dua

554 83 3
                                    

"Sori untuk yang tadi."—muntahan, teriakan panik seorang wanita di meja resepsionis, dua lengan di sekeliling bahu sebagai penopang agar Ramuda tidak limbung; Ramuda pikir ia sudah gila, oh terkutuklah.

"Reaksimu berlebihan. Sebegitu parahnya waktu melihatku, eh?"

"Aku kan sudah bilang itu tidak sengaja!"

"Sedikit tersinggung juga, omong-omong,"

"Kau dengar aku tidak, sih—" Sudah kepala, kini berlari ke perut. Ramuda berguling ke samping, selimut diremas erat dan mata dipejamkan sebentar, ia seakan berputar, padahal posisi saat ini berbaring di atas ranjang pasien. "Kalau dari awal tahu dokternya kau, mana sudi aku ke sini."

"Kau memilih untuk pingsan di jalanan, begitu?"

"Siapa yang pingsan,"

"Muntah lebih parah lagi, Amemura-kun. Sudah dilihat banyak orang, malunya setengah mati."

"Apaan sih!" Bantal di kepala Ramuda lempar tanpa ragu, terlalu cepat ditariknya hingga ia menyesal karena pergerakan tiba-tiba itu kembali mengantarkan pening. Pria tinggi yang Ramuda lempari jelas lebih gesit menghindar, bantal terjatuh di dekat kaki yang lekas pria itu ambil, menepuk-nepuk sesaat agar debu pergi, kemudian beringsut ke arah tepi ranjang dan menaruhnya di samping Ramuda.

"Mimpi apa sampai aku harus bertemu kau di sini, Pak Tua."

"Hidup tidak ada yang tahu."

"Aku benci Hifumi,"

"Hifumi-kun cuma mau bantu."

Kening Ramuda mengerut tidak suka, mata biru dipicingkan sekaligus memindai figur yang dalam mimpi sekali pun, tak pernah Ramuda bayangkan akan dilihatnya dalam keadaan seperti ini. Jinguji Jakurai, tiga puluh empat tahun, rambut panjang kucir kuda dan helai tipis mengintip di balik daun telinga, dokter mapan, sepasang mata yang Ramuda dapati tak banyak berubah kali terakhir ia melihatnya, dua koma lima tahun silam; masih dalam, masih penuh pertimbangan, masih dari seorang Jinguji Jakurai.

"Wajahmu," sahut Jakurai, memecah hening yang sempat muncul sembari menarik kursi tanpa lengan dan ia posisikan di samping ranjang, lalu mengempaskan bokong, kedua lengan bersilang di depan dada sementara kaki kanan menumpang pada kaki lain. "Seperti ingin bicara banyak hal, memaki, berteriak, apa pun."

Bola mata berotasi malas, selintas sinis. "Tadinya," dengus sebal. "Tapi sakit kepala sialan ini makin menyebalkan, tch. Kalau situasinya lain, aku sudah mengamuk."

Jakurai meloloskan kekeh kecil, Ramuda mendeliknya tajam.

"Tidak ada yang lucu,"

"Kau tidak berubah,"

"Jangan bicara seolah-olah kau mengenalku dengan baik."

"Amemura-kun—"

"Kau menyebalkan, aku benci kau, Pak Tua."

"Childish. Ini sudah dua tahun lewat."

"Lalu apa? Berharap aku akan bilang; oh, halo, Jakurai-san! Kau sudah kembali dari studimu itu dan sekarang ada di Jepang, membuka klinik, dan kita bertemu, voila! Tapi hubungan Jinguji Jakurai dan Amemura Ramuda itu kan sudah dalam zona tidak ada hubungan apa-apa lagi, apa coba yang kau harapkan, Jakurai?"

Hening itu mampir tanpa permisi, dua pasang netra saling bersirobok; satu teduh, satunya lagi tajam, yang sesaat setelahnya Ramuda putus lebih dulu oleh decak samar. Sekilas ia membayangkan skenario seperti apa yang bakal Gentaro tulis jika pria itu seorang penulis romansa picisan, yang pertemuan awalnya saja sudah begini; dua orang telah lama berpisah (dua koma lima tahun, apakah itu lama?) lalu dipertemukan kembali dengan embel-embel takdir, lalu perasaan serupa itu muncul lagi rupanya, kemudian berbagi kecupan pelepas rindu dan eureka—mereka kembali menjadi sepasang kekasih. Ramuda mengernyit, kenapa realita dan fiksi itu lama-lama rasanya jadi sinting. Ia mulai tidak waras.

