empat

486 71 2
                                    

"Kau—apa? Tadi bilang apa?"

Dengus samar, tiga bungkus ramen instan dijejalkan ke dalam keranjang. "Jinguji Jakurai tinggal di sebelah apartemenku."

"Wah, masokis juga kau, Ramuda."

"Hah? Sembarangan kau! Ini cuma kebetulan."

"Yeah, kebetulan, alasan picisan." Kekeh ringan, sekilas Ramuda pikir semua ini pasti terdengar lelucon di telinga Yumeno Gentaro, kalau tidak ingat profesi pemuda itu hingga hal kecil pun bisa dia hargai. "Lalu sekarang, kau bagaimana?"

"Hm?" Rak minuman isotonik menarik perhatian Ramuda, namun ia ingat persediaan di kulkas dan melewatinya begitu saja. Tujuan akhir adalah bentou di lemari pendingin, Ramuda tidak punya waktu memasak dan perutnya sudah merengek minta diisi. "Aku sedang belanja—sial, beli satu gratis satu. Aku cuma ingin satu, astaga."

"Beli bentou konbini lagi?"

"Tidak sempat masak."

"Perlu aku kirim Dice—"

"Tidak usah, Dice pasti capek pemotretan hari ini."

Hening sesaat, lalu, "Omong-omong aku tidak tanya kau sedang apa tadi. Aku tanya bagaimana kau sekarang?"

"Baik-baik saja, baik-baik saja."

"Punya tetangga tapi mantan pacar itu sulit, ya?"

"Dih, aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu, Gentaro." Ramuda tahu gadis konter kasir di sudut matanya diam-diam mengawasi, mungkin mendengar ia mengumpat sekaligus terlalu lama berpikir dan terpaksa mengambil satu (dua, satunya lagi gratisan) bentou lalu beringsut menuju konter kasir. Earphone di telinga kanan dilepas sejenak untuk mendengar nominal yang akan disebutkan gadis penjaga kasir, sementara telinganya yang lain masih tersambung dengan ponsel.

"Tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?"

"Sekali lagi bertanya yang aneh aku tutup, lho."

"Bohong, kok, jangan tegang begitu, Ramuda."

Ramuda menahan maki di ujung lidah lewat kuluman senyum simpul kepada gadis penjaga kasir. Lembar yen diserahkan dan keresek berisi belanjaan diterima Ramuda dengan sopan, sebelum akhirnya berlalu keluar konbini. Ia menjejalkan earphone yang sengaja dilepas cukup keras, lalu meringis kecil begitu kupingnya berdenyut sakit.

"Jadi, bagaimana?"

"Bagaimana apanya, sih?"

"Kau akan baik-baik saja? Menekan perasaan itu tidak baik lho, Ramuda. Meskipun kalau boleh jujur sih, aku cukup bersyukur tetangga sebelahmu itu dokter. Kalau kau pingsan atau sakit kan bisa langsung ketahuan."

"Kau bicara seolah-olah aku ini beban dalam hidupmu, menyebalkan."

"Memang, kok."

"Astaga."

"Astaga, aku bohong. Tidak, tidak, kau bukan beban. Amemura Ramuda cuma si keras kepala yang menyebalkan."

"Aku tutup teleponnya ya, Gen-chan—"

"Oke, sori. Semisal ingin mendengar saran dariku, Ramuda, perbaiki saja hubunganmu dengan Tuan Besar Jinguji itu. Kalau tidak ingin melibatkan hati, berteman kan tidak ada salahnya."

Pelipis dipijitnya pelan. "Gentaro, lama-lama kau kedengaran seperti dokter cinta, aku geli sekaligus muak."

"Begitulah orang-orang yang lari dari masalahoh, maaf, waktu rehatku selesai,"

"Sembarangan—" Ramuda menghela napas panjang, berdebat malah akan menguras tenaga. Harusnya ia berterima kasih karena Gentaro mau menyisikan waktu untuknya. "Baiklah, baiklah. Terima kasih sudah meneleponku."

"Sama-sama. Sebenarnya Dice yang merengek agar aku meneleponmu, tapi nyatanya kau baik-baik saja." Suara Gentaro mendadak samar. "Mungkin."

