lima

436 74 0
                                    

Distrik Shibuya di matanya, di mata Jinguji Jakurai, adalah lautan manusia dan detik jam yang tidak pernah berhenti. Hiruk-pikuknya tak jauh berbeda dengan Shinjuku, pun keramaian dan kala malam metropolitan atau lalu-lalang khalayak umum.

Pagi ini Jakurai sengaja meliburkan klinik, ada kunjungan rutin bulanan ke sebuah panti jompo yang biasa ia lakukan, lebih cepat setengah jam dari waktu dijanjikan dan berpikir untuk membeli bingkisan buah atau kue-kue manis di pusat pertokoan. Doppo-kun, laki-laki pekerja keras di perkantoran sekaligus kawan satu apartemen Hifumi, yang merokemendasikan tempat dan empat koma lima dari lima bintang untuk nilai yang Jakurai berikan. Ia memarkir mobil tak jauh dari toko, sejenak menikmati segelas kertas kopi pagi, berdiri menyandar pada pintu mobil, dan memandang keramaian Shibuya.

Yang entah kebetulan atau jalannya skenario hidup itu penuh dengan kejutan, belasan meter dari tempat Jakurai berdiri, situasi pemotretan sedang berlangsung. Kerumunan cukup besar di antara manusia-manusia yang berjalan, mobil karavan, kamera bertripod dan payung-payung hitam, sudut khusus bertenda kecil.

"Oke, next! Dice cepat ganti baju, berikutnya ambil gambar bersama Hifumi. Sekarang untuk model wanitanya, ayo cepat!"

Bahkan Jakurai mengenal salah satu model—tunggu, dua alis Jakurai terangkat naik, modelnya Hifumi-kun, yang itu berarti pemotretan ini—

"Ramuda, Ramuda! Modelnya sudah siap?"

"Sentuhan terakhir Oneesan!" Balasan sekaligus suara yang amat sangat Jakurai kenali. Lihat bagaimana Amemura Ramuda yang biasanya kelihatan modis itu kini muncul dari balik jendela karavan, poni di rambutnya tertutupi bandana kuning dan pensil terselip di telinga kiri. "Satu menit dari sekarang!"

Jakurai tak menghitung sekon, tetapi mungkin satu menit yang dijanjikan Ramuda benar adanya. Seorang model wanita berpostur tinggi, cantik, bak seorang putri menggenakan pakaian dan aksesoris nuansa musim gugur keluar dari karavan. Ramuda mengekori di belakang, sedikit berniat protes karena bisa-bisanya pemuda itu hanya memakai sweater rajut yang Jakurai terka tidak terlalu tebal, padahal suhu sedang rendah begini. Dia memadukannya dengan celana jins hitam robekan kecil di bagian lutut kanan, sepasang kets toska, dan entah yang keberapa kalinya selama Jakurai mengenal Amemura Ramuda; modis, kasual, tipikal desainer sekali, kerapkali menjadi imej yang ia lihat dalam diri pemuda itu.

"Trims, Ramuda. Dan bisa tolong dua bocah berisik—" Salah satunya pasti Hifumi, Jakurai berani bertaruh. "—pasti mereka berdebat tidak jelas lagi. Sekaligus perbaiki riasan Hifumi, terutama di bagian mata. Aku ingin sosok dengan kesan misterius dan seksi."

"Roger!"

Sosok Ramuda menghilang setelahnya, pun kopi yang telah lama tandas dalam gelas Jakurai.

Rasanya konyol ketika tanpa permisi, ibarat puisi cerewet atau radio rombeng yang sudah rusak dan disebut dengan memori kecil, merayap masuk dalam benak Jakurai. Sekelebat ingatan bahwa Jinguji Jakurai di dua setengah tahun silam barangkali akan lekas mengeluarkan ponsel, pada keadaan serupa seperti saat ini, kemudian mengetik sederet pesan singkat berisi; aku melihatmu tadi, pakai jaket yang tebal, atau anak nakal langsung pulang ke rumah, jangan berkeliaran; lalu Jakurai kirimkan hingga memenuhi lini masa kotak pesan Ramuda.

Rasanya konyol mengingat hal kecil dan kesannya sepele, tapi tak dapat Jakurai pungkiri menarik rasa rindu yang ia sendiri pun tidak bisa pahami dari mana datangnya, atau kenapa pula muncul tanpa tedeng aling-aling setelah kata berpisah hadir di antara mereka.

saudade [jakuramu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang