Cerita oleh Fiikoo
"Ha, yang bener aja!" seru seorang cewek yang belum percaya pada tulisan di kolom samping nama "Linda Fidelia" tertera. Kemudian, disertai tatapan kesal. "Ih, Bu Donna gimana, sih?! Gue kan kemarin ngisinya bersedia ditempatin di Jakarta atau Surabaya. Kenapa malah jadi di Solo, sih?! Mana bareng sama Ragil."Salah seorang teman yang sedang duduk bersama membicarakan lembaran kertas berisi pembagian tempat praktik kerja industri tergelak; sementara satunya hanya menahan geli. Pasalnya, mereka tahu bagaimana hubungan kedua makhluk beda gender tersebut--pernah dekat sebelum akhirnya merenggang seperti sekarang.
"Jahat banget lo ketawa," tukas cewek berambut kuncir dua rendah itu.
Beberapa detik Melia tidak menghiraukan, lalu berujar, "Eh, ya udah, sih, terima aja!"
"Percuma dong, kita kemarin ngisi pengajuan tempat prakerin kalau ujung-ujungnya gini. Sebeeel!" Linda mendaratkan dahi di meja. Kedua tangannya memukul-mukul properti kayu bercat cokelat itu.
"Yaa kan sebelumnya udah dibilangin kalau itu cuma buat pertimbangan aja," timpal Ganis yang duduk di depan mereka.
Linda mengangkat kepala dengan wajah menekuk. "Tapi kenapa harus di Jawa, sih?!"
Melia menyikut lengan kanan sahabatnya itu. "Kenapa lo enggak mau di Jawa? Di sana enak tau; udaranya masih bersih, enggak kayak di sini."
Linda menegakkan badan, lalu menghadap Melia. "Ih! Di sana emang ada apaan? Ke mal pasti susah."
"Eh, Neng, lo jangan salah! Di sana tuh udah ada mal. Busway juga ada, tauuu?"
"Ha, ada? Sebangsa Matahari, Time Zone gitu ada?" Ia menatap Ganis setengah kaget.
Cewek itu mengangguk.
"Tau darimana lo? Udah pernah ke sana?" tanyanya lagi.
"Belum, gue tau dari Ragillah! Neneknya dia kan orang sana."
Mendengar nama cowok itu membuat Linda mendengkus. Rasa kesal yang sempat surut beberapa detik lalu bergejolak lagi. Ia masih keberatan dengan keputusan sekolah. Namun, dirinya bisa apa?
Protes justru bisa jadi membuat Linda mendapat jalan yang makin tidak enak. Membayangkan tiga bulan rekanan dengan Ragil di hotel yang sama saja rasanya sudah sulit.
"Eh, ayo, ke kantin!" ajak Melia setelah melirik jam di dinding yang tergantung di atas white board. Ia dan Ganis langsung bangkit, tetapi tidak dengan cewek satu itu.
"Kalian aja deh, gue malas," akunya lemah. "Mood gue ilang gara-gara cowok permen blaster itu."
Bukan tanpa alasan ia memanggil Ragil demikian. Cowok itu terlahir dari rahim seorang perempuan berdarah Belanda tulen, sedangkan papanya campuran Indonesia-Belanda.
Kedua cewek yang tingginya hampir setara itu saling lirik. Kemudian, Melia menegaskan sekali lagi. "Serius?"
Linda hanya mengangguk, lalu merogoh ponsel yang sejak tadi tersimpan di saku rok.
"Emang enggak lapar?" timpal Ganis.
"Enggak."
"Yakin lo enggak ngiler jajanan di kantin?" Melia yang sangat tahu hobi makan Linda pun menggoda.
"Ck, enggaaak!" Linda mendongak. "Udah deh, sana kalian kalau mau jajan!" usirnya kusut.
***&***
Tiba di mana waktu angkatan Linda mulai menjalankan agenda prakerin. Dan sudah 2 minggu ini pelajaran langsung di lapangan kerja berjalan. selama itu pula perempuan kota itu ingin rasanya mempercepat masa prakerin. Ia sama sekali tidak menikmati masa-masa di Solo ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen INDONESIA kita
Short StoryJika ibu kota adalah pusat modernisasi dengan kisah remaja yang menawan, maka kalian harus main lebih jauh lagi. Menjadi remaja daerah, tak menjadikan seseorang tidak menarik. Banyak kisah, yang tak pernah kalian duga jika mengikuti perjalanan merek...