"Aku dengar itu. Dan bilang pada Dice dia terlalu berlebihan."

"Kita bicarakan lain kali, Ramuda. Aku tutup."

Pip. Dimatikan secara sepihak. Percuma kalau ingin mengumpat atau memaki, padahal selama pembicaraan ia yang mengancam akan menutup sambungan lebih dulu, tapi Ramuda lupa untuk jangan pernah mempertanyakan liciknya Yumeno Gentaro. Bukan licik juga, sebenarnya, penulis muda itu hanya pandai dalam berkelit.

Ucapan Gentaro tidak mengganggu pikiran Ramuda dalam perjalanan pulang, tidak mengganggu ketika ia sampai di gedung apartemen dan melangkah santai sambil bersenandung kecil, tidak mengganggu untuk beberapa detik ke depan manakala akhirnya Ramuda berhenti di depan pintu apartemen nomor D22. Yang entah bagaimana fokusnya lekas jatuh ke nomor D23, melirik dua bentou di tangan yang ia tahu tidak akan habis dalam satu hari sementara tenggat masa kadaluwarsa adalah besok, kembali ke nomor D23, lalu napas dihembus sepanjang mungkin. Kalau tidak ingin melibatkan hati, ucap Gentaro tadi, berteman kan tidak ada salahnya; Ramuda mendengus, apanya yang melibatkan hati dan apanya yang berteman. Untuk apa memperbaiki hubungan kalau ujungnya meninggalkan luka, lagi.

Namun, motorik Ramuda tidak berhenti saat ia sengaja memisahkan satu bentou sebagai makan malam nanti dan meninggalkan satu di dalam keresek. Pada dasarnya, toh, ia adalah manusia yang tahu terima kasih. Ia teringat bagaimana Jakurai sengaja mengantar sampai apartemen malam itu (mungkin juga kebetulan saja alamatnya sama, entahlah) dan berkata terima kasih dengan nada ketus terdengar sangat tidak sopan. Sebut dirinya childish, seperti kata Jakurai, tapi Ramuda tahu terkadang bersikap di luar nalar tak ubahnya bentuk defensif yang secara tidak sadar ia lakukan (mungkin Gentaro tahu bagaimana isi hatinya, mungkin penulis itu paham Amemura Ramuda hanya berusaha menyembunyikan rasa).

"Ada perlu denganku, Amemura-kun?"

Keresek berisi bentou sudah tergantung di kenop pintu, Ramuda melenting mungil, tidak jauh, karena belakang kepala membentur dada Jakurai kemudian ia mendongak, menemukan mata biru pria itu; dalam, tenang, seolah ada kapal-kapal kecil yang melintas pelan. Dan aroma citrus menyapa hidung.

"Beli satu gratis satu, di konbini," ia berusah menyamai ketenangan mata Jakurai. "Tidak mungkin aku habiskan dua-duanya dan kalau dibiarkan sampai besok bakal basi, jadi yang satunya buatmu, Pak."

Sekilas fokus Jakurai jatuh ke arah keresek yang menggantung. "Kau tidak masak hari ini?"

"Untuk apa aku beli bentou kalau begitu,"

"Pasti dalam masa deadline."

"Cukup tanya-tanyanya, minggir," satu tangan mendorong Jakurai pelan, pria di belakangnya menurut. "Terserah mau diapakan olehmu, yang penting aku tidak buang-buang makanan." Ramuda beringsut menuju pintu nomor D22, tapi Jakurai selalu punya seribu satu cara untuk membuat langkahnya berhenti.

"Harusnya kau bilang padaku,"

Sebelah alis Ramuda terangkat. "Hah?"

"Jam biologis dan pola makanmu buruk kalau sudah dekat deadline, keseringan begadang juga. Kau tinggal bilang, biar aku yang buatkan makanan, dulu juga seringnya begitu."

'Kalau tidak ingin melibatkan hati—

"Itu dulu—"

—berteman kan tidak ada salahnya.

"—bedakan dengan sekarang, Jakurai."

saudade [jakuramu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang