Dia dan Kotaku

1.1K 28 2
                                    

Author : Vei_la

Daftar tempat yang harus disurvei:
  1. Kota Lama,
  2. Masjid Agung Jawa Tengah,
  3. Semawis,
  4. Museum Ronggowarsito,
  5. Lereng Kelir,
  6. Celosia.

“Itu daftar tempat yang harus kamu survei, dua minggu lagi laporin hasilnya ke aku. Oh, iya, akan ada cowok yang bantu kamu. Sebenarnya sih dia yang jadi koordinator humas, tapi karena dia bukan orang Semarang, jadi kamu yang harus ngarahin. Semangat, ya,” ucap Mawar yang langsung pergi begitu saja setelah memerintahku.

    Aku mengutuk diriku hari ini, mengapa mau-mau saja masuk ke dalam kepanitiaan hanya karena Madi menjanjikan zona baru untukku. Selama ini aku merasa nyaman menjadi diriku sendiri, meski tidak memiliki teman banyak dan dikenal.

  “Syafa?”

  Aku memandang bingung laki-laki yang tiba-tiba muncul di depanku. “Iya. Siapa, ya?” 

   Laki-laki itu tersenyum. “Aku Nurand, koordinator humas di acara Nyumpelna. Langsung saja, besok Minggu kita mulai survei. Bisa, 'kan?”

  Mataku melotot, dengan seenak gigi laki-laki bernama Nurand ini menyuruhku survei, tanpa melakukan musyarah denganku.

   “Kok diem aja? Punya telinga, ‘kan? Aku enggak mau terima alasan, ya. Jangan jadi orang lemah,” ucap Nurand lagi yang membuatku semakin ingin mengundurkan diri dari acara Nyumpelna.

  Ini kali pertama aku bertemu dengan Nurand, tetapi cukup membuatku mengerti seperti apa dia. Laki-laki menyebalkan yang sok berkuasa dan suka semaunya sendiri

   Aku tidak ingin membuat masalah, langsung saja kuiyakan apa yang dikatakan Nurand. Setelah itu, Nurand pergi tanpa mengucap apa pun. Benar-benar menyebalkan. Datang tidak diundang, pergi tanpa pamit. Dasar Jelangkung.

    "Syafa cintaku. Tak goleki neng ndi-ndi, jebul kowe neng kene.”
    (Aku cari ke mana-mana, ternyata kamu di sini.)

     Mataku melirik ke pemilik suara khas Jawa itu. Madi. Aku seperti ingin mencekiknya jika mengingat dialah yang menyebabkan bertemunya aku dengan orang-orang menyebalkan hari ini.

     “Yuk, pulang.” Aku menarik tangannya dengan kasar.

     “Eh, pulang? Makan dulu kali, Pengin bandeng presto sama lunpia nih."

  “Emoh! Sirahku mumet. Goro-goro kowe, aku kudu melu kepanitiaan seng rak tak senengi. Aku meh metu wae, lah!” ucapku yang sudah kehilangan kesabaran.
   (Enggak mau! Kepalaku pusing. Gara-gara kamu, aku harus ikut kepanitiaan yang enggak aku suka. Aku mau keluar aja!)

  “Heh, sembarangan! Ojo ngono tho. Dadike iki pengalamanmu, kowe rak bakal ngerti rasane nek durung jajal. Semangat, Sayang,” ucap Madi menyemangati.
   (Heh, Sembarangan! Jangan gitu dong. Jadiin ini pengalamanmu, kamu enggak akan mengerti rasanya kalo belum mencoba.)

  Seolah tidak peduli dengan perkataannya, aku melengos begitu saja. Madi memang sahabatku, tetapi bercerita dengannya tidak pernah membuatku merasa lebih baik. Selalu saja Madi menyuruhku semangat dalam menjalani hal yang tidak aku suka.

                                   *****

   “Maaf telat.”

      Rasanya kesal ketika dia mengatakan hal itu. Waktu sudah hampir pukul sembilan pagi, tetapi Nurand baru saja menampakkan batang hidungnya. Padahal dia sendiri yang memintaku datang tepat pukul tujuh.

   “Makanya kalo enggak bisa bangun pagi, enggak perlu sok-sokan ajak kumpul pagi. Buang-buang waktu aja tahu,” kataku melampiaskan kekesalan. Segera kupakai helmku dan naik ke motornya.

Cerpen INDONESIA kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang