"Sensei! Jinguji-sensei!"
Laporan mingguan yang Jakurai tulis belum selesai, belum selesai tapi ia mengenal nada suara asisten kliniknya yang biasa didengar di saat-saat genting. Benak Jakurai refleks memilah setiap situasi yang mungkin terjadi, terlebih saat jam-jam mendekati tengah malam. Kecelakaan tak jauh dari kliniknya, korban perampokan, perkelahian di tempat sepi, orang yang terluka atau—
"... lama sekali ... Jakurai."
O-oh, tidak, tidak, bukan yang seperti ini. Bukan berarti Jakurai mengharapkan orang lain terluka, tetapi juga tidak pernah sekalipun dalam hidupnya Jakurai berpikir Amemura Ramuda akan muncul di muka pintu kliniknya dengan keadaan lebam di bagian pipi, darah di sudut lidah, setitik robekan di bagian kardigan yang pemuda itu kenakan dan gores melintang cukup panjang pada bagian lengan kiri atas. Jakurai lupa akan pijakannya, tapi ia mengingat tubuh Ramuda yang berhasil ditangkapnya, masuk ke dalam dekapan sebelum limbung membentur lantai hingga ransel yang mungkin diseretnya selama perjalanan ke klinik jatuh dan benda-benda berhamburan acak.
"Bertemu situasi yang tidak menguntungkan," bisik Ramuda agak tersengal, menahan nyeri sebelum Jakurai sempat melontarkan tanya. "Aku tidak tahu harus merasa senang atau sebal klinikmu ada di tempat yang bisa aku jangkau, Pak."
Jakurai terlatih untuk tetap bersikap tenang. Ia mendongak ke arah asisten wanita yang sebelumnya berniat pamit lebih dulu namun mau tak mau harus bertahan sedikit lebih lama lagi, yang dengan cekatan mempersiapkan segala hal diminta Jakurai di ruang rawat sebelum akhirnya benar-benar bisa pamit lebih dulu. Jakurai dengan sopan menegaskan bahwa ia sendiri yang akan mengurus pasien malam ini.
Dan kesempatan waktu untuk mereka berdua.
"Bukan aku yang cari masalah," cetus Ramuda, Jakurai belum meminta penjelasan. Sejenak pemuda itu bisa bersikap kooperatif saat dipapah menuju ranjang ruang rawat, melepas kardigan dan hanya tinggal mengenakan kaus tipis berlengan pendek, lalu menanti saat Jakurai sibuk mengambil peralatan medis. "Masalah yang terus mencari—itu sakit!" Ringis nyaring, Ramuda nyaris menepis kapas berbau alkohol di antara jari Jakurai tetapi gagal. Jakurai gesit menahannya dengan tangan yang bebas. "Kenapa kau diam saja?"
Jakurai mendelik sinis. "Kau ingin aku bilang apa, memang,"
"Apa pun,"
"Kenapa bisa sampai seperti ini?"
"Pindah profesi jadi penyelamat Onee-san."
"Tapi kau terluka begini, penyelamat macam apa,"
"Sialan—aduh!" Ramuda memekik, kali ini cairan alkohol mengenai lintang luka di lengan kiri.
"Berapa orang?"
"Dua laki-laki."
"Mereka bawa senjata?"
"Pisau lipat," dengus samar menahan sakit, permukaan perban mulai membalut sekitar lengan. "Aku berhasil mengelak sewaktu pisau itu mengincar perutku. Hebat, kan?"
Jakurai menghela napas kasar. "Kau membahayakan dirimu."
"Aku berhasil selamat."
"Tapi babak belur," sela Jakurai tajam, kemudian menambahkan setelah jeda cukup panjang. "Kau tidak akan sampai begini kalau kembali padaku, Amemura-kun."
Ia menanti segala umpatan, makian, protes, sindiran sarkas yang mungkin keluar dari mulut Ramuda namun nihil. Jakurai sadar ia diperhatikan meski fokusnya masih ke arah perban yang dengan telaten ia lingkari di sekitar lengan Ramuda; bukan ke arah biru muda yang pernah menjadi favoritnya (mungkin sampai saat ini pun masih), bukan pula menuju raut muka Ramuda yang diam-diam ingin Jakurai tebak dalam benak eskpresi seperti apa yang dikeluarkan desainer muda itu. Jakurai terbiasa bermain di antara hening (misal sewaktu ia mengurusi pasien yang terluka dan tidak ingin cerita habis terlibat perkelahian dan muncul di kliniknya) tapi harus Jakurai akui kalau ia agak terganggu dengan keheningan yang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
saudade [jakuramu]
Fiksi PenggemarJakurai menanti, Ramuda belum mampu menerima kembali. [Hypnosis Mic. Jinguji Jakurai x Amemura Ramuda. Cover by me]