"Aku mau pulang," ujar Ramuda, final, selimut sebatas pinggang disibaknya agak kasar, biarlah, toh ada asisten Jakurai ini. Susah payah kedua kaki menjejak dinginnya lantai, dunia berputar, dan Ramuda terpaksa statis beberapa sekon duduk di tepi ranjang, memunggungi Jakurai. Pokoknya begitu sampai apartemen ia akan minum obat, tidur selama mungkin karena besok akhir pekan yang itu berarti, jadwal kerja kosong dan—

"Biar aku antar, shift malamku juga selesai."

Hah. Ramuda mengerjapkan mata, sekali, dua kali, kepala spontan menoleh, tunggu—hah.

"Kau gila."

Kursi berderit kecil ketika Jakurai bangkit, kening Ramuda berkenyit bagaimana tubuh lengsir itu berjalan sambil lalu, rambut berkibar bebas dan Ramuda seakan melihat seorang model. Ramuda benci mengakui, tapi postur Jinguji Jakurai memang berada di atas standar rata-rata model papan atas, apalagi tanpa mengenakan jas dokter dan hanya berbalut kemeja hitam dipadu celana katun. Ia jadi bertanya-tanya apakah lembur akhir ini menjadikan cara pikirnya bergeser miring.

"Tidak usah, aku naik kereta." Parka, parka, Ramuda mencari parka toska. Ia dapati benda itu menggantung di hanger sudut ruangan. Sekilas pintu di sudut lain tertangkap mata saat Jakurai menghilang di baliknya, terbuka, ada ruang lain berukuran tak lebih besar dari ruang klinik, ia tebak sebagai ruang kerja sang dokter. Ikon meja penuh dengan tumpukan dokumen dan mantel tersampir di kursi putar terpampang jelas, nuansa warnanya kelabu, monokrom, khas Jakurai sekali.

"Percuma keras kepala, Amemura-kun," sahutan pria itu terdengar samar, sepertinya sibuk mematikan lampu ruang kerja dan membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang. "Tunggu di sana sebentar."

"Tidak mau,"

"Nanti kau malah malu di tengah jalan—"

"Demi Tuhan, bisa tidak jangan bahas soal itu lagi!"

Tanggapan Jakurai nihil, terlintas dalam benak untuk melarikan diri secepat yang kakinya bisa tapi gagal. Denyut di kepala mengganggu, Ramuda merasa pandanganya sedikit buram dan sempat tersentak begitu Jakurai kembali, ponsel diulurkan di depan hidungnya.

"Alamatmu," ujar Jakurai, ''masukan ke GPS."

Cibir sinis. "Tidak mau."

"Berhenti jadi bocah di depanku, aku sedang baik hari ini."

"Tidak ada yang memintamu untuk jadi baik."

"Amemura-kun, alamatmu. Sekarang."

"Aku sudah bilang tidak mau! Tidak ya tidak—" Ucapan Ramuda terputus telak, manakala ketika Jakurai menekan titik di perutnya dengan sengaja. Ia membelalak, refleks membekap mulut begitu rasa mual naik hingga mulut, ugh, fokus Ramuda blur. Jakurai sialan, pria itu cari mati rupanya.

"Tulis sendiri, atau aku tanya Hifumi-kun."

~0.0~

Mimpi buruknya belum selesai, ya Tuhan, mimpi buruknya belum selesai.

Berapa lama Ramuda tertidur? Sejak ia meninggalkan klinik dan terpaksa menghempaskan tubuh di samping kursi kemudi, kursi Jakurai, lalu membiarkan pria itu menyetir tenang dan Ramuda mendalami alam mimpi? Ia hanya ingat terjaga karena guncangan halus di bahu, Amemura-kun, Amemura-kun, suara Jakurai menyusup, sudah sampai. Apartemenmu lantai berapa? Kenapa pula Jakurai harus tahu lantai apartemennya sendiri, Ramuda tidak mengerti. Dan semakin membingungkan saat ia sadar Jakurai tidak memakirkan mobil di depan gedung, tetapi sengaja masuk basement yang sengaja pihak penyewa apartemen sediakan bagi mereka yang punya mobil. Basement kawasan gedung apartemen Ramuda juga bukan tempat parkir umum, tak bisa sembarang digunakan kecuali—

oh.

"Oi, Jakurai,"

Yang dipanggil sibuk melepas sabuk pengaman, lalu melirik Ramuda lugas. "Apa?"

"Kau tidak bilang tempat tinggalmu juga di sini, kan?"

"Tadi, aku tidak bilang. Cukup kaget juga sewaktu lihat alamatmu di GPS, begitu sampai, ternyata benar gedung apartemenku. Pasti kau baru pindah ke sini."

Semua ini semakin tidak waras. "Lantai berapa apartemenmu?"

"Lantai empat,"

"Nomor?"

"D23."

D23 itu bersebelahan dengan D22. Ramuda menepuk kening. Oh, dear.



saudade [jakuramu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang