT dan akrab dengannya.

“Bu, pengajiannya khusus ibu-ibu ya?”

Ibu tertegun sejenak. Seprtinya, Ibu mulai mencurigai gelagatku. Pertanyaan yang sangat aneh karena sejak kecil aku sudah tahu kalau itu pengajian khusus ibu-ibu.

“Mau ikut, Nak?”

Aku pun tersenyum malu-malu.

“Wah, anak ibu mau mencari calon mertua?” Mata Ibu berbinar.

Benar saja, ibu mencurigai niatku mengikuti pengajian. Sebenarnya aku tak suka berada dalam kondisi seperti ini. Namun, demi misi perjuangan aku pun mengalah.

“Iya, Bu. Barangkali ada ibu-ibu yang memiliki anak soleh dan baik hati, ‘kan?” Rasanya ingin memuntahkan semua isi perutku. Aku merasa jijik dengan kalimatku sendiri.

Ibu tertawa, lalu memintaku untuk segera berganti pakaian. Aku pun segera berlari ke arah kamar dengan bahagia. Ternyata, untuk mencapai sesuatu, kadang kita harus mengalah dulu.

***

“Ayo ibu-ibu, kita selawatan dulu!” tegas Bu RT melalui mikrofon.

Ibu-ibu pun kompak berselawat dengan semangat. Kutatap satu per satu ibu-ibu paruh baya yang terlihat begitu syahdu melantunkan selawat. Aku bahagia melihatnya. Di usia senjanya, mereka tetap melakukan kegiatan positif.

“Alhamdulillah, Bu Ustazah sudah datang. Jadi, dipersilakan kepada Bu Ustazah untuk menyampaikan ilmunya.” Senyum Bu RT merekah.

Kutatap wajah Bu RT dengan penuh kedamaian. Walau masih ada sedikit kekesalan, tapi aku telah memaafkannya. Semoga Bu RT tak pernah melakukan kejahatan lagi.

Hampir satu jam aku bersama ibu-ibu mendengarkan ceramah. Kulihat ada pemandangan yang sangat indah. Walau kantuk sering menyerang, ibu-ibu tetap semangat mencatat dan menyimak dengan baik.

Tak terasa, pengajian telah selesai. Ibu-ibu pun saling berpamitan. Aku berdiri untuk menyalami ibu-ibu yang akan segera pulang. Tatapanku tak berpaling dari wajah Bu RT. Aku harus berhasil melakukan pendekatan padanya.

“Bu RT tas nya berat ya? Allena bawakan ya, sampai rumah Bu RT.”

Bu RT sempat terkejut karena baru menyadari kehadiranku.

“Oh, Neng Allena ikut pengajian?”

Aku hanya tersenyum.

“Duh, jadi tidak enak dibawakan tasnya.” Bu RT tersenyum malu.

“Tidak apa-apa, Bu. Allena sedang luang, kok.”

Akhinya, Bu RT mengizinkanku untuk membawakan tasnya. Sepanjang perjalanan, Bu RT bercerita tentang pengajian remaja yang sudah jarang dilakukan. Bu RT sangat berharap aku bisa menggerakkan kembali para pemuda di desa ini.

Hatiku seperti menemukan kesejukan pada setiap kata yang Bu RT ucapkan. Tak ada nada-nada kekesalan ataupun amarah dalam kalimatnya. Sikapnya sangat berbeda dengan malam itu ketika Bu RT menghadangku.

“Tas nya diletakkan di sana saja ya, Neng. Ibu mau ke belakang sebentar.” Bu RT melangkah ke arah dapur. Sepertinya, mau membuatkan minuman untukku.

Aku pun meletakkan tas di atas sofa. Lalu duduk dengan nyaman sambil memerhatikan foto keluarga yang menempel di dinding. Kemudian, mengitari bunga hias yang terpanjang di atas meja.

Tiba-tiba, kudengar suara azan magrib dari kejauhan. Aku pun segera berdiri untuk berpamitan dengan Bu RT. Kulangkahkan kaki menuju dapur untuk menemui Bu RT.

Langkahku terhenti seketika. Kudengar suara aneh ketika melewati sebuah kamar. Aku pun mendekati pintu kamar itu.

“Tolong! Kumohon tolong aku!” bisik suara itu.

Mataku membulat. Ada seseorang di dalam kamar itu. Sepertinya sedang dalam bahaya. Dadaku bergemuruh, kecemasan mulai menguasaiku. Aku takut Bu RT kembali melakukan kejahatan.

“Neng Allena?”

Aku pun terperangah. Bu RT telah berdiri di sampingku.

***

Assalamualaikum pembaca setia Allena dan Rumi. terima kasih sudah setia menunggu. Jangan lupa berselawat kepada Nabi Muhammad, yang perjuangannya tak dapat dibandingkan dengan siapa pun.

Mohon bantu share yaa😘

The Dark VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang